Tubuh Riska masih gemetar meski Rian sudah menarik diri perlahan. Suara cairan yang menetes ke kursi kulit membuat pipinya kembali merona, malu, tapi tak bergerak untuk langsung bersih-bersih. Ia hanya terduduk lemas, tangannya menyentuh pahanya sendiri... seolah mencari sisa-sisa getar yang belum mau pergi.
4242Please respect copyright.PENANArXMsufE3SH
“Kenapa... beda ya rasanya…” bisik Riska lirih, setengah bicara ke dirinya sendiri.
4242Please respect copyright.PENANATrk93TemD5
Rian menyandarkan tubuh ke kursi, masih memandanginya dengan sorot tenang yang menusuk. “Beda gimana?”
4242Please respect copyright.PENANAZ0H5s5EVSD
Riska tak langsung menjawab. Matanya kosong, tubuhnya berkedut pelan seiring sisa orgasme yang menyusup di pangkal perutnya. Ia menunduk, jari-jarinya tak sengaja menyentuh celana dalamnya yang sudah penuh cairan. Basah, leleh, hangat.
4242Please respect copyright.PENANAvZs4IHL3O9
“Sama suami… aku juga pernah digituin. Tapi rasanya... gak kayak tadi,” suaranya parau. “Tadi tuh... kayak... kayak nyetrum dari bawah terus naik ke dada. Kepala aku kayak kosong. Aku… gak bisa mikir…”
4242Please respect copyright.PENANASPMBicjae6
Rian tersenyum pelan. “Itu namanya orgasme.”
4242Please respect copyright.PENANACwiEbpj9z0
Riska menoleh cepat, matanya membelalak. “Or... orgasme? Tapi aku udah nikah… masa baru sekarang…”
4242Please respect copyright.PENANANicpheabNg
“Bukan salah kamu. Banyak perempuan ngerasain itu. Kadang suaminya terlalu buru-buru. Gak ngerti cara bikin kamu panas dulu. Gak ngerti titik-titik tubuh kamu. Dia masuk... keluar... selesai.”
4242Please respect copyright.PENANAmi06CBtczz
Riska menelan ludah. Perkataannya... benar. Jaka selalu begitu. Ciuman sebentar. Sentuhan singkat. Lalu langsung masuk. Dan dia selalu diam, tak pernah berani protes.
4242Please respect copyright.PENANA9LCsPtvs1E
Rian mendekat lagi, membelai punggung Riska pelan, menunduk dan berbisik di lehernya. “Tapi tubuh kamu gak salah. Dia cuma nunggu seseorang yang tahu cara membukanya.”
4242Please respect copyright.PENANAeGTFFMPocz
Riska menggigil.
4242Please respect copyright.PENANAj8n8SYhLQf
“Makanya tadi kamu bisa keluar banyak gitu. Karena dari awal... kamu cuma diajarin nahan, bukan ngelepas.”
4242Please respect copyright.PENANA03Z342dhxo
Ia menggigit bibir bawahnya. Ingatan tadi—saat tubuhnya meronta, saat ia sendiri yang membuka pahanya lebar-lebar, saat desahan itu keluar tanpa ia tahu kenapa—membuat pipinya panas. Tapi bukan karena malu. Tapi karena kenikmatan yang belum tuntas.
4242Please respect copyright.PENANAFKGezH7V6G
“Jadi itu... orgasme ya… Tapi kenapa bisa begitu enak… beda banget dari yang dulu-dulu…”
4242Please respect copyright.PENANAKFH9gmtFLU
Rian mengusap pipinya dengan ibu jari. “Bisa jadi karena aku tahu cara makainya. Bisa juga karena ukuran. Atau mungkin… kamu emang butuh lebih dari sekadar pelukan sayang.”
4242Please respect copyright.PENANAmd3UKGAiVb
Riska tertunduk. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata itu... menusuk. Tapi tak bisa dia bantah.
4242Please respect copyright.PENANArEzSdP2bB3
“Ukuran...?” gumamnya pelan.
4242Please respect copyright.PENANAU0iU8eGSUd
Rian terkekeh, menarik tangannya ke paha Riska, lalu menekan lembut lipatan panas yang masih berdenyut. Riska refleks mencengkeram tangan Rian, tapi tidak menyingkirkan. Tubuhnya malah kembali merapat.
