Kyai Salman terlihat berdiri di teras rumahnya dengan hanya mengenakan sarung dan kaos singlet, udara dingin malam ini rupanya tak cukup mengusik ketenangannya. Suasana di rumah Kyai Salman nampak sepi, beberapa orang pasiennya sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, sementara Qaila memilih untuk berdiam diri di dalam kamar. Tak berselang lama sebuah mobil memasuki halaman rumah, Kyai Salman tersenyum seraya berjalan turun menapaki anak tangga menuju pelataran rumahnya. Saat pintu mobil terbuka muncul dua orang pria berusia 50 dan 60 tahunan dengan mengenakan sarung dan baju muslim lengan panjang, mereka adalah kakak beradik Kyai Hanafi dan Kyai Mustofa, teman seperjuangan Kyai Salman saat masih menuntut ilmu agama dulu.
“Assalamualaikum…” Sapa Kyai Salman seraya memeluk kedua sahabat karibnya itu.
“Waalaikumsalam, sehat Kyai?” Balas Kyai Mustofa.
“Alhamdulillah, lancar perjalanannya?” Tanya Kyai Salman.
“Lancar-lancar aja kok. Ngomong-ngomong kok sepi rumahmu?” Tanya Kyai Hafi seraya menyapu pandangan matanya ke seluruh area rumah.
“Iya, istriku sedang ada acara pengajian. Mungkin sebentar lagi juga pulang.”
“Pasti dengan dua anak angkatmu itu ya?” Tanya Kyai Mustofa sembari tersenyum tipis penuh arti.
“Hahahahaha! Aku tau arah pembicaraanmu! Ayo kita masuk aja dulu.” Kyai Salman tergelak tawa, dua sahabat karibnya pun demikian. Mereka bertiga berjalan menuju dalam rumah.
“Silahkan duduk dulu, biar aku panggilkan Qaila.” Ujar Kyai Salman mempersilahkan dua orang sahabatnya duduk di ruang tamu.
“Tunggu dulu, apa dia sudah tau rencana kita?” Tanya Kyai Mustofa sebelum Kyai Salman melangkah pergi.
“Ah gampang itu, nanti biar aku yang atur. Kalian tenang saja, aku pasti menepati janjiku.” Ucap Kyai Salman.
“Syukurlah kalau begitu, setidaknya ucapanmu barusan bisa bikin Mustofa sedikit tenang sekarang. Hahahahahaha!” Seloroh Kyai Hanafi.
“Pria tua ini memang selalu gampang gelisah sejak dulu.” Kyai Mustofa mengeluarkan rokok dari kantong bajunya sebelum kemudian menyalakan satu batang kretek.
“Bagaimana aku tidak gelisah, dua anak kembarku sudah kamu ambil dulu perawannya.” Ujar Kyai Mustofa seraya mengepulkan asap rokok dari dalam mulutnya. Kyai Salman berjalan mendekati pria tua itu sembari tersenyum.
“Aku sudah bilang, janji adalah hutang. Aku bukan jenis pria yang suka mengingkari janji.” Kata Kyai Salman, nada bicaranya dalam, menandakan sebuah keseriusan. Tau jika keadaan menjadi sedikit tegang, Kyai Hanafi mendekati Kyai Salman seraya berkata,
“Mustofa mungkin masih lelah Kyai, harap maklum ya.”
“Silahkan duduk santai dulu, aku akan membawa Qaila sebentar lagi.” Kyai Salman beranjak menuju kamar Qaila yang berada di bagian dalam.
“Tenang saja, Salman pasti menepati janjinya.” Ujar Kyai Hanafi, Kyai Mustofa hanya terdiam sembari menikmati kreteknya.
Kyai Mustofa mengingat kembali momen beberapa bulan lalu saat dua puteri kembarnya, Nandini dan Nandita yang baru lulus Madrasah Tsanawiyah menjadi istri siri Kyai Salman. Masih terngiang di telinga Kyai di sebuah pondok kecil di pesisir pulau Jawa itu bagaimana dua puteri kembarnya mengerang kesakitan saat disetubuhi secara bergantian oleh Kyai Salman malam itu.
