“Kakak ngga ke RBN?”
Belum setengah badan gue berdiri, gue menoleh kearah samping kanan tempat gue duduk. Gue menatap anak lelaki itu, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapatahu, dia salah panggil orang? Soalnya, adik gue kan cewek, panggilannya ke gue juga ‘Aa Ray’, ngga pernah pakai sebutan ‘Kakak’. Namun, kedua matanya terus tertuju ke wajah gue, memicing lebih tepatnya. Dengan keheranan super maksimal, gue menunjuk diri sendiri. Ia pun mengangguk.
“Lho, kamu kenal kakak ini siapa?”
“Fardzan ngga kenal, kak.”
“Terus, kamu kok disini? Ngga belajar sama teman-teman yang lain?”
“Kakak yang ada di wallpaper HP nya kak Ethereal kan?”
“Hah? Kamu kenal sama kak Ethereal?”
“Kenal dong, kan kak Ethereal yang ngajarin Fardzan di RBN.”
“Oh… begitu. Jadi, nama kamu Fardzan ya?”
“Betul sekali! Nama aku Fardzan, kakak jangkung pasti mau ketemu Guru aku kan?”
Wow, baik… ‘kakak jangkung’, ya sudah… daripada ngga ketemu-ketemu juga dengan Saoirse, gue langsung mengiyakan ingin bertemu Guru nya yang satu itu. Fardzan menggamit tangan gue kembali ke RBN. Sebelum masuk ke ruangan di dalamnya, pintu pun terbuka.
“Rayhan? Kamu kok…”
"Bébé, aku kesini mau minta maaf. Aku ngga sengaja tadi ketemu dia. Fardzan ini murid kamu kan?”
Siswa kelas 3 SD yang masih berdiri disamping gue ini menunjukkan ekspresi bingungnya. Jelas sekali tergambar diwajah bulatnya, dengan poni rambut yang menggantung ngga sampai alis. “Kak Ethereal, Bébé itu siapa? Nama kakak kan Ethereal Sansa. Kok sekarang dipanggilnya Bébé? Fardzan jadi bingung nih!”, keluhnya.
Saoirse melirik gue sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Fardzan. Ia berlutut di depan Fardzan dan mengucapkan beberapa kalimat yang intinya, ‘Fardzan ngga perlu bingung, nanti kalo bingung jadi pusing. Lebih baik, Fardzan istirahat ya, pulang ke rumah, tadi izin pulang duluan kan? Nanti kita ketemu lagi,’, kurang lebih begitu. Fardzan pun menjawab, ‘Okur, kak!’. Sebelum anak laki-laki berponi itu pulang, sebagai ucapan terimakasih, gue memberikannya sekotak ice cream yang gue beli di supermarket depan jalan.
“Kamu ngapain kesini sih? Harusnya kamu lanjut tidur, bukan kesini jemput aku.”
Dia ngga menyebut nama gue, 3 kata itu pun ngga keluar dari bibirnya, R A Y. Betul kan feeling gue, sebentar lagi dia pasti marah. Saoirse, kamu lihat ngga sih apa yang aku bawa sekarang? Kue tape kesukaan kamu lho ini, yaelah…
“Bébé, kamu ingat ngga, aku udah janji sama mas Ben dan mba Tresha buat jaga kamu? Aku juga pernah bilang sama kamu, kalo aku ngga bakal pernah biarin kamu sendirian. Walaupun kamu mampu jaga diri sendiri, ya aku harus tetap jagain kamu.”
“Iya Ray, aku ingat kok. Tapi, bisa ngga sih, kamu ngga usah ngajak aku ribut karena hal sepele?”
Gue kembali menarik napas, sedalam mungkin. Iya, memang itu salah gue, dan bukan ketika bersama dia saja gue masih seperti itu. Gue menunduk, dalam hati mengakui kesalahan diri sendiri terlebih dahulu.
“I know that I was wrong. Fine, kamu boleh marah sama aku, tapi... jangan sekarang ya? Aku tunggu kamu disini sampai selesai. Kamu belum order ojol kan?”
