Suara tombol yang dipencet berulang kali di bagian yang sama. Tangan kiri yang menggeser piranti penunjuk mouse perlahan, suara kliknya yang jarang seolah mengisi sunyinya malam lemburan pertama. Sepasang mata malasnya penuh teliti, mengintai layar monitor komputer lipat dengan saksama. Sekitar empat kaleng kosong warna hitam nongkrong di meja, Kini pria itu beranjak sederhana, mengambil cangkir untuk menyeduh hangat cairan yang sama.
Pria yang awalnya kurang termotivasi, menerima banyak petunjuk membuatnya bertindak cepat. Bagai mesin uap dengan roda generator berputar lesat, Cake menganut sistem kerja kebut semalam mengabaikan penat. Di dekatnya sebuah catatan yang tertulis detil informasi yang dipilah akurat. Sebuah pekerjaan penuh apresiasi, meski minim hormat.
Bunyi alarm ponsel yang bergetar di meja, seakan membuatnya terhenti sesaat.
“Jam enam, huh?” Dimatikannya alarm tersebut, lalu iamenggeliat sejenak. “Tidak terlalu buruk,”
Cake menyeruput secangkir kopi hitam yang baru diseduhnya. Kemudian ia bergerak menyibakkan tirai – tirai depan mansion. Memandang keluar jendela sambil mengerdip perlahan, menikmati pemandangan fajar dan pagar rumput mendinginkan mata.
Suara gemerincing kunci mendekat.
“Ah, anda pagi sekali, Monsieur Cake?” sapa pria tua berambut dan janggut putih total, lalu membuka kunci pintu. “Anda cukup berbeda dari yang dikatakan Mademoiselle Hestia,”
“Tidak mengagetkan, mata saya sempat berkedut beberapa hari yang lalu,” tambah Cake. “Tapi, mansion ini memang mengejutkan, M. Pinchon. Biaya sewanya murah dan boleh dalam jangka waktu pendek,“
Hawa segar seakan bertamu melalui pintu kayu jati yang terbuka, dua orang itu keluar untuk berjalan kecil sekitar pekarangan. Pak tua Pinchon membuka pagar, sementara Cake berbalik memandang mansion mega bergaya victoria itu.
Persegi panjang dengan fasad bata merah dua lantai. Sisi samping yang dipakai untuk tempat bercengkarama, temboknya timbul berbentuk segi enam dikelilingi tiga jendela. Adapun loteng memanjang dari kira sampai kanan, kini bersemayam sebagai gudang. Meski dua lantai, bangunan itu memiliki enam kamar yang bisa disewakan untuk para turis yang menginap. Pekarangannya cukup luas meski tampak biasa, bahkan garasinya juga cukup dua mobil. Namun karena tampilan sederhana inilah yang membuat Cake tersenyum puas
“250 pounds per 7 hari gratis sarapan, tempatnya pun di pertigaan jalan. Terlalu bagus untuk jadi kenyataan,”
“Namanya juga BnB. Lagipula anda semua tidak perlu bayar! Mlle. Hestia pernah menolong saya waktu dulu,”
Pria tua itu mengatakan bahwa sebelumnya adalah buruh tani di Ardennes Perancis yang tak berkeluarga, namun mengadopsi dua bayi perempuan. Ia merawat seorang diri. Tak ada rumah, lumbung gandum bantal jerami dilapisi kain adalah caranya mengistirahatkan diri selama kurang lebih 40 tahun.
“Sebagai countess baru, beliau hanya punya akal daripada kekayaan. Count sebelumnya berjiwa patriot tinggi, ia tidak menyerahkan tanggung jawab pada orang bodoh meski garis keturunan kandungnya. Karena itulah, Mlle. Hestia membuktikan kecerdasannya, membuat wilayah Ardennes dan Vorges jauh lebih subur dan untung. Sementara orang yang bertahun – tahun seperti saya, naik jabatan bekerja sebagai tukang kebun, pelayan atau sopir countess,”
Cake berjalan mendekat, lalu tangannya memegangi pagar rumput.
“Anda menjadi sopir dan sering diajak keliling. Beberapa perjalanan membawa anda ke britania. Melihat latar belakang anda yang punya dua gadis tapi tak punya tempat tinggal yang secara kebetulan ada bangunan tua dengan harga murah di Wales?”
“Persis, tapi Mlle. Hestia berpikir lebih jauh. Daripada menjadikannya tempat tinggal, cukup dibangun megah menjadi penginapan BnB. Tak perlu menyewa tenaga perbantuan, si kembar melakukan itu,”
“Solene dan Gouin?”
Gadis memakai celemek menghampiri mereka.
“Papa, waktunya sarapan,” tambahnya. “Tn. Cake, silahkan, bubur sudah siap,”
Dua pria itu bilang menyusul, lalu gadis itu kembali masuk ke dalam mansion.
“Harapan saya cuma sederhana. Semoga mereka akur dan punya keluarga setelah sepeninggal saya nanti,” kata Pak tua Pinchon agak sedih.
Cake tersenyum hangat lalu segera merangkul pundak pria tua itu.
“Terlalu bagus jadi kenyataan kalau yang anda katakan. Saya yakin bukan itu. Melepas gadis beratnya bagai kerampokan permata segudang. Akan tiba saatnya bila gadis yang anda besarkan seorang diri dipersunting pria lain, saat itulah anda berdoa dengan tekun!”
“Well, ada benarnya, hehehe!” Raut muka M. Pinchon tersenyum bersemangat.
Mereka pun masuk melewati ruang tamu dan meja resepsionis, dimana peralatan dan perlengkapan Cake masih berantakan, kecuali kaleng kosong itu telah sirna.
