Sesampainya di halaman rumah Saoirse, gue masih belum melihat dia di teras rumah. Terbersit di kepala gue kalau ia ketiduran seusai call kita tadi. Apa gue yang kelamaan di jalan ya? Ngga mau lebih menduga-duga dan berakhir bikin gue pusing sendiri, gue menghubunginya balik. Sedikit demi sedikit tirai dari kamar Saoirse terbuka, gue melambaikan tangan bermaksud menyapanya.
Pintu pun terbuka. Ngga langsung memeluk Saoirse, gue terpaku mengamatinya terlebih dulu. Top spaghetti strap berwarna putih bergaris navy, celana kulot navy, dan rambut long curls serta T-straps navy yang digunakannya. Bébé, am I not a safe place for you?
“Diluar hujan ngga? Mendung banget soalnya, Ray.”
“Ngga kok. Aku gapapa. Kamu kemana aja beberapa hari kemarin, Sha? Sumpah, aku khawatir banget sama kamu. Setiap hari aku kesini, aku nungguin kamu pulang. I am waiting for you to come back to me.”
Ia tersenyum, membalas kembali genggaman tangan gue padanya, dan berlalu. Mungkin ke dapur? Mata gue mengekori kemana langkah kakinya berjalan. Sembari menunggunya kembali, gue menyalakan TV di ruang tamu Saoirse ini.
“For you, Ray.”
“Buat aku? Bébé, ini apa?”
“Rayhan...”
Okay, sepertinya dia tahu kalau keceriwisan gue ini akan muncul. Gue mengalah untuk berhenti berbicara, kemudian mengikuti instruksi dari sepasang mata teduhnya. Mata yang mengarah pada sebuah kotak persegi panjang dihadapan gue, sebuah kotak yang tingginya sekitar 30cm, dan secara tidak langsung meminta gue untuk membuka benda tersebut. Gue pun membukanya.
“Alles Gute zum dritten Jahrestag, sun beams.”
Gue terhenyak mendengar kalimat itu. I really know the meaning. She’s never told me that before. Selama 3 tahun sama-sama, kok bisa ya kali ini gue lupa? Biasanya, selalu gue yang mengucapkannya terlebih dulu. Masih dengan ekspresi wajah yang heran, gue melihat kalender di HP.
“Ya ampun Bé, thank you! Makasih kamu udah ingetin aku, maaf aku lupa sama tanggal kita...”
Saoirse menatap mata gue. Tatapannya berbeda, dalam sekali. Matanya seperti berbicara kembali, tapi kali ini... gue ngga mampu membaca artinya. Sebelah tangannya menggenggam tangan gue, sebelah lainnya menyentuh pipi gue, dan beralih mengelus-elus rambut gue. Saat ini, entah kenapa, gue merasa sangat dicintai olehnya, walaupun ia belum pernah sekalipun mengatakan pada gue secara langsung. Gue merasa seperti anak kecil yang ceritanya sangat didengarkan. Nyatanya, sekarang Saoirse sedang mendengarkan gue berbicara.
Gue menggenggam kedua tangannya erat. Pun berulang kali gue ucapkan “I love you” padanya. Pada ucapan terakhir, gue selipkan pertanyaan untuk Saoirse, “May I hug and kiss you for a long time? I really miss you Saoirse, I really do.”
Dia mengangguk sembari menunjukkan matanya yang ikut tersenyum pula. I kiss all features of her face, except her lips. Karena gue mau melakukannya disaat Saoirse siap dan menginginkannya juga. Gue memeluknya begitu erat hingga tak terasa bulir-bulir air mata gue jatuh.
“Ray, kamu kenapa? Kamu nangis?”, dia melonggarkan pelukan gue untuknya.
“Sha, jangan… jangan dilepas. Aku gapapa kok. I just don’t wanna lose you, like never. Jangan pergi lagi ya Sha, apalagi ngilang diem-diem kayak gini. Kalo emang aku belum bisa jadi rumah yang nyaman buat kamu, tolong kasihtahu aku. Biar aku bisa fix it dan kamu ga perlu kayak kemarin lagi, karena kamu bisa selalu pulang ke aku, rumah kamu. I wanna be your safe place, your home”, rasanya lega setelah bisa bilang ini sama Saoirse dan dia kembali memeluk gue ketika gue menyampaikan ini semua.