4242Please respect copyright.PENANADnoYDnW9oO
“Kamu sendiri yang tahu jawabannya. Tadi kamu teriak... minta jangan berhenti. Padahal kamu yang buka sendiri pahanya.”
4242Please respect copyright.PENANAnPAMPLCNga
Riska menutup mata, menggeleng kecil. “Jangan ngomong gitu, Pak… nanti saya... makin gak bisa lupa…”
4242Please respect copyright.PENANANGWa3SzTA4
“Tapi kamu pengen ngelakuin lagi, kan?”
4242Please respect copyright.PENANAv0h0cFnCTM
Pertanyaan itu menggantung. Riska diam lama. Tapi pipinya merah, dan matanya mulai basah.
4242Please respect copyright.PENANABaa0GZvNmv
“Aku takut dosa... tapi kalau rasanya kayak tadi...” suaranya melemah, “aku gak tahu bisa nolak atau enggak…”
4242Please respect copyright.PENANAURo9Yu8Snk
Rian mencium pipinya. “Gak usah buru-buru nolak. Kamu kan baru tahu rasanya. Nikmatin dulu aja. Lagipula... kamu belum pernah diajarin cara jadi perempuan yang utuh.”
4242Please respect copyright.PENANAsifKnhN0CJ
Kalimat itu seperti mantra.
4242Please respect copyright.PENANA9zs8C8tZyr
Riska tak tahu apa artinya jadi "perempuan yang utuh", tapi tubuhnya—yang basah, gemetar, dan masih mencari sentuhan—seakan berkata: aku ingin tahu lebih jauh..
Aku duduk di kursi kantor yang terasa dingin meski AC ruangan tak menyala kencang. Tangan gemetar di pangkuanku, menekan-nekan ujung jari sendiri tanpa arah. Pandanganku jatuh ke lantai, lalu ke meja, lalu—tanpa sadar—ke sosok yang berdiri hanya beberapa langkah dariku.
4242Please respect copyright.PENANAe2mZnDEYr0
Pak Rian.
4242Please respect copyright.PENANADFaBaOA8Dw
Dia hanya mengenakan kemeja putih yang sedikit terbuka di bagian atas, dengan lengan digulung sampai siku. Wangi maskulin yang samar tercium tiap kali dia berjalan melewatiku. Wangi itu... menggangguku.
4242Please respect copyright.PENANAExCYmV5CpO
Aku menelan ludah. Kenapa jantungku berdebar seperti ini? Aku sudah menikah. Aku mencintai suamiku. Tapi kenapa... kenapa tubuhku justru bereaksi seperti ini?
4242Please respect copyright.PENANAlpdMlCrCGZ
"Teh-nya belum diminum?" Suaranya pelan tapi berat, seperti celupan magnet yang menarik pikiranku makin jauh dari batas logika.
4242Please respect copyright.PENANAO57xJAx7t1
Aku hanya mengangguk pelan. Tangan kanan menyentuh gelas, tapi tak kuangkat. Jari-jari ini malah bergetar sedikit. Sial... kenapa aku jadi begini?
4242Please respect copyright.PENANAWpU2Jj420G
"Kalau kamu gugup, nggak usah dipaksa bicara dulu. Aku cuma pengen ngobrol, santai aja," katanya lagi, duduk di meja seberangku. Matanya tak lepas dari wajahku. Sorotnya tak sekadar melihat, tapi seperti membaca.
4242Please respect copyright.PENANAkjiwKGKu1G
"Aku nggak gugup, kok," kataku pelan. Tapi bahkan aku sendiri bisa mendengar suara itu goyah. Kecil. Rapuh.
4242Please respect copyright.PENANAxDXvkK9rX9
Dia hanya tersenyum kecil, lalu menyandarkan tubuh di kursi. "Kamu tipe yang jujur, tapi nggak pandai menutupi rasa. Itu bagus, tapi kadang bahaya juga."
4242Please respect copyright.PENANAAbBlCom9L8
Aku menoleh padanya. "Bahaya kenapa?"
4242Please respect copyright.PENANAWUlqO8VF3F
"Nah, itu dia. Rasa itu kayak api. Kalau kecil, hangat. Kalau dibiarkan, bisa jadi bara," ujarnya, santai. Tapi caranya bicara... membuat tengkukku dingin. Tegang. Dan entah kenapa... ada sedikit sensasi lain yang menyeret pelan ke arah yang tak kukenal.
