Sabtu 11 Juni…
PUKUL 10 MALAM…
Kerikil kecil yang sempat menghambat, berhasil disingkirkan. Mobil van milik paman Pritchett hanya mengalami kerusakan pada aki. Kini mereka dalam perjalanan menuju tempat yang kemarin telah direncanakan. Mobil Van Peugot warna silver memimpin arah depan.
“Kau tak ngantuk kan, Bevans?” Purcell menengok ke arah kanan memandang sopir sedikit khawatir.
“Huh? Kau kira sudah ke berapa kali aku menyupir?” Pria top knot itu mengebul asap rokok ke celah jendela yang terbuka sedikit. “Sebatang rokok dan ekspreso yang tadi kuminum mirip baterai robot nyala seharian.”
“Yeah, syukurlah kalau begitu.” Purcell menoleh ke belakang. “Jadi, bagaimana denah yang dikirimkan Hedlych kemarin? Kau punya saran rencana, BMM?”
Mendengar singkatan itu, gadis berambut cleopatra potongan lurus sebahu keemasan itu mendongak dari layar ponselnya spontan, “Apa itu BMM?”
“Bierce, Morgaine, Morvud? Kupikir itu praktis,”
“Jangan disingkat, itu sama sekali tak imut!” ucapnya kecewa dengan nada naik turun.
“Ya, ya, maaf. Jadi bagaimana?”
“Well, aku agak terkejut, ini seperti sebuah pondok atau kompleks berhantu. Kupikir itu hanyalah satu jenis kue besar, ternyata ada beberapa potong lain. Ngomong – ngomong di sini tak tertulis spesifik, tapi bangunan mirip rumah itu tempat apa?” Ia menyodorkan isi layar ponselnya dan menunjuk pada denah.
“Aku tak ingat secara spesifik karena jujur saja tempatnya cukup usang dan bahkan aku butuh waktu untuk menyadari tempat apakah itu. Tapi berdasarkan kunjungan kami, ada kamar mayat, insinerator, ruangan persediaan listrik atau generator, tempat persediaan obat, dan sisa dua atau tiga rumah tak punya petunjuk tempat apakah itu.”
“Insinerator?” Ia mendongak, pupil mata Morgaine membesar dan berkilauan.
Purcell menjelaskan bahwa insinerator adalah tempat pembakaran mayat yang biasa digunakan rumah sakit jiwa memotong jumlah biaya peti dan tanah. Terdengar kurang hormat pada jiwa yang hendak menyatu dengan bumi, namun kremasi pada zamannya sangat efektif.
“Anu, Kak Purcell, kamar mayat itu apakah seperti loker – loker mirip di film dan game horror?” tanya Morvud.
“Yeah, tapi jumlah lokernya tak terlalu banyak. Saat Hedlych mencoba memutar sesuatu mirip valve (katup) pipa, dugaannya itu alat untuk mengatur suhu mayat saat dimasukkan dalam loker.”
#Suit Suiiiiiuuttt~
Siulan mulut Bevans tiba – tiba.
“Itulah bagian terpentingnya, sobat!” Nadanya terdengar percaya diri, tapi roman mukanya menggambarkan sebaliknya.
Beberapa detik setelahnya, alunan burung hantu terdengar dari ponsel Morgaine. Pesan baru telah masuk dan ia segera mencari tahu.
“Kak Eiriol bertanya bahwa bagaimana kalau pembagiannya adalah anak kelas 2 fokus pada bangunan mirip pondok pemukiman itu? Sisanya masuk ke bangunan utama,” tambahnya. “Aku sih tidak ada masalah, bagaimana denganmu, Morvud?”
Morvud mengangguk tanpa masalah, begitu pula Bierce, Purcell dan supir, Bevans. Pesan pun dikirim balik, dan mereka semua sepakat.
“Well, yang satu beres. Sekarang tinggal satu lagi, coba kulihat.” Bierce menggulung (scroll) layar ponselnya, alisnya mengkerut dipenuhi kebingungan. “Hey, tapi apa maksudnya prosedur ini, Purcell? Menggambar pentagram, nyalakan lima lilin merah, lalu taruh kotak Dybbuk? Tentang apa-”
Sela si supir tiba – tiba sehingga wanita cleopatra itu tak sempat mengucap protesnya.
“Wow, wow, wow! Sebentar, sebentar! Aku mendengar kotak Dybbuk, beritahukan padaku kalau aku salah, apa aku salah?” Bevans menimpali dengan terkejut, “kau gila, Purcell?”
“Jangan – jangan kotak Dybbuk yang itu?!” Morgaine mendongak ke celah tengah sofa mobil depan penuh semangat.
