“No! Ya ampun, lama banget sih lo di dalam? Sholat itu disini No, bukan di dalam tempat wudhunya”, ucap mas Andi berceloteh.
Gue dan Rano yang masih terheran-heran dengan keberadaan masing-masing pun membatu. Terlebih gue, yang ingin bertanya tetapi ngeri salah bertanya. Apalagi, kalau ingat cerita Erica tentang Rano, sewaktu mereka masih berpacaran dulu.
“Kenapa, Ndi?”, tanya Rano sesingkat itu pada mas Andi.
“Itu ada customer yang mau nge-book Kafija buat acara akad nikah. Tolong lo temuin dulu deh, gentian sama gue. Belom sholat ashar nih gue, jangan bilang lo juga belom?”, cerca mas Andi lewat ekspresi-ekspresi kocaknya.
“Udah, bros nyokap gue jatuh tadi di kamar mandi, gue cari-cari dulu. Makanya lama, nyaru warna nya sama lantai”, jawab Rano sejelas-jelasnya.
Mas Andi menepuk pundak Rano, serta mempersilahkan gue untuk masuk terlebih dulu mengambil wudhu, bergantian dengan dirinya yang mengganti posisi gue. Untung saja, ngga ada orang yang antri wudhu dibelakang.
“Ray, lo duduk dimana?”
“Dekat kolam ikan No, sofa pojok situ.”
“Yaudah, nanti gue kesitu. Lo tunggu bentar deh ya abis sholat.”
Gue acungkan ibu jari kanan gue, kemudian berlalu masuk kedalam tempat wudhu. Sementara, Rano dengan santai berjalan keluar arah teras menemui seseorang yang sebelumnya ditemui mas Andi.
“Tunggu, jangan bilang Rano yang punya café ini?”, duga gue dalam hati.
***
Usai shalat, gue kembali ke tempat duduk yang sebelumnya dipilih. Gue mengecek satu per satu barang-barang yang ada. Gue mengelus dada karena ternyata aman semua. Meja ini gue tinggal cukup lama, karena bertepatan gue selesai sholat ashar, adzan sholat maghrib berkumandang. Jadi, gue lanjut menunaikan sholat maghrib. Rano pun demikian, usai berbincang-bincang dengan orang yang ditemuinya tadi, langsung bergegas sholat maghrib. Customers makin silih berganti masuk keluar Kafija, diikuti dengan lampu-lampu pada area outdoor yang dinyalakan.
Sembari menunggu home-band kembali ke panggung, lagu Mati Lampu milik Nassar diputar mengisi jeda itu. Berbagai ekspresi bermunculan dari wajah para customers, namunmayoritas diantaranya tertawa. Gue pun ikut tertawa kecil, mengingat jarang sekali gue temui café yang memutar lagu dangdut, apalagi viral seperti lagu ini. Lagu yang mampu membuat Saoirse tertawa sampai menangis karena begitu lucu baginya. Dalam hati gue tergugah mengatakan ini sepulangnya ke Bandung, “Kang Demas, gimana kalo kita putar lagu Mati Lampu nya Nassar tiap siang atau sore? Biar ngga makin tua gara-gara muka pada mengkerut kebanyakan deadline, apalagi peak season”.
“Nih, minuman lo.”
“Thanks, No. Jadi, lo yang buat sekaligus owner Kafija?”
“Iya, kenapa?”
“Ngga kenapa-kenapa sih, unik aja café lo. Gue suka, personally. Sayang banget, Saoirse ngga ikutan kesini, pasti dia…”
“Udah, dia udah kesini kok.”
“Huh? Kesini? Sebelum gue dong?”
“Iya, jauh sebelum lo hari ini kesini. Udah lama.”
Bukan Rano namanya kalo jawab ngga singkat, padat, dan jelas. Gue masih ngga ngerti sama Erica, kenapa bisa pacaran sama cowok irit ngomong kayak Rano begini ya modelannya?
“Hmm, pantes… Saoirse banget nih soalnya ambience nya. Lo pake jasa kantornya dia buat nge-design Kafija?”
“Ngga. Saoirse cuma jadi konsultannya aja. Ngga masuk budget kalo pake interior design company nya dia. Tahu sendiri kan lo, the Elakshi Sandyakala company?”
Gue manggut-manggut mendengar jawabnya. Teringat salah satu teman gue yang memiliki coffeeshop di Bandung, pernah berkata demikian seperti yang dilontarkan Rano. Kalau gue ingat lagi, tempat kerja Saoirse itu memiliki banyak clients besar dan ternama, yang mana bisa memberikan proyek borongan seperti 8 cabang, untuk takaran usaha f&b, dengan seorang designer yang mengerjakannya. Saoirse juga pernah mengampu beberapa proyek, yang ngga lama setelah itu mampu membuatnya membeli sebuah mobil Honda Jazz, namun tak dilakukannya karena mobil Daihatsu Ayla pemberian mas Ben masih layak dipakai olehnya.