4242Please respect copyright.PENANAfC2EA4jdup
Aku tertawa gugup. "Saya nggak ngerti, Pak."
4242Please respect copyright.PENANAXi2d1Pe6Oo
Dia membungkuk sedikit, mendekat. Napasnya terasa di kulit pipiku yang tiba-tiba menghangat. "Enggak semua rasa harus dimengerti, Sari. Kadang... cukup dirasain aja."
4242Please respect copyright.PENANAs2OJb0YvHb
Dada ini sesak. Tapi bukan sesak yang menyakitkan. Rasanya seperti... dibungkus oleh selimut tebal di tengah malam hujan. Aman. Tapi juga sesat.
4242Please respect copyright.PENANA54udgylu01
Aku mengalihkan pandangan. "Saya harus pulang sebentar lagi. Suami saya pasti nunggu."
4242Please respect copyright.PENANABhCCGbH9tK
Dia diam. Lalu perlahan berdiri, berjalan ke arahku.
4242Please respect copyright.PENANAchdJE3mQvO
"Sari," panggilnya. Suaranya lebih rendah. Lebih berat. "Kamu pernah ngerasa... ada sesuatu dalam dirimu yang pengen keluar, tapi kamu tekan terus karena takut dianggap salah?"
4242Please respect copyright.PENANAT40j4BtkE4
Aku menoleh perlahan. Pertanyaannya menggantung seperti kabut tipis yang menutup seluruh ruang ini. Dan aku... aku seperti tersedak dalam kabut itu.
4242Please respect copyright.PENANAmUJGOqujvb
"Aku... aku nggak tahu, Pak."
4242Please respect copyright.PENANAbkMAUBCdGK
"Tapi kamu ngerasa, kan?"
4242Please respect copyright.PENANAuLbHQ6FiWW
Aku menggigit bibir bawah. Tanganku mengepal di bawah meja. Entah mengapa, tubuhku tak mau bergerak menjauh darinya. Aku tahu ini salah. Tapi kenapa... kenapa ada bagian dalam diriku yang diam-diam... menginginkannya tetap dekat?
4242Please respect copyright.PENANAYu7VfnWnVL
"Aku perempuan baik-baik," kataku pelan. Seperti membisikkan mantra untuk menenangkan diri sendiri.
4242Please respect copyright.PENANAGMSBC8DgTk
Dia hanya menatapku lama. "Aku tahu. Dan justru karena itu... kamu terlalu sering memaksa dirimu untuk diam, patuh, dan menyangkal. Padahal... rasa itu bukan dosa."
4242Please respect copyright.PENANAKvXfDzY24Z
Aku gemetar. Suaranya, caranya bicara, dan cara dia melihatku—semuanya mengikis pertahananku yang rapuh. Tapi aku masih mencoba berdiri. Menjaga jarak.
4242Please respect copyright.PENANAslYMchfpOk
"Maaf, Pak. Saya harus pergi." Langkahku cepat. Tapi saat melewatinya, dia tak menahan. Hanya berdiri diam, menatapku lewat sudut mata.
4242Please respect copyright.PENANAqcmKH6YBcW
"Tiap orang punya titik rapuh, Sari. Tapi yang bikin bahaya... itu saat kita mulai menikmati rasa bersalah itu," katanya lirih.
4242Please respect copyright.PENANAeYGWIfYJ4P
Aku menggigit bibir. Kalimat itu menancap dalam. Aku melangkah keluar ruangan, tapi hatiku tertinggal di belakang.
4242Please respect copyright.PENANAjU7Ys5LYQY
Dan sepanjang jalan pulang... aku tak bisa berhenti menggenggam sisi dada sendiri. Jantungku berdetak tak karuan. Aku ingat suamiku. Senyum lembutnya. Tapi kenapa... bayangan Pak Rian yang terus terlintas di kepala?
4242Please respect copyright.PENANAGmrnT78u4e
Aku merasa bersalah.
4242Please respect copyright.PENANAQbEBssBDKs
Tapi juga... basah oleh rasa yang belum pernah aku kenal
ns18.116.51.45da2