Bicara tentang keluarga Saoirse, almarhum Papanya yakni om Alex, menikah di usia 26 tahun dan tinggal di Jakarta dengan sang istri, Mamanya Saoirse. Mereka menikah dengan cultures dalam keluarga masing-masing yang jauh berbeda. Sederhananya, keluarga besar om Alex suka sekali jalan-jalan. Namun, keluarga besar istrinya itu ngga terlalu menyukai hal tersebut. Bisa dibilang, hanya pada Hari Raya Lebaran saja mereka berkumpul keluarga besar. Itu pun, Saoirse harus ke luar kota dulu, karena keluarga besar sang Mama ngga ada yang menetap atau stay di Jakarta, melainkan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Keluarga sang Mama menekuni usaha furniture disana.
Umumnya, ketika sepasang individu menikah dan dikaruniai anak, seharusnya yang dirasakan adalah kebahagiaan. Namun, bahagia itu hanya dirasakan oleh om Alex. Terlambat bagi sang istri untuk menyadari bahwa dirinya belum benar-benar siap berkeluarga, apalagi memiliki anak. Mas Ben pernah bilang, sewaktu ia dan Saoirse kecil, Ibu mereka merupakan seorang model yang tengah naik daun. Saat om Alex rela berkorban untuk pindah mengikuti istrinya dan meneruskan pendidikan kedokterannya di ibukota, ketidaksiapan istrinya tersebut semakin terlihat jelas, ketika ia pergi meninggalkan om Alex, Mas Ben, dan Saoirse. Kala itu, calon mertua gue masih menjalani perkuliahan program pendidikan dokter spesialis Ilmu Bedah untuk mendapatkan gelar dokter spesialis Onkologi.
Akhirnya, dengan susah payah om Alex berhasil lulus menjadi dokter spesialis Onkologi di usia yang terbilang muda, seiring dengan karirnya yang semakin bersinar. Agar lebih dapat menjaga dan merawat kedua anaknya, ia memutuskan untuk menetap di Bogor, karena beliau langsung mendapatkan pekerjaan disebuah rumah sakit ternama disana. Nyokap gue pernah cerita, kalau sebenarnya gue sudah bertemu dengan Saoirse sedari kecil. Beliau dan om Alex merupakan teman seangkatan sewaktu sama-sama kuliah pendidikan dokter spesialis. Om Alex kerap menitipkan mas Ben dan Saoirse di rumah karena ada Bibi Maya, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai babysitter. Namun, selang beberapa waktu, Ibu nya om Alex atau Nenek dari mas Ben dan Saoirse, datang ke Bogor untuk membantu merawat kedua cucunya disana.
Mama pernah bilang, kalo orang baik itu kebanyakan ‘dipanggil’ oleh Tuhan terlebih dulu. Mungkin, om Alex termasuk salah satunya. Beliau meninggal ketika mas Ben masih SMP. Walaupun begitu, sejak awal kelahiran putra-putrinya, om Alex selalu memikirkan masa depan sang anak. Termasuk pendidikan mas Ben dan bagaimana membentuk karakter putra satu-satunya itu. Mas Ben dan Torro, pacarnya Rhea, sama-sama mengenyam pendidikan SMA di UWC Amerika Serikat. Setelah lulus, mas Ben mendapatkan beasiswa kuliah di Swiss. Baginya, perjalanan ke Swiss merupakan kenangan paling indah mereka bertiga, termasuk dengan Saoirse sang adik, sebelum Om Alex ‘pergi’ untuk selamanya. Om Alex meninggal karena kanker ginjal. Demikian alasan mengapa mas Ben memilih Swiss sebagai tempat mengenyam pendidikan tinggi, meskipun jauh serta harus meninggalkan adik sematawangnya itu.
Usai kepergian om Alex, sang Ibu menetap di Bogor, sesuai dengan permintaan terakhir om Alex. Jadi, selama bertahun-tahun, mas Ben dan Saoirse hidup dengan sang Nenek, oma Alida. Namun, seringnya Saoirse hanya hidup berdua dengan sang Oma, karena sebelum wisuda, mas Ben ditawari bekerja disebuah perusahaan desain internasional sebagai Junior Interior Designer. Pekerjaan tersebut mengharuskan dirinya untuk bekerja di dalam dan luar negeri, bahkan seringnya yaitu di luar negeri. Bepergian dari satu negara ke negara lain, bahkan antarbenua.
