Usia kandunganku sudah menginjak bulannya. Perkiraan lahir tanggal 28 Juli. Suamiku sudah mengajukan cuti untuk seminggu di sekitar hari perkiraan lahir. 3 hari cuti sebelum tanggal perkiraan lahir dan 4 hari cuti setelah lahir. Mertuaku yang lama gak ada kabar karena kesibukannya tiba-tiba datang ke rumah. Posisi suami aku saat itu masih bekerja, belum waktunya cuti. Aku yang merasa kehilangan dan kangen, cukup bahagia juga dengan kehadiran mertua. Tapi di sisi lain aku juga merasa takut dan berdosa. Mertuaku kelihatan bahagia, dia mewanti-wanti agar aku menjaga kandunganku. Karena katanya, bagaimanapun juga itu anaknya. Tapi aku membantahnya. Aku katakan bahwa ini bukan anaknya tapi anak suamiku. Aku bilang kemana aja selama ini. Kalau mengakui ini anaknya kenapa menghilang dan gak bertanggung jawab. Jawabku terisak. Aku menumpahkan emosiku kepada mertua. Mertua yang sadar dengan kesalahannya, diam tidak berkomentar apa-apa kecuali hanya menatap aku dengan tatapan penuh kerinduan. “Bapak terpaksa menjauh agar tidak merusak hubungan kamu dan suamimu, Nduk. Bapak sangat kangen dan siap bertanggung jawab, bayi dalam kandunganmu adalah anakku,” kata mertuaku. “Cukup. Ini anak suamiku. Bapak jangan coba-coba ganggu apalagi mengakui anak ini. Biarkan dia hidup tenang dan bahagia Pak, jangan sampe dia nanti dihina masyarakat karenn kesalahan kita.” Aku menangis tersedu-sedu memikirkan nasib diri yang jadi begini. Mertuaku menghampiri dan memeluk aku. Aku tidak menolak. Sambil kusandarkan kepala di dadanya, aku kembali menangis kencang. Mertua mengecup keningku dan mengusap-usap kepalaku “Bapak minta maaf kalau sudah membuat kamu menderita Nduk. Bapak akan tanggung jawab. Ini ada uang 25 juta hasil panen, kamu gunakan untuk keperluan melahirkan dan biaya anak kita.” katanya sambil menyerahkan tas yang sedari tadi beliau pegang. Aku menatap wajah mertua dan membuka tasnya. Di dalam tas tersebut terlihat ikatan uang pecahan 100 ribu cukup banyak. Aku gak sempat menghitungnya. Dengan terharu aku peluk mertuaku erat. Dan seperti tanpa sadar akhirnya kami berciuman. Begitu tersadar, buru-buru aku merapihkan diri dan menjauh dari mertua aku. Aku gak mau kesalahan aku terulang. Cukup sudah, yang lalu biarlah berlalu. Aku membawa tas tersebut ke kamar, kemudian dengan perasaan berat aku menyiapkan makan malam untuk aku dan mertua. Bagaimanapun juga beliau adalah orang tuaku juga dan beliau tamu yang wajib dimuliakan kehadirannya di rumahku. Setelah makan malam aku pamit istirahat ke kamar. Kulihat anak pertamaku juga sudah pulas terlelap di tempat tidur. Aku baringkan tubuh ini di samping anak aku. Malam semakin larut, aku gelisah tiba-tiba libidoku naik, aku berusaha membuang jauh-jauh rasa itu dan mencoba memejamkan mata. Anak dalam kandungan aku bergerak cepat, memutar gak mau diam. Aku sedikit panik. Kakinya menendang-nendang perutku. Aku usap-usap perutku sambil berucap, “Tenang Nak..jangan takut ada Bunda disini. Kamu kenapa gelisah Nak? Gak biasanya kamu gerakannya cepat begini.” Tiba-tiba tangan kekar membekap aku dan membopong tubuh aku keluar kamar. Aku diletakkan di atas meja makan. Dalam temaram lampu 5 watt, aku lihat mertuaku sudah bugil dan tersenyum menatapku penuh nafsu. “Anak kita mungkin kangen dengan bapaknya Nduk, pengen kenalan,” kata mertuaku sambil tersenyum licik. Aku berusaha berontak sekuat tenaga, kakiku menendang ke segala arah agar mertuaku terjatuh. Tapi tenaga mertuaku cukup kuat. Sekali tarik bajuku robek semua. Aku yang tidak pakai pakaian dalam akhirnya langsung bugil, telanjang bulat di atas meja, terbaring tak berdaya. Sejak kehamilan memasuki usia 8 bulan aku memang gak pernah pakai pakaian dalam lagi selain pakai daster saja. Di samping karena ukuran pakaian dalam untuk orang hamil agak sulit, aku juga merasa gerah gak nyaman jika memakai pakaian dalam. Aku masih berontak. Dan dengan kasar mertua memasuki aku. Aku menjerit sekencang-kencangnya karena rasa sakit yang luar biasa dan aku takut terjadi sesuatu dengan bayi aku dengan perlakuan kasar mertua. “Ini Bapak Nak, Bapak lagi nengokin kamu. Kamu jangan nakal ya…” sambil memompa penisnya mertuaku berbicara dengan perut aku. Aku hanya bisa mendesah merasakan sakit tapi nikmat. Nyeri tapi enak. Dan tiba-tiba bayi aku gak gerak sama sekali. Padahal tadi aku merasakan gerakan nya cepat sekali “Tuh anak kita tahu kalau bapaknya lagi nengokin,” terkekeh mertua mengetahui kondisi bayiku. Aku hanya bisa pasrah, dan berusaha membuang muka gak mau menatap mertuaku yang dengan ganasnya memompa penisnya di dalam vaginaku. Aku mendesah orgasme. Mertua masih gagah dan kasar memperkosa aku diatas meja makan. 