“Sayang, you are my home. I’m here because you are my home. Terimakasih ya Ray, kamu selalu berusaha buat jadi tempat yang aman buat aku. Bahkan, kamu mau berusaha lebih lagi, padahal kamu udah lebih dari apapun buat aku”, dia mengecup kening gue dalam setelah menenangkan gue yang masih entah kenapa menangis kayak gini.
Saoirse kembali meregangkan pelukan gue. Rasanya kayak ngga ingin jauh-jauh lagi, gue masih menggenggam tangannya ketika matanya menatap pintu kamarnya.
“Sayang, sebentar ya, aku mau ambil tissue dulu buat kita. Mata kamu sembab kayak gini lho, sebelumnya ga pernah kan, Ray, sesembab ini. Baju aku juga basah nih, pundakku juga. Aku ambil tissue sebentar ya”
“Bébé, aku minta maaf… aku cengeng banget ya kali ini?”
Saoirse tertawa, lalu kembali menangkup wajah gue dengan jari-jari mungilnya.
“Iya! Kamu cengeng banget tahu ga? Hehehe, tapi gapapa kok sebenernya kalo cowok nangis. Malah, aku suka. Karena, itu tandanya dia berani untuk nunjukkin atau terbuka sama perasaannya. Dan kayaknya jarang deh, cowok mau kelihatan nangis di depan orang gitu, biasanya kan sendirian nangisnya. Aku yang harusnya berterimakasih, karena kamu udah nunjukkin ke aku bahwa aku adalah salah satu orang terdekat kamu, makanya kamu sampe bisa nangis di depan aku kayak gini.”
“Sha, kamu itu calon istri aku. Gimana bisa aku ga terbuka tentang apapun sama kamu? Maaf lagi ya, aku pasti clingy banget deh sekarang. Manja banget ngga sih aku, Sha?”
“Udah ah! Kamu tunggu disini sebentar ya Ray, aku mau ambil tissue sama ganti baju sebentar. Okay? I love you!”
BLASSSST! Ngga ada kata yang bisa ngegambarin gimana terkejutnya gue ketika Saoirse mengatakan “I love you” dan setelahnya mencium sebelah pipi gue. Gue harus tanya ke dia, kenapa tiba-tiba jadi begini. How you could be so romantic Sha, padahal kamu kaku sekali? And, I really fuckin love how you show your feeling to me!
“Ray, ini ya tissuenya. Kamu lagi apa sih, btw?”, gue memintanya untuk bersandar di dada gue. Setidaknya, hal ini yang biasa membuat gue tenang lagi kalo pas lagi merasakan emosi negatif.
Gue memeluk Saoirse dari belakang dan melingkarkan tangan gue disekitar pinggangnya. Rambutnya yang terurai panjang, jatuh tergerai, dan menutupi sebagian wajah gue, “Aku lagi re-watch A Walk To Remember, Sha.”
Dia tersenyum dan mengelus pipi gue dengan salah satu tangannya, “Aku tahu kenapa kamu re-watch ini lagi.”
“Kenapaaa coba, Bébé?”, gue berbisik ditelinganya.
Dia melepas pelukan gue dan menggantinya dengan merangkul gue, “Ini film yang kita tonton tepat sebelum kita pacaran, sebelum kamu minta aku untuk jadi pacar kamu. Bahkan, kamu pernah bilang ke aku kalo kamu juga baca novelnya.”
“Sha, I love everything about you.Kamu banyak ngajarin aku banyak hal. Berkat kamu, aku makin kenal siapa diri aku. Karena itu, sekarang aku ngerasa kalo… aku jadi orang yang berbeda, yang lebih baik, dan lebih bisa memprioritaskan berbagai hal dalam hidup. Terutama tentang hubungan kita sekarang. We’re on the next level, you’re my fiancée. Something that I have to fight for, not only keep and prioritize it, right?”
