Matahari menyengat terik persis di ubun-ubun ketika aku sampai di depan pintu rumah. Suami menyambutku dengan ramah. “Kamu kenapa gak ada kabar Dek? Abang cemas, untung Boss-mu ngabarin klo kamu kerja bantu-bantu di rumahnya karena pembantu Boss kamu pulang kampung.” cerocos suamiku panjang lebar, sementara aku hanya menyimak ucapannya. “Ehhhh…iya Bang mohon maaf HP lowbatt, jadi gak bisa ngabari. Maaf ya Bang.” “Ya sudah gapapa, kamu kelihatan lelah, istirahatlah sana, anak-anak biarkan main dengan teman-temannya.” Aku gak enak hati. Sebelum istirahat aku coba membuatkan orek tempe kesukaan suami dan anak-anak. Tumis toge, dan sambal terasi. Setelah dirasa cukup untuk suami dan anak-anak makan, aku terlelap menghilangkan penat. Pasca kejadian itu, hubunganku dengan Pak Yoga biasa saja, beliau tidak pernah menyapa ketika bertemu di kantor. Aku pun berusaha sebisa mungkin biasa saja, tugas sehari-hari kukerjakan dengan baik. Hingga suatu sore aku dipaksa mengikutinya entah kemana. Mobil itu mengarah ke Tangerang, ke daerahku, “Mau kemana ini Pak?” aku berusaha menenangkan diri. “Sudah ikut saja, nanti kamu juga tahu,” jawabnya dengan dingin. Aku cemas, curiga apa yang sedang direncanakan Pak Yoga. Mobil terus melaju ke arah barat laut Kabupaten Tangerang, yang kemudian aku tahu ke sebuah desa di Kecamatan Mekarbaru. Pukul 18.00 persis kami tiba di depan rumah, tidak begitu besar namun cukup bagus arsitekturnya. “Selamat datang Pak Yoga, silahkan masuk,” sambut lelaki sepuh berwajah teduh dengan sorban di pundaknya. “Terimakasih Pak Kyai. Mhn maaf mengganggu…” “Aahhh biasa saja Pak, kami senang bisa membantu Pak Yoga.” Mereka berdua terlibat pembicaraan hangat sepertinya sudah saling mengenal lama. Aku hanya menyimak obrolan mereka. “Ini istri Pak Yoga?” tiba-tiba mereka mengarahkan tatapannya padaku yang berada di samping Pak Yoga. “Ohh iya saya lupa, ini istri saya Pak, tapi kami sedang ada masalah.” jawab Pak Yoga tenang. “Kalau boleh tahu apa masalahnya Pak?” jawab pak Kyai Munir ramah. “Begini Pak Kyai, saya pernah khilaf menalak istri saya ini secara agama, tapi tidak ke pengadilan. Jadi buku nikah kami masih ada. Hanya saja secara agama kami sudah bercerai. Kami kemari ingin minta bantuan Pak Kyai. Kami ingin menikah kembali…tolong nikahkan kami Pak Kyai.” Aku terhenyak kaget, bagaimana mungkin Pak Yoga merencanakan ini semua tanpa persetujuan aku. Tapi lidahku kelu dan mulutku terkunci rapat. Aku hanya tertunduk malu, takut, khawatir perasaan campur aduk. “Ohhhh…begitu, insyAllah saya bantu Pak. Untuk kebaikan pasti saya bantu. Membantu suami istri yang rujuk itu pahalanya besar.” “Terimakasih pak Kyai…” senyum mengembang di wajah Pak Yoga mendengar jawaban Pak Kyai. “Baik kalau begitu saya siapkan dulu. Acaranya sebaiknya ba’da Isya yaa Pak. Saya carikan saksi dan penghulunya. Silahkan beristirahat dulu,” pak Kyai pamit ingin menyiapkan keperluan acara akad nikah kami. Aku masih tunduk terdiam sepeninggal Pak Kyai. Waktu rasanya berjalan dengan cepat, kini aku sedang duduk berdampingan dengan Pak Yoga di hadapan Penghulu dan beberapa saksi. Aku berkebaya putih, yang rupanya kebaya ini sudah disiapkan Pak Yoga dari Jakarta, Pak Yoga gagah sekali dengan jas sederhana dan kemeja putih, plus peci hitam di kepalanya. Tak terasa air mata ini menetes ketika kudengar ijab kabul antara Pak Yoga dan Penghulu berlangsung. Bagaimana mungkin aku justru mengikuti permainan terlarang ini, aku justru membiarkan ini