Kyai Mustofa tak bisa berbuat banyak karena dia telah terikat perjanjian rahasia dengan kedua sahabatnya untuk saling menikmati puteri mereka masing-masing. Atas dasar mempererat tali silaturahmi ketiga pria tua itu mengikrarkan diri mereka pada sebuah perjanjian sesat. Secara bergantian mereka berhak meniduri puteri mereka saat sudah menginjak alil baligh.
Berbeda dengan Kyai Mustofa dan Kyai Salman yang memiliki puteri kandung, nasib berbeda dialami oleh Kyai Hanafi. Pernikahannya dengan sang isteri, Umi Alya tak menghasilkan keturunan satu orangpun. Maka karena itu dirinya sama sekali tak terlibat langsung dengan perjanjian tersebut, peranya hanyalah sebatas menjadi saksi.
TOK
TOK
TOK
Qaila dikejutkan oleh bunyi ketukan di pintu kamarnya. Buru-buru gadis cantik itu mengenakan kerudung untuk menutupi kepalanya sebelum kemudian membuka pintu dan mendapati Abinya sudah berdiri menatapnya.
“Ya Bi? Ada apa?” Tanya Qaila, Raut wajah Kyai Salman mendadak menjadi sangat dingin, berbeda seperti biasanya.
“Ganti pakaianmu, Abi mau mengenalkanmu dengan seseorang.” Qaila melongokkan kepalanya keluar untuk melihat sesorang yang dimaksud oleh Abinya. Kyai Hanafi dan Kyai Mustofa seraya menganggukkan kepala mereka saat bertatapan langsung dengan Qaila.
“Siapa mereka Bi?” Instingnya sebagai seorang wanita normal membuat Qaila semakin waspada. Dia tau ada sesuatu yang tidak beres dengan Abinya kali ini.
“Mereka teman Abi, cepat ganti saja pakaianmu dengan yang lebih bagus.” Dari nada bicaranya, Kyai Salman tak bisa menyembunyikan kegusarannya.
Tau ada sesuatu yang tidak beres, Qaila perlahan memundurkan langkah kakinya. Tangannya bersiap untuk menutup pintu lagi, tapi sepertinya Kyai Salman bisa membaca alur pikiran itu. Kyai Salman lebih dulu menahan daun pintu, mencengkramnya dengan kuat. Qaila panik, melupakan pintu, gadis cantik itu memilih untuk beringsut mundur.
“Apapun rencana Abi, demi Allah Qaila tidak mau menurutinya!” Teriak Qaila. Tak mau kegaduhan di dengar oleh kedua temannya, Kyai Salman memilih untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
“Siapa yang mengajarimu untuk menolak perintah Abi?! Hah?!” Kyai Salman mencengkram pergelangan tangan Qaila, saking kerasnya cengkraman itu membuat Qaila meringis kesakitan.
“Kamu pikir Abi tidak tau hubunganmu dengan pemuda Katolik itu? Abi tau semuanya!” Qaila tersentak kaget.
“Kamu kira dengan menikahi pemuda kafir itu akan membawamu ke surga? Dengar baik-baik, malam ini kamu akan menikah siri dengan sahabat Abi, ini akan membawamu ke surga!”
“Nggak! Qaila nggak mau! Lepasin Bi! Lepas!” Qaila berontak, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepas cengkraman Kyai Salman dari pergelangan tangannya.
“Mas! Ada apa ini?! Lepasin Qaila!” Tiba-tiba pintu terbuka, Umi Hanna rupanya sudah kembali pulang. Buru-buru wanita cantik itu mendekati Qaila dan melepaskannya dari cengkraman tangan Kyai Salman. Tangis Qaila meledak saat itu juga.
“Kamu nggak usah ikut campur! Minggir!” Hardik Kyai Salman seraya mencoba meraih tubuh Qaila sekali lagi namun Umi Hanna bergerak lebih cepat untuk menghalangi.
“Nggak! Aku nggak akan membiarkan kamu bersikap kasar pada Qaila!” Balas Umi Hanna tak kalah sengit.
“Juna!! Malik!!!” Teriak Umi Hanna memanggil dua anak angkatnya. Tak lama dua pemuda itu muncul di depan pintu kamar setelah berlari tergopoh dari depan rumah.
“Ya Mi? Ada apa?” Tanya Malik.