“Sayang, thank youlho for the compliment. But, kalo prioritas ya? Hmm… lebih prioritas futsal atau aku?”
“Bébé! Hahaha… kamu lagi bercandain aku ya?”
“Jawab aja Ray, gapapa kok, aku ga marah, beneran!”
“Tbh, susah Bé, dan karena aku tahu aku susah untuk milih mana yang lebih aku prioritasin dari kedua itu, I meanya… kalo diperingkatin, makanya aku selalu minta tolong kamu untuk temenin aku kalo lagi futsal. Jadi, aku sama-sama bisa prioritasin dua hal yang termasuk penting buat aku, kamu dan futsal, hehehe…”
Saoirse mencubit hidung gue dan berjalan ke arah dapur. Sebelum kesana, dia bilang kalo dia mau masak buat gue. Lagi-lagi, gue terkejut mendengar dia mau memasak. Saoirse selalu bilang kalo dia ngga bisa masak. That’s whydia selalu makan diluar atau order makanan.
“Bébé, ini kamu beneran mau masak? Udah malem lho. Aku bisa makan diluar, gapapa.”
“Kata siapa kamu balik ke rumah, Ray?”
Sontak, gue bingung akan maksud pertanyaan Saoirse. Dia membaca raut kebingungan diwajah gue. Lalu, dia berikan HP nya ke gue dan meminta gue untuk membaca sebuah chat.
“Oh, jadi aku diminta kakak – kakak kamu untuk stay dulu disini nemenin kamu gitu?”
“Iya, kayak gitu. Nanti kamu tidur di salah satu kamar aja ya. Kan disini kamar juga ada 4 tuh. Tapi, kamu ngerasa keberatan ga, Ray?”
“Bébé kok ngomongnya gitu? Ya ngga lah, masa aku keberatan. Kecuali…”
“Kecuali apa, Ray?”
“Kecuali, kamu minta aku untuk nemenin kamunya di kamar warna green mint itu….. wah, berat kalo itu aku nolaknya. Berat banget, Sha!”
Seketika, Saoirse tersadar maksud gue bahwa itu kamarnya. Ia melemparkan beberapa potongan daun parsley kearah gue. Gue tertawa kecil melihatnya yang salting.
“Eh, ngga ya, Ray! Kita kan belum married, ih aneh banget kamu mikirnya ya, gila banget deh… asli!”
“Hahaha… aku becanda sayang. Maaf ya, gila banget emang becandaan aku. Tapi, sumpah, aku bisa se-random ini tuh cuma sama kamu. Kok bisa ya, Sha?”
Dia hanya tersenyum sembari geleng-geleng kepala, melanjutkan memasak lasagna, makanan kesukaan gue. Seketika, terbersit keinginan gue untuk menanyakan sesuatu yang terlupa karena keromantisan mendadak si Saoirse ini.
“Sha, aku mau tanya sesuatu deh. Boleh?”
“Sure, tanya aja Ray, gapapa. Tapi, aku masih sambil masak nih, gapapa ya, I’m listeningkok.”
“Kamu kenapa jadi rada… physical touchgini ke aku? I mean, I know it’s not your love language, but it’s me.”
“Ray, aku sadar kalo selama ini kamu banyak berkorban buat aku. Termasuk ganti habit kamu yang dulu dengan sesuatu yang lebih sehat, dan itu cuma salah satunya, bahkan. Aku ngerasa kalo… you love me so much and…kayaknya aku terlalu cuek deh sama kamu. Jadi, dengan aku tahu love languagekamu, aku berusaha untuk mengimbangi itu, walaupun aku dulu sangat kurang terbiasa dengan sentuhan atau physical touch. Selama aku ngilang kemarin, aku banyak belajar, tentang kamu, untuk kita, agar setelah anniversaryini tuh lebih baik lagi.”
“Sha, you don’t…”
“Sssst, let me to love you as much as you do to meya, Sayang?”
Ga peduli dia masih masak, gue langsung peluk dia lagi. God, how I love this woman. The one that will be my forever human till the rest of my life.
ns 15.158.61.51da2