semua terjadi. Kini aku sah menjadi istri Yoga Perdana, lelaki tampan, Boss-ku di tempat aku bekerja. Setelah ramah tamah sebentar, jamuan makan malam ala kadarnya Nasi Padang Kotak yang sudah disediakan untuk tamu undangan yang hadir malam itu, aku dan Pak Yoga pamit. “Saran saya malam ini Pak Yoga beristirahat di sini saja,” tawar pak Kyai. “Kebetulan rumah sebelah itu kosong, anak-anak belum pulang dari pondok mereka.” “Waaahh kami takut merepotkan Pak Kyai,” tolak Pak Yoga secara halus. “Apa yg merepotkan Pak? Justru saya merasa gak enak hati kalo pak Yoga menolak tawaran kami,” ucap Pak Kyai kembali. “Hmmmm….baiklah kalau begitu pak Kyai.” Maka aku langsung di geret Pak Yoga menuju rumah sebelah dan bersiap menghabiskan malam itu. Malam itu, kami bercinta dengan panasnya. Seumpama pengantin baru kami menghabiskan malam pertama kami. Besoknya kami kembali beraktifitas seperti biasa, Pak Yoga memanggilku ke ruangan beliau setelah aku menghantarkan minuman pagi hari untuk semua karyawan di lantai 11. “Duduk La, tanda tangani ini ya,” sambil menyodorkan beberapa lembar surat. “Surat apa ini Pak?” tanya ku kaget. “Ohhh…ini draft perjanjian nikah kontrak kita,” papar Pak Yoga. “Kawin Kontrak? Maksudnya Pak?” aku semakin gak paham maksudnya. “Duduk dulu saya jelaskan. Kamu tahu saya ingin punya anak lagi, terutama anak perempuan, La, Karena dua anak saya dari istri, laki-laki semua. Sementara istri saya sudah tidak mungkin hamil lagi, La.” “Sejak saya ketemu kamu saya merasa cocok dengan kamu, terlebih kita sudah melakukan persetubuhan. Untuk itu saya sengaja menikahi kamu, supaya kamu hamil, dan saya berharap anak dari kamu perempuan. Namun karena saya sudah beristri dan tidak mungkin berpoligami, maka, saya berharap kamu bisa menyembunyikan pernikahan kita kemarin.” “Dan disurat ini tertera beberapa perjanjian. Diantaranya anak yang kamu kandung ketika lahir harus diserahkan kepada saya selaku ayah anak tersebut. Kamu akan saya berikan uang belanja perbulan 3 juta Rupiah dan gaji kamu saya naikan satu juta.” “Biaya hamil, persalinan saya tanggung semua. Dan kamu tidak bisa menuntut saya apa-apa. Kontrak kawin ini berlaku untuk 2 tahun. Hamil atau tidak hamil setelah 2 tahun maka kita akan bercerai…” ucapnya panjang lebar menjelaskan. Aku sebenarnya gak paham maksudnya apa, pusing kepala dibuatnya. Akhirnya aku membubuhkan tandatangan dan berharap ini akan berakhir. Setiap malam Jumat dan Sabtu Pak Yoga akan menghabiskan waktunya bersama saya di hotel. Memuntahkan spermanya ke dalam rahimku hingga kami berdua terlelap kelelahan. Hingga suatu hari Pak Yoga datang ke rumahku. Sore itu aku sedang menyapu halaman ketika mobil Pak Yoga memasuki halaman rumahku. Setelah berbasa basi, Pak Yoga menjelaskan maksud kedatangannya. “Saya hanya mampir saja kebetulan lewat sini. Maaf klo merepotkan.” “Ahhh..tidak apa-apa, kami justru berterima kasih atas kehadiran Bapak di gubuk kami,” ucap suamiku. Mereka terlibat obrolan hangat seolah-olah sudah kenal lama. “Haloo…anak-anak, siapa yang mau hadiah?” Pak Yoga menawarkan hadiah ketika anak-anak menghampiri kami. Jelas saja anak-anak berteriak mengacungkan tangannya masing-masing. Bergegas Pak Yoga menuju mobilnya dan mengeluarkan beberapa Kado dan diserahkan ke anak-anak. Mereka senang dapat hadiah mainan dan makanan dari Boss-ku, ehhhh…suamiku ahhhh… Tak tahulah kondisi kami ini apa namanya. “Begini Mas, klo diijinkan saya ingin beristirahat sejenak, sebelum pulang. Tapi