“Jadi, lo pake jasa perusahaan desain mana, No? Bagus sih soalnya, eksekusinya tepat banget maksud gue sesuai gambaran lo berdua.”
“Pake jasa interior designer lain, yang kebetulan juga temennya salah satu founder Kafija. Tapi, bukan gue. Kafija kan ngga cuma dibangun sendiri sama gue, tapi berlima. Ada yang ditambahin dikit juga sih design nya, jadi ngga murni hasil brainstorming gue sama Saoirse.”
“Oalah, gitu. Saoirse invest juga ngga disini? Kan dia baru aja tuh resign dari kantornya. Oh iya, lo udah tahu soal itu?”
“Iya, gue udah tahu dan dia ngga invest kesini. Dia emang sempet cerita sama gue soal keinginannya mau cabut dari Sandyakala. Ya, gue sebagai sahabat, support dia banget, apalagi demi ngejar mimpinya dari SMP, jadi penulis kayak almarhum neneknya. ”
“Neneknya? Oma Alida maksud lo, No?”
“Iya, lo ga tahu soal itu?”
“Ngga, dia ngga cerita apa-apa ke gue…”
Gue menyeruput minuman dihadapan gue. Sebetulnya, upaya tersebut gue lakukan demi menghalau overthinking gue yang mulai bermunculan. Semoga saja Rano ngga menyadari itu. Gue kembali mengajaknya berbincang.
“Lo pasti bingung ya, kenapa Saoirse nekat dan sedini ini ngelepas posisinya sekarang di Sandyakala?”
“Iya, jujur… gue kaget banget. Gue sempat nanya juga sama dia, serius atau ngga resign dari sana. Apalagi, dengan kerja di Sandyakala tuh, apa yang dia pengen bisa dia dapet, No. Lo ngerti kan maksud gue?”
“Ngerti. Tapi, lo tahu ngga kalo sebenarnya dia ngga pengen jadi interior designer?”
Wussshhh… rasanya hati gue mencelat seiring dengan angin kencang berhembus masuk ke Kafija. Selama ini, yang gue tahu dia enjoy jadi interior designer. Saoirse ngga pernah mengeluh sedikitpun atas banyaknya proyek yang diberikan atasannya kepadanya. Termasuk ketika gue memintanya untuk menemani gue menghadiri acara-acara yang diundangannya bertuliskan “Ray & partner”. Apa dia terbebani selama ini dengan itu semua? Gue ngga bisa mengelak lagi.
“Ngga… gue ngga tahu soal itu, No.”
“Berarti, lo juga ngga tahu apa yang dia butuh, right?”
Rano meminum segelas long black buatannya sendiri. Seingat gue, terakhir kali gue meminum varian kopi tersebut rasanya begitu pahit. Gue rasa, pahit yang baru saja gue telan melalui pertanyaan Rano barusan sama pahitnya seperti long black. Sekeras mungkin, gue berusaha untuk meredam ekspresi bingung yang bemunculan didepan sahabat Saoirse itu.
“Ngga usah lo jawab, Ray. Gue tahu jawabannya. Pertanyaan terakhir dari gue, lo udah siap married sama sahabat gue, dengan kondisi lo belom kenal dia seutuhnya?”
The last question is hiting me, so bad and so fast. I swear, gue ingin tiba di rumah secepatnya, dan menghebuskan nafas yang berat ini melalui asap-asap yang berterbangan diudara. Sekelebat, gue teringat wajah Saoirse kala gue mempertanyakan keputusannya beberapa waktu lalu. Tak lama, HP gue berdering memunculkan foto dan panggilan darinya.
“Hi, Bé…”
“Ray, buruan deh lo pulang sekarang ya?!”
“Kok ‘lo’? Ini siapa?”
“Duh, ini gue Erica, lo dimana? Saoirse masuk rumah sakit.”
“Ngga mungkin… ngga mungkin, Er! Tadi pagi pas gue anter ke Sandyakala dia baik-baik aja kok.”
“Iya, habis itu dia pingsan, Nyet. Gue dicontact teman kantornya, buruan lo pulang!”
“Tunggu gue sampe Er, tolong jangan kasihtahu siapa-siapa dulu. Lo di RS mana sekarang?”
“Borromeus.”
Rano yang masih duduk dihadapan gue hanya diam membatu mendengar percakapan singkat antara gue dan mantan pacarnya itu. “Gue ikut, biar gue yang nyetir. Lo bisa cancel semua kerjaan lo malem ini selama kita otw”, ucap Rano sarkas.
ns 15.158.61.54da2