Ketika Nenek masih hidup, keluargaku pasti ke rumah Nenek setiap lebaran. Cuma beda desa, jadi kami bisa ke sana cuma dengan sepeda motor.
Di sana ada kejadian seru juga.
Saat itu cuaca sangat panas. Nenek tidak punya kipas angin dan listrik belum masuk sampai ke sana. Jadi saudara-saudara perempuan, termasuk Mama, semuanya duduk di teras depan. Sementara, Bapak dan semua saudara laki-laki pada duduk di teras belakang sambil merokok atau gitaran.
Aku lebih dekat sama Mama, jadi aku nimbrung bersama Mama dan saudara-saudaranya. Lagipula kapan aku ingin terus mengikuti Mama, siapa tahu ada kejadian menarik.
Suhu panas membuat semua orang kegerahan. Mereka mengipasi diri memakai kipas tangan yang terbuat dari anyaman bambu. Beberapa malah pakai koran atau potongan kardus seadanya.
Aku jadi teringat saat berhasil menyuruh Mama memperlihatkan pantatnya agar tidak kepanasan. Baru saja aku hendak bicara, tahu-tahu Mama sudah menaikkan kausnya sampai melewati kedua teteknya yang masih terbungkus beha hitam. Mama mengipasi perutnya yang telanjang.
“Waduh, gak di sini gak di sana, panasnya sama aja,” keluh Mama.
Melihat Mama sudah membuka diri, aku mulai mendekatinya. Bisa saja dia berulah lebih nakal lagi, siapa tahu ‘kan?
Dugaanku benar. Mungkin karena merasa aman dikelilingi saudara-saudara wanita, Mama melepas kait behanya. Kedua tetek jumbonya langsung terhembas ke perutnya. Aku melongo melihat tetek Mama yang ranum dan pentilnya yang cokelat tua.
Aku memberanikan diri duduk di sebelahnya. Mama tampaknya tidak merasa terganggu karena dia masih mengipasi perutnya dan lanjut bergosip dengan yang lain. Dia tidak sadar kalau anaknya meski masih kecil, sudah menyimpan hasrat ke dia.
Tubuhku sengaja kupepetkan ke Mama supaya lenganku menyentuh pentilnya. Badanku basah kuyup karena cuaca yang panas plus melihat tetek dan perut Mama berkeringat. Kakiku sampai gemetar melihat pemandangan indah di sebelahku.
Pemandangan indah itu sedikit terganggu karena bagian bawah kaus Mama selalu jatuh sehingga menutupi teteknya. Mama beberapa kali menggulung kausnya lagi, kemudian gulungannya jatuh lagi, Mama menggulungnya lagi, dan begitu seterusnya.
“Kenapa gak dikencengin aja gulungannya biar gak jatuh mulu Ma?” tanyaku.
“Sengaja biar gampang ditutup kalau ada tamu datang,” jawab Mama sambil terus mengipas. Sesekali ia mengipasiku. Mungkin ia merasa kasihan melihatku berkeringat.
“Mumpung lagi gak ada tamu, digulung aja yang kenceng Ma. Daripada repot jatuh mulu,” kataku lagi.
Mama memandang sekelilingnya, lalu bertanya ke kakak perempuannya. “Ini jam berapa sih? Kira-kira masih ada yang datang gak ya?”
Kakak perempuan Mama melirik ke jam tangannya. “Udah jam dua. Biasanya pada istirahat dulu, abis itu lanjut bertamu jam lima sore.”
“Nah aman ‘kan.” Aku berusaha menyemangatinya.
“Ya udah Mama buka aja deh,” kata Mama. “Minta tolong gulung bagian belakang dong.”
Aku membantu Mama dengan suka hati. Mama menaikan bagian depan kausnya, sementara aku menaikkan bagian belakang. Kugulung kecil-kecil agar kencang.
“Wah kayaknya kekencangan deh,” kata Mama.
“Gak apa-apa, masih gampang dilepas kok,” kataku.
Setelah beres, Mama lanjut mengobrol, sementara aku semakin tidak konsentrasi melihat kedua teteknya yang telanjang. Rasanya ingin melahap pentil Mama, lalu menyedotnya kencang-kencang.
“Eh kamu kok ngelihatin tetek ibumu terus?” tanya kakak perempuan Mama.
Aku kaget dan langsung berpura-pura lugu. “Abisnya lucu sih.”
Mama dan yang lainnya tertawa. Aku menghela napas lega. Yah, setidaknya tidak ada yang curiga.
Sebentar kemudian, tiba-tiba ada dua mobil berhenti. Para penumpang di dalamnya keluar. Rupanya itu kerabat Bapak yang juga mengenal Nenek.
Otomatis semua orang berdiri untuk menyambut tamu. Mama ikut berdiri, tapi kemudian ia sadar kalau teteknya menyembul keluar.
“Eh turunin kaus Mama dulu!” serunya panik. Ia berusaha menurunkan gulungan kausnya, tapi gulungan itu tetap mengetat di dadanya.
Aku berpura-pura membantunya melepas gulungan dari belakang, tapi sebenarnya aku cuma mengusap-usapnya saja. Sementara itu, para tamu sudah berjalan masuk dan menyalami saudara-saudara perempuan Mama.
Selanjutnya bisa ditebak.
Para tamu melongo melihat tetek Mama yang mengacung bebas. Mama langsung menutupi pentilnya dengan tangan, tersenyum ramah sebentar, lalu lari ke dalam rumah. Sialnya lagi, Mama berpapasan dengan saudara-saudara laki-lakinya yang mau ke teras depan. Mereka pun ikut melongo menyaksikan Mama.
Beberapa saudara tertawa untuk mencairkan suasana, kecuali kakak perempuan Mama. Ia tampaknya kesal melihat kelakuan adiknya yang sembrono.
Sejak itu, aku pikir kayaknya seru kalau bisa mempermalukan Mama di depan umum.
ns 15.158.2.247da2