saya juga mau minta tolong sama Mas-nya.” Pak Yoga memulai obrolan lagi setelah sibuk melayani permintaan anak-anak yang banyak dan cerewet. “Ohhh silahkan Pak silahkan…mohon maaf keadaannya begini. Gak ada AC-nya Pak…” ucap suamiku merendah. “Terimakasih banyak Mas, saya minta tolong belikan ikan mas hidup, 2 kg untuk istri saya di rumah. Kebetulan istri saya suka dengan ikan mas. Silahkan Mas-nya mau beli juga ikan apa untuk dirumah ini. Itu bawa saja mobil saya, dan ajak anak-anak sekalian jalan-jalan, Mas.” perintah Pak Yoga pada suamiku, maksudnya suami pertamaku. Bergegas suami segera menyanggupi perintah Pak Yoga, bersama anak-anak ke pasar mencari pesanan Pak Yoga. “La, rumah dah sepi nih…” senyum mesum mengembang di wajah Pak Yoga. “Apa sih Pak?” ucapku malu-malu. “Berapa lama ke Pasar La?” tanyanya serius. “Sekitar 45 menit Pak. Bolak-balik 1,5 jam, belum muter-muter cari ikan mas hidupnya Pak.” jawabku “Wahhh cukup waktu buat kita enak-enak La.” Maka direngkuhnya tubuhku, dibopongnya ke kamarku. Tanpa membuang waktu kami saling melucuti pakaian kami kami masing masing. Bibirnya menjelajah setiap centi tubuh ini, lidahnya menyapu seluruh kulit dan seluk beluk badanku. Aku hanya mengerang dan mengerang menerima serangannya, adrenalinku memuncak. Pertama kalinya aku bersetubuh dengan Pak Yoga di rumahku tanpa diketahui suamiku. “Ahhh…ahhh…hmm…pak…udah pak…aku gak tahan..” “Cup…cupp…sssseeeppp…slrruuupp…slruuup..muuuaaaaccchh cpcpcpcpcp. Jangan panggil Pak donk sayang…panggil Mas aja yaa kalau kita lagi berdua begini…kamu kan istriku, Sayang.” ucapnya disela-sela kesibukannya menjamah tubuhku. Gaya misionaris kami selesaikan dalam waktu 50 menit. Kami beristirahat sejenak, mungkin sekitar 15 menitan hingga kemudian Mas Yoga membopong tubuhku ke kamar mandi. “Nungging sayang…” ucapnya ketika sampai di kamar mandi. Aku menuruti kemauannya. Berpegangan pada pinggir bak mandi aku berusaha menungging. “..ahhhh….ahhhh…pelaaaann masssss,” ucapku ketika merasakan penisnya mulai membelah vaginaku dari belakang. “Ahhh enaknya sayang….sempiiitttt sshshshs aahhhhh,” racaunya menikmati persetubuhan kami. Digenjotnya perlahan kemudian kencang dan semakin kencang. Aku hanya bisa berteriak-teriak menyambut setiap tusukan penisnya. Ohhhh….plok….plok…plok…ceprotttt…ceproottsshhh suara pertemuan kelamin kami dalam kamar mandi itu. Aku pun orgasme untuk kesekian kalinya. “..aku keluar masssss aaaaahhhhhh ssssrrrrrr sseeerrrrr sseeeerrr….crot…crot…crot..crooot..hmmm ggggrrrrmmmmhhhh…” Kurasakan semburan sperma pun membanjiri vaginaku. Dan lolongan panjang mas Yoga mengakhiri permainan panas kami sore itu. Aku mengatur nafasku, dan membuka kran kamar mandi itu, tiba-tiba terdengar suara suamiku pulang dari pasar. “Dek…dek…dek…Pak Yoga kemana?” teriaknya dari luar. Aku panik luar biasa. “..ahhh mungkin keeee mushollah masss,” ucapku gagap, sambil menatap panik Mas Yoga, yang kutatap hanya mengacungkan jempolnya. “Ohhh kalau begitu Abang susul ke Mushollah dek, ini ikannya Abang taruh di cucian piring ya.” ucap suamiku berlalu Dirasa suami sudah pergi, aku pelan-pelan keluar kamar mandi dan memeriksa kondisi di luar. Setelah aman aku memberikan kode ke Mas Yoga agar keluar dari kamar mandi. Aku melanjutkan membasuh badanku, membersihkan sisa-sisa perbuatan mesum kami sore menjelang malam itu. Sepulang suami dan Mas Yoga dari Mushollah kami makan bersama, dan kemudian Mas Yoga pamit kembali ke Jakarta. Dan tanpa sepengetahuan