Oh iya, pernah juga kita berdua hampir ribut. Kalau itu, ceritanya gue yang agak kesal sama dia. Lagi-lagi, karena dia yang terlalu baik sama orang.
Ketika dinas ke Maluku, Saoirse rela bertukar sepatu dengan rekan kerjanya yang kehilangan sepatu, dan ia memakai sepatu bekas yang kekecilan, hingga menyebabkan kakinya mengalami hammertoe. Hampir semua orang di kantor mencurigai Saoirse yang mencuri sepatu rekannya itu. Dia yang ngga mampu membela diri, saat itu rela bertukar sepatu, untuk membuktikan bahwa dirinya ngga bersalah. Saoirse lupa, kalau sebelum ia berangkat, nyokap gue menuliskan inisial “ESDS” pada bagian dalam atas sepatu yang beliau berikan.
Gue baru mengetahui masalah itu sepulang dinas dari Papua. Gue sempat mendiamkannya beberapa hari, karena gue pribadi tipikal orang yang ketika dihadapkan masalah, lebih baik diam dulu. Berbeda dengan Saoirse, dia tipikal orang yang ketika ada masalah, harus cepat diselesaikan, konfrontir. Tapi, kala itu dia berbeda, dia ngga menghubungi gue sama sekali. Gue tanya ke Erica dan Rano, ngga ada yang tahu soal Saoirse kenapa atau lagi dimana. Setelah kira-kira seminggu ngga ngobrol, kabar tentangnya justru datang dari sumber yang ngga pernah gue duga.
“Ray, besok kamu berangkat jam berapa?”
“Berangkat? Berangkat kemana, Ma? Saya belum ada jadwal dinas lagi kok.”
“Ke rumah sakit dong, Ray. Saoirse besok operasi. Neuroma morton, ada pembedahan yang musti dilakukan sama dokter dikakinya. Dokternya teman Mama. Ini pasti karena diminta tukeran sepatu sama boss nya. Ukurannya kan lumayan jauh itu, Ray.”
Keesokan harinya, dari luar gue melihat Saoirse terbaring disalah satu kamar rumah sakit. Gue mulai bertanya pada diri sendiri, kok bias gue ngga tahu soal ini? Apakah mas Ben dan mba Tresha juga ngga tahu? Hhhh… tiba-tiba, banyak sekali kalimat yang melayang-layang dalam otak gue. Akhirnya, gue memberanikan diri untuk masuk kedalam menjenguknya. Gue melihat Saoirse yang masih tertidur pulas, ditemani dengan beberapa keranjang berisi bunga mawar beraneka warna. Banyak sekali, tapi... dari siapa ya? Ngga ada nama pengirimnya, kecuali tulisan-tulisan yang ngga gue mengerti apa artinya, bahkan hurufnya. Ada pula souvenir berbentuk keychain berisi bunga sakura asli didalamnya.
Hampir saja gue sentuh rambutnya, kalau saja suster yang akan membawanya ke ruang operasi ngga memasuki ruang ini. Dibelakangnya, ada Rano yang sedang berbincang-bincang dengan suster lainnya. Sekilas gue dengar, ternyata suster itu merupakan teman seangkatan Rano semasa kuliah dulu. Sebelum meninggalkan ruangan, Rano menoleh kebelakang, kearah dimana gue berdiri. Gue yang saat ini merasa amat ngga berguna, hanya bisa menunduk dan meliriknya sekilas. Rano pasti kecewa, gue buat sahabatnya sedih lagi.
***
Seminggu telah berlalu.
Sekeluarnya dari rumah sakit, Rano baru mengizinkan gue untuk bertemu lagi dengan Saoirse. Dengan ditemani Erica, gue datang menjenguk dirinya. Ia masih terkulai lemas, namun jari-jarinya tetap aktif merangkai ulang bermacam-macam bunga yang diberikan oleh beberapa temannya. Gue tahu dari berbagai kartu ucapan yang dikumpulkan oleh Saoirse diatas meja putih seberang tempat tidurnya. Setelah gue ingat lagi, Saoirse memang pernah mengenalkan teman-temannya itu kepada gue, sewaktu gue menjemputnya di kantor.
“Princess Saoirse… seru banget sih kayaknya?”