“Tenang, teman – teman. Kita sudah lama melakukan perjalanan perburuan hantu, bukan? Tak semuanya berbuah manis. Bayangkan, persiapan fisik, psikis dan perlengkapan harus dibayar dengan hasil memuaskan, bukan? Ini adalah cara yang ingin kucoba dan mungkin bisa mengganti cara lama? Pikirkan baik – baik,”
“Ta-tapi, kita tak pernah berurusan dengan iblis sebelumnya, kan?”
“Well, yang pertama kali selalu terasa menegangkan!” Purcell tersenyum lebar dan agak tegang.
Setelah itu, semua orang selain supir hendak bersandar sejenak, memejamkan mata, membuka mimpi.
--------------------------- 2 HOURS LATER ------------------------
Tiga mobil berjejer mengekor, sedan yang paling belakang, melintasi aspal tanpa kendaraan lain. Seisi penumpangnya sempat mencekik nafas di tenggorokan saat masuk Liandegla. Kawasan rimbunnya popohonan, suara bisikan dedaunan saat angin meniup konstan berdayu – dayu, dibungkus selimut gelap sunyi malam. Tingginya pohon bagai payung menampik cahaya rembulan, menutup sumber cahaya selain lampu sen mobil. Sementara mulut – mulut jiwa penumpang, berkomat – kamit bercampur rapalan doa, yang jelas mereka dengan khawatir berharap agar sesuatu tak muncul.
.
.
“Semoga tak ada yang menyebrang jalan.”
Mobil pun melaju secepat – cepatnya hingga kawasan bagai hutan belantara itu berhasil diucapkan selamat tinggal.
.
Kini nafas mereka kembali normal saat memasuki wilayah perumahan di daerah Ruthin, Wales bagian utara, walau hanya sesaat. Walaupun Ruthin terkenal karena kota pasarnya, tapi mereka memiliki tempat berkemah yang juga asik. Suasana berkemah haruslah bertabur alam, pepohonan, dan suara – suara hewan bertinggal, sejuk dan menenangkan di siang hari. Namun saat kenyataan itu dibalikkan pada malamnya, maka itu menjadi sunyi mencekam.
.
.
Di hadapan temaram jalan sempit bergua dahan – dahan pohon, mobil mereka diatur lebih berhati – hati. Dalam lima menit, mobil berbelok dan berhenti tepat pada pagar kecil.
“Kau punya kuncinya?” Bevans menarik rem mobil namun masih membiarkan mesinnya menyala.
“Jelas, Hedlych sudah meminta izin.” Membuka pintu mobil lalu segera mengambiri gembok pagar yang sebenarnya mudah dilangkahi.
Ditariknya pagar itu, lalu mobil ditancapkan gasnya untuk melaju masuk. Mobil diparkirkan tepat di hadapan kompleks gedung kosong. Keluar dari mobil, mereka pun bergerombol sebentar di area sekitar dekat pintu depan.
Pool Park Asylum atau rumah sakit jiwa dekat Taman Pool, berdiri megah di depan kompleks bangunan pondok. Bangunan dua tingkat bergaya Mock Tudor era abad 19. Atapnya segitiga curam, cerobong asap tinggi, tembok bata putih berpadu kayu teknik half timbering, terpasang mengelilingi tembok jendala setinggi manusia.
Fasadnya masih tampak estetik dan tidak tanggung – tanggung bernilai mahal sekaligus dormer (jendela pada atap) sebagai ventilasi loteng. Meskipun pada faktanya, ditinggal sejak tahun 1900 an bukanlah pertanda kondisi tubuh bangunan yang prima. Sejarah bagai kilat mengubah tempat mewah penolong jiwa menjadi bangunan kosong dengan tajuk berhantu bahkan terkutuk.
“Baik teman – teman, kita sudah sampai. Pembagian kelompok sudah jelas di grup. Well, aku tahu ini repetitif tapi prosedur tetaplah prosedur. Pertama, nyalakan EMF kalian, lalu cari tempat tertentu sekiranya radar EMF berbunyi.”
Purcell mempraktekan dengan menyentuh antenanya, lalu radar itu berbunyi mirip bel pintu rumah depan. Benda itu mirip Handy Talky secara fisik namun dengan beberapa bintil lampu notifikasi.
Enam orang terbagi dari dua kelompok, Kelas 3 dan Kelas 2, mempraktekkan Purcell.