“Bawa Qaila pergi dari sini, bawa dia jalan-jalan dan jangan pulang sebelum tengah malam.” Ujar Umi Hanna memberi perintah.
“Pergi kemana Mi?” Tanya Malik sekali lagi.
“Kemana saja, dan ingat pesanku, jangan pulang sebelum tengah malam!” tegas Umi Hanna seraya menatap tajam wajah Kyai Salman.
“Sayang, kamu sekarang pergi dulu sama Juna dan Malik ya. Biar Umi yang beresin masalah ini.” Qaila tanpa pikir panjang langsung berjalan cepat menuju pintu, Juna dan Malik segera membawa gadis cantik itu keluar dari rumah.
“Sekarang jelaskan padaku apa tujuan kedua bandot tua itu datang ke sini, dan apa hubungannya dengan Qaila.”
“Bukan urusanmu!” Kyai Salman tampak masih marah setelah Qaila pergi dari kamar.
“Ini jadi urusanku! Kamu jangan macem-macem sama Qaila ya Bi, dia itu anak kita satu-satunya!” Umi Hanna tak kalah tinggi suaranya.
“Tumben kamu mikirin Qaila, sejak kapan jadi peduli kayak gini? Hah?!”
“Maksudmu apa Bi?”
“Alaahhhhh…Kamu pikir aku nggak tau hubunganmu dengan Juna dan Malik? Kalian tadi habis ngentot kan?” Umi Hanna terhenyak, sama sekali tak menduga jika suaminya ternyata mengetahui perzinahan yang dilakukannya bersama Juna dan Malik.
“Kenapa diem?! Ayo jawab!”
Suara Kyai Salman yang makin meninggi rupanya didengar oleh dua tamunya. Keduanya bahkan saling tatap karena menyadari situasi di rumah Kyai Salman sedang tak baik-baik saja.
“Apa lebih baik kita pamit pulang saja?” Ujar Kyai Hanafi dengan raut wajah khawatir.
“Jangan! Tunggu sebentar, kita jauh-jauh datang ke sini masa nggak dapet apa-apa?” Jawab Kyai Mustofa.
“Kamu mau berharap apalagi? Qaila udah pergi juga kan?”
“Iya, tapi kan masih ada Hanna.” Ucap Kyai Mustofa yang sejak dulu memang menaruh rasa pada istri Kyai Salman tersebut.
“Hah? Udah gila kamu ya?”
“Pokoknya aku nggak mau pulang sebelum janji Salman terbayar hari ini juga. Dua puteriku sudah jadi istrinya, aku nggak mau rugi dong.” Seloroh Kyai Mustofa sembari kembali menyalakan rokoknya.
Sementara itu di dalam kamar, pertengkaran antara Kyai Salman dan Umi Hanna makin sengit. Keduanya saling membongkar aib mereka satu persatu, pasangan suami istri itu bahkan sama sekali tak peduli jika di ruang tamu ada Kyai Hanafi dan Kyai Mustofa yang bisa mendengar pertengkaran mereka. Umi Hanna meskipun sudah mennerima perilaku cabul Kyai Salman pada tiap pasien wanita yang datang untuk berobat rupanya menyimpan bara amarah.
Sama dengan istrinya, Kyai Salman pun tak mau kalah. Hubungan terlarang Umi Hanna dan kedua anak angkatnya juga dikorek hingga batas kesabarannya hilang. Teriakan, cacian serta makian diantara keduanya terlontar begitu saja bak biduk rumah tangga mereka hanyalah seumur jagung. Saat emosi masih meninggi, Kyai Salman tiba-tiba mendorong tubuh Umi Hanna hingga jatuh di atas ranjang. Pria tua itu langsung menelungkupi tubuh sintal istrinya itu sembari berusaha menciumi wajah Umi Hanna.
“Eeemmcchh!! Lepas! Lepas bajingan mesum!” Berontak Umi Hanna seraya menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari cumbuan bibir suaminya.
“Lonte kayak kamu harus dikontolin kasar biar kapok!” Hardik Kyai Salman.
23044Please respect copyright.PENANAHv8MKlNgp9
BERSAMBUNG
Cerita "USTADZAH BINAL" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.8da2