Saoirse pernah sedikit bercerita, selama ia diasuh oleh oma Alida, beliau ingin cucu perempuannya itu berbeda dari anak perempuan lainnya. Oma mengikutsertakan Saoirse kursus masak. Walaupun, pada akhirnya ia memilih untuk berhenti dari kursus tersebut karena ngga menemukan passion nya. Oh iya, ngga cuma kursus masak, Saoirse diikutsertakan pula kedalam kegiatan Marching Band, kursus Gitar dan Piano, kursus menghitung cepat, dan kursus menggambar. Dari semua kegiatan dan kursus yang pernah diikutinya, ia hanya menemukan ketertarikannya akan menggambar. Oleh karena itu, dia mengambil kuliah Arsitektur, dengan joint degree nya Administrasi Bisnis.
Saoirse kerap bertanya pada Oma Alida, “Oma, kegiatanku banyak banget. Padahal, aku belum dewasa. Tapi, kesibukanku udah kayak Mas Ben. Mas Ben kan udah dewasa. Aku aja capek banget, gimana Mas Ben?”
Sebelum menjawab, biasanya Oma tersenyum lebih dulu, dan berkata, “Yang namanya capek itu, pasti akan selalu dirasain oleh semua orang, Saoirse. Wajar kalo capek bahkan lelah atas apa yang kita jalani dalam hidup, asalkan jangan pernah berhenti. Coba lihat, sudah sejauh apa pencapaian yang kamu raih? Kamu selangkah lebih maju daripada teman-teman kamu lainnya. Kalo suatu saat kamu berfikir, kamu ngga akan mampu lagi, ingat kalo kamu hanya perlu waktu untuk belajar. IQ kamu 130, kamu pasti mampu, Sha.”
Suatu hari, Saoirse ngga sengaja mendengar pembicaraan Oma Alida dan sang Mama yang mendadak datang mencarinya dan mas Ben. Ia mendengar bahwa Ibunya itu telah menikah lagi dan kini ingin membawa pergi dirinya dan mas Ben, mengambil hak asuh kedua cucu oma Alida. Saat itu, terjadi keributan yang cukup besar. Tepat dengan kepulangan mas Ben yang baru saja tiba dari dinas kerja di Singapura. Mas Ben pun tak pernah menyangka, seseorang yang dirindukannya kembali hadir mencarinya, berkeinginan untuk menemui dirinya dan juga adiknya. Namun, kerinduan itu memudar dengan cepat, kala ia melihat suami baru sang Mama yang menungguinya di luar rumah. Akhirnya, ia menolak untuk ikut pergi bersama perempuan yang telah melahirkannya dan melarang membawa Saoirse pergi.
Mas Ben sudah tahu sejak lama, bahwa Ibunya itu berselingkuh dengan pria yang menemaninya sore itu, sejak masih menikah dengan sang Ayah, om Alex. Tetapi, tanpa rasa bersalah, sang Mama tetap memaksa Saoirse ikut dengannya. Sebelum menerobos masuk rumah, oma Alida meminta mas Ben untuk mengamankan Saoirse di kamar. Tak lama, suara benturan terdengar cukup keras. Mas Ben berlari kembali ke teras, betapa terkejutnya bahwa yang ia lihat saat itu adalah oma Alida yang terkulai tak sadarkan diri dengan tetesan-tetesan darah yang mengalir deras dari samping kepala kanannya, dengan tangan kiri memegang dada kanannya. Hari itu menjadi hari terburuk yang pernah dialami keduanya, Saoirse yang pertama kali melihat mas Ben menangis meraung-raung, dan mas Ben yang mendapat kabar dari dokter bahwa oma Alida meninggal akibat benturan keras dikepalanya disertai dengan serangan jantung.
Sampai hari ini, foto keluarga Saoirse, mas Ben, oma Alida, dan om Alex masih tertaut di dinding ruang tamu. Dalam foto tersebut, keduanya tersenyum bahagia, meskipun keluarganya tak pernah sempurna layaknya keluarga pada umumnya. Gue jadi ingat akan peristiwa setahun lalu, gue dan Saoirse merayakan ulang tahun Saoirse di makam keduanya.
Kedua makam yang dibuat berdampingan dan ditaburi banyak bunga olehnya, Saoirse menyukai bunga sama seperti oma Alida dulu. Sebelum bersama gue, ia selalu seorang diri mengunjungi TPU Indah Berseri itu. Mas Ben yang sibuk dan telah menikah, tidak mungkin akan selalu bisa untuk menemani dirinya ketika dipinta. Fyi, Saoirse itu jarang meminta bantuan orang lain. Kalau dia sudah asking for help, berarti ia benar-benar butuh, dengan kata lain merasa ngga mampu melakukannya sendiri. Namun, lambat laun ia berusaha memahami ‘luka dalam’ yang dirasakan oleh kakaknya itu. Dalam usia muda, kehilangan seseorang yang sangat dicintainya didepan mata kepala sendiri, dan tanpa meninggalkan pesan atau bahkan sepatah kata pun.
ns 15.158.61.54da2