Dia menoleh, tersenyum, dan merapikan rambut layernya. Saoirse tetap cantik, secantik bunga matahari dihadapannya. Jenis bunga lain kecintaannya, selain bunga aster dan mawar. Dari semula menatap matanya, gue mencium keningnya untuk sepersekian detik.
“Hai, Ray… aku pikir, kamu ngga akan kesini. Aku minta maaf ya untuk yang kemarin?”
“Kemarin? Minta maaf untuk apa, Sha?”
“Aku mau… minta maaf… karena aku tahu, I was so clumsy. Aku juga bingung Ray, kenapa aku ngga pernah bisa buat bela diri aku sendiri?! Aku ngga ngerti, kenapa sih kesadaranku masih suka telat banget?!”
Senyumnya mendadak hilang, terganti dengan kesedihan yang terlukis diwajahnya. Gue menyelipkan beberapa helai rambutnya kebelakang telinga, kemudian gue cium rambutnya. Gue rengkuh pundaknya dan gue kecup pipi kanannya, sembari berpikir keras bagaimana cara untuk menghibur dirinya. Biasanya, mudah bagi gue membuat perempuan merasa senang. Tapi, kenapa kali ini susah banget ya ke Saoirse?
“Ray, kamu kenapa? Kok ngelamun?”
Seketika, sebuah ide muncul diotak gue, “Kamu bosen ngga di rumah?”
Saoirse tertegun, kemudian mengalihkan pandangan matanya kearah jendela kamar, “Bosen… tapi, aku belum bisa kemana-mana. Kata Rano, kaki aku masih perlu pemulihan.”
Gue berusaha memancingnya, “Hmm, kalo menurut kamu sendiri, kaki kamu kondisinya gimana?”
Seutas senyum terukir diwajah ayunya, “Udah baikan.”
Gue menggenggam kedua tangannya, membiarkan beberapa bunga terlepas dari tangan-tangan mungilnya, “Sha, kamu ngga salah apa-apa, aku yang salah karena ngga reminder kamu. Padahal, Mama udah minta tolong aku untuk lakuin itu. Kerjaanku lagi banyak banget di kantor, ngga tahu kenapa rasanya berat banget.”
Lagi, Saoirse tersenyum dan mengusap lengan gue, “Ray… udah lewat juga kok, udah berlalu. Aku sebenarnya udah gapapa, I’m fine. Apalagi ada bunga-bunga ini, aku jadi ngga sabar deh pengen ke Arumdalu Farm di Scientia Park.”
Gue memberikannya segelas coklat hangat, “Oh iya, bunga mataharinya bagus. Dari siapa, Sha?”
Pandangannya kembali terfokus pada beberapa tangkai bunga yang digenggamnya, “Rano bilang dari Darius, katanya.”
Lama sekali rasanya, ngga pernah mendengar nama itu. Sekalinya kedengaran lagi, dia tetap mampu mencuri perhatian Saoirse, dalam bentuk apapun rupanya. Gue berusaha tersenyum, demi Saoirse.
“Kalo gitu, kita kesana yuk?”
“Kesana? Maksud kamu ke Serpong?”
“Iya, kamu pengen kesana kan?”
“Ya tapi ngga sekarang juga, Rayhan… kamu baru balik dari Papua kan?”
“Apa sih Sha, gapapa. Nanti aku yang bilang sama Rano, sekalian ke mas Ben juga.”
Dia terlihat berpikir, mungkin sedang mempertimbangkan ajakan gue. Pun beberapa kali dia mengganti beberapa channel TV nya, sampai ada sebuah channel yang menayangkan perkiraan cuaca hari ini.
“Ray, kalo kita ke Taman Sakura Bogor aja, gimana?”
Nah, ini yang gue maksud… untuk dia, ke Serpong pun gue sanggupi. Tapi, ujung-ujungnya masih ke Bogor juga. Ajaib banget ngga sih ini orang? Tapi, gue saying banget sama dia… gimana dong?
***
Cukup Ray, cukup. Nanti dilanjut lagi ya flashback nya, selesaiin dulu tuh ngeaudit gelindingan angka-angka yang sukses bikin tegang. Sebelum ditambah kerjaan lain dan sebelum jadi trainer nya anak baru.
ns 15.158.61.17da2