Saat sampai di sana, Cake merasa tak enak karena dua gadis itu menunggu seseorang yang belum hadir.
“Mlle. Madelaine belum bangun?”
Kedua gadis yang berambut kuning itu saling memandang, lalu mereka menggeleng satu sama lain. Ekspresi wajahnya segera disadari Cake, bahwa mereka telah berusaha namun tak kunjung bangun juga. Mereka lebih baik menyerah daripada berurusan dengan countess mereka sendiri.
Cake memandang arlojinya. “Enam empat lima, ini tak bisa dibiarkan.”
Cake meminta segelas air lalu dituangnya pada sapu tangan dari sakunya sampai benar – benar basah. Ia lesat naik ke lantai dua lalu masuk ke salah satu kamar. Tampak tempat tidur yang awut – awutan, sementara wanita itu masih berkonsultasi dengan mimpinya.
“Terlalu santai di waktu yang tidak tepat.”
Cake meraih menggosokkan wajahnya dengan sapu tangan yang basah. Hidung mancungnya wanita itu ditarik – tarik memanjang dan pipinya di tarik selebar – lebarnya.
Katup matanya perlahan terbuka, mengerjap jeda singkat.
“Cake…?” Mulut wanita itu terangkat perlahan, nadanya merengek.
“Ya, lembu betina?”
Dengan paksa, Cake meraih tangannya dan ditarik pelan menuju wastafel kamar mandi. Wanita itu lemas dan masih mengantuk, hingga saat tangan Cake menengadah air kran wastafel, lalu dilemparkan begitu saja berulang kali tepat mengarah wajahnya.
“Hey, apa itu perlu?” Madelaine kepala dan sebagian baju tidurnya basah, tangannya melipat melindungi mukanya.
Cake mematikan kran, “Kalau kau tak bangun, mereka akan melewatkan sarapan, mengerti? Sekarang jangan berdramatis dan segera turun!”
Madelaine menatap kaca wastafel sesaat sambil menguncir rambutnya.
“Kenapa pria itu selalu sentimental terhadapku?” katanya sambil menghela nafas.
Dengan berpenampilan seadanya, Madelaine turun lalu segera menduduki kursi kosong sebelah Cake. Mereka cukup kaget melihat bajunya lumayan basah.
“Jangan khawatir, ini bagian dari pendisiplinan,” jelas Cake pada mereka.
“Ya, ya, maaf saja. Tapi aku lembur semalaman!” Madelaine menguap berkali – kali sambil mengangkat sendok.
Saat M. Pinchon mengatakan bahwa Cake tidak tidur semalaman, Madelaine pipinya memerah dan bungkam.
Sesi bubur selesai, tipikal sarapan standar inggris segera disajikan oleh dua gadis kembar itu. English breakfast termasuk sosis, kacang polong, tomat, telur, kentang dan roti. Dua gadis itu meminta maaf karena kehabisan pudding, sebagai gantinya coklat panas.
Namun Cake dan Madelaine tidak mempermasalahkan hal sepele itu. Bagi mereka, yang terpenting dari bertugas di luar kota adalah akomodasi yang tercukupi. Tempat tidur nyaman, asal makanan bisa dimakan, tidak ada yang patut disyukuri selain itu.
Setelah menyelesaikan sarapan, Cake dan Madelaine segera mandi dan mempersiapkan penampilannya. Mereka berdiskusi di meja resepsionis yang jarang terpakai. Pak tua Pinchon bilang kebanyakan tamu lebih nyaman bernegosiasi duduk sambil ngeteh di ruang tamu.
“Inspektur Popelin telah mengirim hasil penyelidikannya lewat email. Sekarang datanya ada di ponselku.” Madelaine memasangkan kabel yang terhubung pada komputer lipat miliknya yang dipinjam Cake semalaman.
Dalam lima menit, semua berkas telah terkirim. Cake segera melakukan pencocokan pada catatan yang ia buat.
“Tampaknya Inspektur Popelin lebih mengesankan kalau menyajikan data informasi.” Ucap Cake yang matanya berganti fokus antara catatan miliknya dan layar laptop.
“Nanti kuselipkan catatan nasehat untuk Kepolisian Wales Selatan,” tambah Madelaine membaca ponselnya. “Ada juga beberapa catatan pada email tersebut agar memeriksa data lebih dulu pada rekaman statis ke 2 dan 3 milik kelompok Morgaine dan rekaman statis kelompok Morvud nomor 3.
Cake tanpa basa – basi segera membuka folder tersebut. Sebanyak sepuluh rekaman yang telah dipotong oleh Inspektur Popelin dengan total mentahan berdurasi sejam lebih sepuluh sebanyak dua jenis, milik sub kelompok Morgaine dan sub kelompok Morvud.
Dua gadis kembar itu membawa teh dan cemilan kue kering. Karena penasaran, Cake tak keberatan mengizinkan mereka menonton.
Video itu diputar penuh. Rekaman tersebut menggunakan kamera night vision sehingga tampak warna sepia. Saat menonton tidak ada yang menarik bagi Cake dan Madelaine selain supernatural pada umumnya. Seperti kayu yang bergerak, bisiikan angin, radar EMF yang beberapa saat berbunyi dan suara yang cukup jelas pada spirit box.
Hingga diputar pada bagian terakhir, Cake dan Madelaine merasa mendengar suara tangisan samar – samar dan video paling akhir jeritan yang jelas terdengar dari rekaman statis keduanya.
Cake dan Madelaine segera mengecek data lainnya. Dalam waktu dua jam, mereka akhirnya berhasil menyimpulkan beberapa hal yang tidak wajar.
ns 15.158.61.54da2