“Bagus, oke kondisi EMF prima. Selanjutnya, taruh dengan aman kamera statis di sudut yang menampilkan pandangan luas. Yang lebih penting atur sebaik – baiknya agar terhindar dari jatuh. Kita hanya punya empat beserta tripodnya. Gunakan dudukan kamera statis agar aman. Mengerti, LD? Danog?" tambahnya. “Ada pertanyaan, Luned? Bierce?”
Orang dengan nama yang dipanggil hanya menggeleng.
“Oke selanjutnya, senter aku yakin kalian sudah paham, bisa dikondisikan sendiri. Lalu selanjutnya bagian video berjalan. Hm… siapa yang tadi jadi sopir?”
Tiga orang mengangkat tangan, Bevans untuk van peugeot milik Bierce, Pritchett untuk van milik pamannya, dan Gethin mobil sedan. Setelah itu Purcell memutuskan selain tiga nama itu yang bertanggung jawab perekaman berjalan.
“Baik di kelompokku, Hedlych. Kau bagaimana, Morgaine?”
Gadis berambut bob tebal pendek itu berpikir sejenak.
“Kuserahkan pada Morvud saja,”
Mereka pun membagi kamera pada masing – masing kelompok. Setiap orang, di kepalanya terpasang senter pula. Sisanya adalah eksekusi.
“Sebelumnya ada pertanyaan?”
Si rambut kepang reggae, LD, mengangkat mulutnya.
“Yow, yow~ Kak Purcell~ Daku tak mengerti kotak Dybbuk~ Samakah dengan kotak gedebuk?”
Candaannya tidak sebanding dengan aura mengerikannya tempat itu, membuat temannya tak menggubris. Tapi Purcell menjelaskan bahwa itu adalah kotak berisi iblis. Sebagai pilihan terakhir bila pada akhirnya tak mendapat rekaman bagus.
“Yang terakhir…” Purcell menghirup nafas sedalam – dalamnya. “Perhatikan langkah dan keselamatan, jangan lupakan barang bawaan.”
.
.
“Kita akan bertemu kembali di klub makan – makan,”
Mereka pun bubar sesuai tempat pembagiannya. Morgaine dan kelompoknya kini telah berada di pondok asylum tersebut, sementara gerombolan Purcell harus memutar lewat pintu belakang.
#Krru< kruuww~ krru< Kruuuw~
Bunyi burung hantu menderu dari ponsel morgaine sedikit membuat mereka terkejut dan berhenti.
“Hehe maaf,” tambahnya sambil mengutip isi pesan tersebut.
Nama : A.D. Purcell
No.ponsel : +44-8442015666
Pesan : Adik – adikku tercinta, aku lupa beberapa hal >.<
- Kejadian Poltergeist tidak perlu takut kalau tidak terlalu menganggu. Footagenya akan sangat berguna semenjak itu salah satu faktor kita memenangkan banyak kejuaraan.
- Penampakan, bayangan, dan sesuatu yang mengintip adalah wajar, jadi jangan takut.
- Aku lupa soal Spirit Box (kotak arwah) jangan lupa untuk dinyalakan. Tanya dengan sopan. Bila tidak ada jawaban, pancing dengan halus atau cari tempat lain.
- Usahakan kalian mengobrol jangan diam saja. Masalahnya kami tak bawa dukun paranormal.
“Eh? Kenapa dia mengatakan hal yang lumrah?” tanya Morgaine sesaat menengok ke arah teman – temannya. Mereka juga mengangkat bahnya. “Eh tunggu, pesan itu belum selesai.”
Pesan itu tampak menggunakan jarak terlalu jauh dan huruf tebal.
- Bila ada tangisan atau jeritan wanita, segeralah lari dan utamakan diri kalian sendiri. Tanpa perlu memperdulikan peralatan, selamatkan dirimu dulu.
181Please respect copyright.PENANAbnQOGcOUm2
Banshee bukan pertanda bagus.
181Please respect copyright.PENANA9l0p6LnolK
Sejam setelah pesan itu dikirimkan, tangis berbaur jeritan wanita melengking agak samar – samar tidak jauh dari kelompok Morgaine. Pikiran mereka campur aduk dan segera kembali ke sekitaran mobil van diparkir.
.
Karena mereka tak menemui para senior dalam beberapa menit, diputuskanlah bersama – sama berjalan menuju pintu masuk belakang. Melewati setapak pinggiran dipenuhi semak – semak, kemudian belok kiri.
Tampak salah satu seniornya telungkup di atas tanah tak sadarkan diri. Ada bekas darah kecil di area kepala bagian belakang.
“Kak Bevans?”
Saat tubuhnya dibalikan, terutama daerah kepala dipenuhi selai merah dengan bau mengundang panik.
***
ns 15.158.61.21da2