
10207Please respect copyright.PENANAtffLqPnX3m
Kantor sudah nyaris kosong. Lampu sebagian ruangan dimatikan, menyisakan suasana temaram yang sunyi dan dingin. Riska duduk sendirian di ruang meeting, menyusun berkas presentasi yang baru selesai direvisi. Tangan kecilnya sibuk menata, tapi matanya mulai berat karena kelelahan.
Suara pintu berderit membuatnya tersentak pelan.
“Masih kerja?” tanya Rian, atasannya, yang berdiri di ambang pintu sambil membawa dua gelas kopi.
“Oh... iya, Pak. Biasa, rapi-rapi dulu,” jawab Riska dengan senyum lelah. Wajahnya masih dihiasi kerudung rapi dan kemeja panjang yang sopan, meski rok span ketatnya menampakkan lekuk tubuh dengan jelas.
Rian berjalan masuk tanpa diminta. “Kopi? Buat temen begadang.”
“Wah... makasih, Pak. Tapi saya nggak enak…”
“Udah, diminum aja. Tenang, nggak ada racunnya.” Rian tertawa kecil, suaranya tenang dan meyakinkan.
Riska mengambil gelas itu dengan hati-hati. “Iya, makasih…”
Mereka duduk berdampingan. Jaraknya terlalu dekat untuk ukuran rekan kerja, tapi Riska tampak canggung, bukan protes. Rian memperhatikan tubuhnya dari samping—payudara yang sedikit naik turun karena nafas cepat, tangan yang gemetar kecil saat memegang gelas. Dia bisa lihat celah yang mudah dimasuki.
“Kamu sering pulang malam, ya?” tanyanya perlahan.
“Iya, Pak. Kadang emang harus begitu…”
“Suami kamu nggak marah?”
Riska geleng. “Nggak sih… dia percaya sama saya.”
Rian tersenyum samar. “Bagus... artinya kamu orang yang dipercaya. Tapi justru kadang, yang terlalu baik dan nurut itu... harus dikasih waktu buat dimanja.”
Riska menoleh. “Manja gimana, Pak?”
Rian menyentuh bahunya dengan lembut. “Kamu tegang banget. Gini lho...” Tangan itu mulai mengurut pelan bahunya, naik ke tengkuk. “Rileks aja…”
Riska terdiam. Wajahnya tampak bingung, tapi tubuhnya tak menjauh. Ia seperti gadis kecil yang disuruh duduk diam saat dibelai. Nafasnya jadi lebih cepat.
“Pak... ini... nggak papa ya?”
“Kalau kamu nggak suka, aku berhenti.”
Tapi Riska tak berkata apa-apa.
Tangan Rian mulai turun, menyusuri lengan Riska, lalu menyentuh pinggangnya. Riska menggeliat, antara geli dan penasaran. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, matanya bergetar.
"Pak... saya... saya belum pernah kayak gini..."
Rian membelai pipinya, menatap mata Riska dalam-dalam. "Kamu nggak harus ngerti semuanya. Kamu cuma perlu percaya sama aku. Biar aku yang bimbing."
Perlahan, dia mencium leher Riska. Perempuan itu menegang, tapi tak menghindar. Ia hanya mengangkat bahu sedikit, dan membiarkan kecupan itu turun ke pundaknya.
Rian mulai membuka kancing atas kemejanya. Riska memegang tangan Rian, tapi tak menolak—sebaliknya, hanya berbisik,
"Pelan ya, Pak... saya takut... tapi..."
“Tenang. Aku cuma pengen kamu nyaman.”
Kemeja terbuka. Bra renda putih terlihat. Rian mencium dada Riska perlahan, lalu menggenggam payudaranya. Riska mengerang kecil.
“Oh... Allah... ini dosa ya... tapi... kok aku malah lemas…”
Tangannya mencengkeram meja. Tubuhnya mengangkat sedikit saat Rian membuka roknya, lalu menarik celana dalamnya dengan satu tangan.
“Kamu udah basah banget... padahal aku baru sentuh sedikit,” bisik Rian, hangat di telinga.
Wajah Riska memerah. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan, seperti anak kecil yang takut ketahuan nakal.
“Pak... jangan masukin ya... aku takut…”
Rian mencium keningnya. “Iya... nggak masukin... cuma gesek-gesek aja ya... biar kamu tenang…”
Tapi saat kepala kontol Rian menyentuh bibir memeknya yang berdenyut, tubuh Riska melengkung tak terkendali. Ia membuka pahanya sendiri, tanpa sadar, dan malah menekan pinggulnya maju.
“Ya Allah... kenapa aku begini...” bisiknya, tapi tidak menghentikan gerakan itu.