suami, beliau memberikan uang jajan anak-anak dan tentu saja buat aku ibunya anak-anak pun ada jatahnya tersendiri Karena kebaikan Mas Yoga itu, anak-anak jadi dekat sekali dengan Mas Yoga, hampir setiap hari anak-anak menanyakan kapan Om Yoga datang lagi. Akhirnya Mas Yoga memiliki jadwal setiap Jum’at dan Sabtu minggu pertama dan minggu ketiga dihabiskan di rumahku. Selain bermain dengan anak-anak tentu saja mas Yoga juga bermain-main dengan aku. Mencuri-curi waktu, sembunyi-sembunyi, persetubuhan kami lakukan di kamar, dan di kamar mandi. Pernah suatu malam, ketika suami lelap dalam tidurnya, aku pindah kamar menuju kamar tamu, dan bercinta dengan Mas Yoga sepuasnya. Kemudian kembali lagi ke kamar suami ketika Mas Yoga sudah menyemburkan benih-benihnya kedalam rahimku Waktu terus berjalan, tak jarang Mas Yoga mengajak kami liburan, terutama mengajak anak-anak liburan ke Puncak, Bogor, Sukabumi, bahkan ke Ancol, TMII dan Dunia Fantasi pun pernah kami datangi bersama. Aku pun Hamil…?????? Mas Yoga semakin sayang dan perhatian dengan kondisi kehamilan aku. Suamiku menyadari ada sesuatu yang kami sembunyikan. Terlebih perutku semakin membesar. Hingga suatu malam, aku menangis di bawah kaki suami meminta maaf atas perbuatanku. Namun suami diam seribu bahasa. Tak bergeming. Mas Yoga berusaha menjelaskan kondisi pernikahan kontrak kami. Pasal-pasal yang telah aku dan Mas Yoga setujui, beserta hak dan kewajibannya. Setelah situasi mereda, kulihat meski kecewa namun suami tidak bisa berbuat banyak. Sepertinya tak ada pilihan ia harus mengikhlaskan istrinya malam itu disetubuhi lagi oleh Boss-nya. Di rumahnya sendiri. Dalam keadaan hamil. Sambil terisak aku tetap bergoyang di bawah tubuh Mas Yoga yang menggempurku penuh nafsu dan birahi. Suamiku yang sudah mengetahui kondisi aku dan Mas Yoga dan dengan terpaksa memberikan restunya untuk kami berdua. Kisahku belum berakhir… Kondisi kehamilanku makin membesar, ketika istri Mas Yoga menghampiri aku dan suamiku yang sedang mengobrol di teras rumah kami. Perempuan cantik dan anggun berkulit putih bersih itu memasuki pekarangan kami dengan muka yang kurang bersahabat. Setelah berbasa-basi, “Saya kira kalian sudah tahu maksud kedatangan saya kesini,” suaranya tegas, meski dibuat agar terdengar ramah namun rasa marah dan kecewa tetap tergambar dalam intonasinya. Aku hanya tertunduk dan suami pun tak banyak bicara. “Tinggalkan suami saya, jangan kamu dekati lagi. Sebab kalau kamu masih berani, maka saya akan melaporkan kamu ke polisi,” ancamnya penuh tekanan. Aku hanya bisa menangis mendapat perlakuan itu, semua memang salahku. Jadi aku pantas mendapatkan nya. “Ini uang untuk biaya persalinan, saya harap itu cukup untuk membesarkan anak kamu. Lagi pula itu belum tentu juga anak suami saya.” Ucapannya semakin membuat hatiku pedih. Namun apa dayaku, suamiku memeluk tubuhku menguatkan aku. “Saya tidak punya banyak waktu,” ucapnya berdiri sambil menyerahkan amplop berisi uang, dan surat pemecatan diriku. “Dan satu lagi kamu sudah di pecat sebagai Office Girl, jadi kamu bukan pegawai di kantor suami saya lagi.” —– Mas Yoga menghilang, HP-nya sulit dihubungi, bahkan ketika aku nekat datang ke kantor pun, aku dihadang sekuriti dan dilarang masuk. Mbak Mala sekretaris Mas Yoga pun tidak bisa berbuat banyak utk membantuku. Aku pun pasrah atas nasib yang sudah digariskan untukku. Menerima semua akibat perbuatanku yang melanggar aturan baik agama dan negara.
ns 15.158.61.13da2