“Belum, tapi... aku bakal coba order ojol seselesainya KBM. Jadi, udah ya, aku masuk dulu. Terserah kamu deh, mau…”
Ucapan gue terputus kala seseorang memanggil Saoirse untuk masuk kedalam dari balik pintu yang setengah terbuka, “Sha, bentar lagi KBM selesai nih, masuk yuk buat doa?”, suaranya seperti ngga asing buat gue. I ever heard that voice. Dia… ternyata Saoirse ngga bercanda, dia hadir juga disini.
Kening gue berkerut, rasanya... ingin sekali mengajukan beberapa pertanyaan pada Saoirse. Kemunculan Darius yang mendadak ada disini, sejak kapan Darius balik dari Jepang, dan segelintir pertanyaan yang perlu gue cerna lagi sebelum diucapkan. Saat itu merupakan kesempatan pertama gue bertemu langsung dengan Darius, sebelumnya gue hanya melihat sosoknya melalui foto dalam buku tahunan Erica. Gue berusaha tenang, kemudian melanjutkan obrolan gue secara singkat dengan Saoirse.
“Sha, I’m here for you, for us. Kamu pulang sama aku ya, Sha? I just got a new position, aku mau traktir kamu nih.”
“Mau traktir aku atau ngegantiin minumannya Rhea?”
“Nah, soal itu… sumpah Sha, aku ngga sengaja ketidurannya, beneran deh… aku ngga tahu kalo jusnya Rhea bisa bikin nambah waktu tidur selama 40 menit.”
“Ya soalnya didalam jus itu ada kandungan melatonon nya, Rayhan...”
“Ya… gimana Sha, aku kan ngga kuliah farmasi atau kedokteran kayak Mama atau mba Tresha, aku ngga tahu. Aku minta maaf ya? Maafin dong, Sha…”
“Stop it, Ray. Gini aja deh, sekarang kamu jadi ngga mau beliin pengganti jusnya Rhea? Kalo ngga jadi, aku mau pulang sendiri.”
“Jadi kok, jadi. Nanti ya, habis kamu ngajar. Aku tunggu disini sampai selesai.”
***
Sepanjang perjalanan, yang gue lakukan hanyalah menggenggam tangannya tanpa berbicara. The fact is Saoirse ngga terlalu suka ngobrol sama banyak orang, apalagi kalau lagi unmood atau badmood. Jadi, gue hanya mengikuti langkah kakinya yang berjalan di depan gue. Kemana arah langkah kaki kita pergi, sebenarnya gue sudah tahu kemana kita akan berhenti nantinya.
Ia suka sekali ke Starbucks. Kalo koneksi WIFI di apartemennya lemot lagi, pasti datangnya kesini. Ya buat ketemu client lah, sekedar streaming, bahkan ketika dia lagi mogok ngomong sama gue, pasti ada disini. Jadi, mudah untuk gue menemukan dia, demi kita membaik lagi seperti semula.
“Bé, aku udah order-in kamu, yang biasa kan?”
“Iya.”
“Aku juga udah order-in buat Rhea.”
“Emang kamu udah tanya?”
“Ya… belum sih, tapi kan aku kakaknya Sha, aku tahu minuman apa aja yang biasanya dia order kalo kesini.”
“Okay.”
“Saoirse… Mon Bébé, sebentar aja, tolong dengerin aku…”
“Aduh, Rayhan! Kamu mau ngomong apalagi sih, Ray?! Aku ngga mau ribut lagi ya sama kamu, makanya aku diem kayak begini. Udah cukup tadi pagi, tahu ngga? Aku capek banget lho Rayhan, ngga kamu aja yang capek disini. Don’t you know that?”
“Iya Sha, iya… aku tahu aku salah. Makanya, tadi aku jauh-jauh jemput kamu ke RBN buat minta maaf sama kamu. Oh iya, kamu udah sarapan atau makan siang?”
“Ray... apaan sih? Ini kamu mau ngalihin pembicaraan ya? Aku lagi ngomong serius lho, Rayhan.”