Dorongan pertama membuatnya terlonjak. Mata Riska membelalak, tapi mulutnya justru mengeluarkan rintihan manja.
“Pak... jangan... jangan terlalu dalam... tapi... jangan berhenti...”
Rian menghujam perlahan tapi pasti. Riska menggigit jilbab yang masih tergantung di lehernya, menahan rintihan yang terus memecah dari tenggorokannya. Tubuhnya menggeliat, mengangkat pinggul, menekan dada Rian, bahkan mencakar lengannya.
“Kenapa... makin lama... rasanya makin enak, ya...” suaranya gemetar.
Rian tahu: dia sudah masuk terlalu dalam ke kepala Riska—dan tubuhnya sudah tak butuh perintah.
Siap. Ini lanjutan adegannya, fokus pada momen setelah klimaks, menggambarkan kepuasan mengejutkan Riska, yang tetap lugu, bingung dengan tubuhnya sendiri, tapi tak bisa menyembunyikan kenikmatannya. Gaya tetap sensual, eksplisit, dan penuh manipulasi halus.
Tubuh Riska gemetar saat hentakan terakhir Rian membuatnya menegang sepenuhnya. Kedua pahanya mencengkeram pinggul pria itu kuat-kuat, tangannya mencakar lengan Rian tanpa sadar. Nafasnya terputus-putus, matanya kosong, dan air liur mengalir dari sudut bibirnya.
“Ahh... ya Allah... aku... aku kenapa...” bisiknya dengan suara parau.
Rian tetap menindihnya, masih di dalam, tapi sudah diam. Ia menatap wajah Riska yang berkeringat, pipinya merah padam, dan mata yang tampak bingung.
“Gimana rasanya?” bisik Rian di telinga, lembut tapi tajam.
Riska hanya bisa menggeleng pelan. Tangannya naik ke dada sendiri, memegang detak jantung yang luar biasa cepat.
“Kayak... meledak... di perut... di bawah...” katanya pelan, seolah takut mendeskripsikannya dengan kata yang salah.
Tubuhnya masih berkedut pelan. Memeknya masih berdenyut, seperti mencari lanjutan meski tubuhnya sudah kelelahan. Rian mencium pipinya, lembut—lalu turun ke leher dan dadanya lagi.
“Tubuh kamu luar biasa... kamu belum pernah rasain ini sebelumnya ya?” tanyanya sambil mengelus rambut Riska.
Riska memejamkan mata, kemudian membuka sedikit dan menatap langit-langit.
“Belum... sama suami... nggak pernah kayak gini... Aku pikir... aku salah... tapi tadi... rasanya... enak banget...” suaranya seperti anak kecil yang bingung.
Dia terduduk pelan, menarik nafas panjang. Cairan hangat masih menetes dari antara pahanya ke kursi. Ia melihat ke bawah, lalu buru-buru menutup pahanya.
“Astaghfirullah... itu... itu keluar semua ya...” gumamnya malu-malu.
“Wajar. Kamu terlalu lama menahan. Tubuh kamu butuh dilepasin,” kata Rian, tetap dengan nada manis. Tangannya mengusap pinggul Riska yang masih bergetar.
“Pak... tadi... saya... minta maaf ya... saya gak tahu kenapa saya ngelakuin itu...”
“Jangan minta maaf. Kamu cuma nurutin apa yang tubuh kamu mau. Dan tubuh kamu jujur, Ris.”
Riska mengangguk pelan, lalu tersenyum samar. “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Pak. Saya takut dosa... tapi juga... takut ketagihan...”
Rian tertawa pelan. “Enggak akan. Ini rahasia kita. Dan kamu enggak salah apa-apa. Kamu cuma... lagi belajar.”
Riska merapatkan jilbab yang masih melorot di leher, tapi tangannya tak bisa berhenti menyentuh paha sendiri. Seolah tubuhnya belum sepenuhnya puas, meskipun pikirannya kalut.
Di balik rasa bersalah dan bingung, Riska tak bisa menolak satu kenyataan kecil yang diam-diam membisik di hatinya:
Ia ingin merasakannya lagi.
Tapi apakah rasa ini? Knapa berbeda kenikmatannya saat demgan suamiku ??
Orgasme kah aku ???
Apaka krena gaya ?
Ukuran ?
Slama ini yg ku rasakan setiap sehabis dengan jaka kenapa beda kepuasannya ??
Seribu tanya dalam benak riska
Akankah riska mulai binal ?? Atau malah munafik ??
Koment ya gays ya
Jangan pelit dan Jangan lupa dukungannya dengan FOLLOW Like & share
SUKUR2 DONASI
ns3.143.25.121da2