“Ngga Sha, ngga. Aku ngga ngalihin pembicaraan, aku cuma pengen pastiin kamu aja. Aku ngga mau kamu sakit, kamu udah capek banget kan soalnya?”
Saoirse diam, ia hanya menatap gue, dan melepaskan tangannya dari genggaman gue. Rasanya, gue ingin merutuki diri sendiri. Kenapa mudah banget buat ngambek sih?
“Sha, please... jawab aku.”
“Belum.”
“Okay, kamu tunggu disini ya? Kita sarapan sama-sama.”
Sejujurnya, gue memang masih lapar dan haus banget. Jadi, gue memesan beberapa menu untuk kita berdua. Buat menu non-coffee nya Saoirse, gue pesan: 1L Creamy Signature Chocolate, 1L Emerald Green Tea Latte, dan Hazelnut Cream Frappuccino. Sementara makanannya, gue order Matcha Roll Cake With Vanilla Cream and Ogura untuk Saoirse dan Smoked Beef Mushroom & Cheese Panini untuk gue. Gue lirik dirinya sekilas, mencoba agar ngga salah lagi dalam order-in minumannya. Setelah yakin kalau pesanan untuknya benar semua, barulah gue memesan untuk diri sendiri: Iced Caffe Latte, Vanilla Sweet Cream Cold Brew,dan Asian Dolce Latte.
“Ray, kamu ngga salah beli? Ini banyak banget, lho. Kita bukan lagi mau piknik atau pergi jauh-jauh.”
“Gapapa Bé, anggap aja sebagai amunisi kamu buat besok. Kamu lagi banyak kerjaan kan?”
“Iya sih… tapi, ini banyak banget. Aku minum disini aja ya salah satunya?”
“Up to you Bé, kamu mau yang mana?”
“Aku… yang Hazelnut dulu aja deh. Buat kamu yang mana? Ada kan, Ray?”
YES! Dia bertanya soal gue, mulai mereda nih marahnya, dan gue musti lebih sabar dari biasanya. Ayo Ray, semangat! Sedikit lagi…
“Ada kok Sha, ini didalam paperbag sebelah kiri tanganku.”
“Sip, punya Rhea mana? Kamu order-in apa?”
“1L Hibiscus Tea Lemonade. Ada nih, didalam paperbag, jadi 1 sama punya aku. Benar kan aku order nya?”
“Katanya kamu kakaknya, sekarang malah nanya aku...”
Yaelah, marahnya reda… juteknya kambuh. Inhale… exhale… yuk Ray, bisa yuk, lo pasti bisa.
“Ya kan aku manusia juga Sha, aku bisa salah kan? Kayak sekarang nih, hari ini aku ada salah sama kamu.”
Saoirse ngga mengeluarkan sepatah katapun lagi. Ia mengambil minuman miliknya dari paperbag di tangan kanan gue, kemudian berlalu mengambil makanan di meja pick up. Dia juga membawa serta makanan yang gue order. Saoirse kembali ngga berinteraksi dengan gue. Mungkin, masih ada perasaan kesal, tapi seengganya gue lega, dia mau ngomong sebentar tadi sama gue. Ngga tahu kenapa, gue paling ngga kuat kalau dia ngga ngomong sama gue ketika marah, apalagi jika dia mulai diam… gue sedih banget. Tapi, gue tahu, kalau dia lagi ngerasain beberapa emosi negatif seperti marah - sedih - kesal - takut, bahkan sampai nangis, dia cuma perlu ditemani atau dipeluk, dibandingkan diajak ngobrol.
Contohnya kayak sekarang, gue tetap ada disini buat dia. Walaupun, sikapnya yang dingin setengah mampus ini membuat dia ditinggalkan banyak orang. Tapi, hal itu ngga berlaku untuk gue, Rayhan nya dia. Gue cukup duduk diam di depan Saoirse, ngeliatin dia makan... memutar-mutarkan garpu dipiringnya... dan menatap dirinya memotret beberapa objek disini dengan kamera analog yang selalu dibawanya: Skina SK-102.
ns 15.158.61.48da2