30 menit kemudian aku kembali orgasme yang kedua. Perutku kejang kontraksi. Aku berusaha mendorong tubuh mertua. Tapi apa daya mertua masih semangat memompa. “Sabar Nduk, sedikit lagi bapak sampai.” Aku mendorong lagi tubuh mertuaku. “Aku sakit pak. Perutku kejang. Kontraksinya kuat, rasanya aku mau melahirkan…” “Sabar Nduk tenang, Bapak lagi buat jalan lahir ini. Nikmati aja.” Mertua terus memompa, hingga kemudian dia keluar. Bermili-mili liter sperma aku rasakan di dalam vaginaku hingga meluber keluar. Perutku makin tegang dan sakit. Aku mengeluh. Aku bilang aku mau melahirkan. Mertua bergegas memakai bajunya, kemudian mencari baju untukku di kamar. Aku bilang tolong ambil tas besar di kamar, disitu perlengkapan melahirkan sudah aku siapkan semuanya. Dengan dibonceng motor aku dibawa mertua ke klinik 24 jam terdekat. Sebelumnya anak pertamaku sudah kami titipkkan ke tetangga sebelah rumah. Agak gak enak hati membangunkan tetangga dini hari begini tapi kondisinya darurat. Kami yakin tetangga pun paham keadaannya. Dokter jaga saat itu lelaki, dengan sigap menyambut kami. Aku yang sudah kepayahan menahan sakit di bopong mertua dan dibaringkan di tempat tidur pasien. Dokter menyiapkan peralatannya, terasa lama sekali kurasa, sambil menahan sakit yang luar biasa. Aku merasa waktu berjalan sangat lambat. “Tenang ya Bu, saya periksa dulu.” Dokter memecahkan kesunyian malam, sambil mengangkat daster aku ke atas pinggang dan memeriksa vaginaku dengan seksama. “Hmmmm bagus…” gumamnya. Aku gak tahu maksudnya apa, aku hanya pasrah saja mendengar komentar dokter. “Bukaannya sudah 9 Pak-Bu sebentar lagi juga lahir.. sabar ya jangan mengejan dulu. Tarik nafas saja pelan-pelan, keluarkan pelan-pelan. Jalan lahirnya juga bagus ini. Kelihatannya Bapaknya yang membuka yah…?” celoteh dokternya sedikit tersenyum. Aku masih gak sadar apa yang diucapkan dokter. Aku fokus dengan sakit yang kurasakan. Aku sudah gak tahu lagi apa yang diucapkan dokter, aku hanya berusaha mengejan saja. Panduan dokter agar tarik nafas dan mengejan sudah tidak aku dengarkan. Beruntung hanya dengan tiga kali mengejan anakku lahir dengan selamat. Aku kelelahan dan mengantuk. Kulihat samar-samar mertuaku mengadzani bayi dan mencium keningku. Anakku lahir lebih cepat, seminggu dari perkiraan lahir dokter. Suami tiba dua hari setelah aku melahirkan. Dia terlihat bahagia karena bayi yang lahir adalah perempuan. Seperti keinginan dia selama ini. Tak habis-habisnya dia puji bahwa bayinya cantik dan mirip sekali dengan mukanya. Hatiku teriris mendengar celotehannya. Jelas muka kalian mirip, karena kalian adik kakak. Air mataku meleleh. —– Kehidupan kami berlanjut seperti sedia kala. Hingga anak keduaku berusia 1 tahun, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan untuk bantu-bantu suami, karena kebutuhan semakin meningkat. Aku diskusikan keinginanku suatu hari dengan suami ketika dia pulang. Panjang lebar kami diskusi sambil di tempat tidur, yang akhirnya dengan berat hati suami mengijinkan aku bekerja. Meskipun belum tahu aku akan kerja apa dan dimana Belum sempat cita-citaku ingin bekerja terlaksana, kabar buruk menghampiri kami. Bapak mertua sakit dan meminta kami segera ke kampung menengok beliau. Kami segera berangkat ke kampung, mendapati Bapak sudah terbaring di rumah sakit. Kondisinya sangat memprihatinkan, tubuhnya kelihatan lemah. Dokter menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang berbahaya, kondisi beliau hanya psikis saja ditambah usia tua. Jadi sebenarnya wajar saja sakit. Mertua berbinar melihat kedatangan kami. “Nak, Bapak mau cerita kepadamu, tapi janji gak boleh marah apalagi sampai menceraikan istrimu.” suaranya pelan dan terbata mengajak suami bicara. Aku yang disampingnya kaget, gelisah, perasaan gak enak dengan gelagat mertua. Dan yang aku takutkan pun terjadi. Mertua menceritakan kejadian malam itu dengan detail ke suami, hingga aku hamil dan melahirkan. Aku lemas dan pasrah dengan apa yang terjadi. ?????????????? Kulihat suami tegang mukanya dan kaku tak bergerak. Tak lama kemudian mertua meminta maaf atas kekhilafannya. Seluruh hartanya diwariskan ke suami aku karena memang anak semata wayang. Mertua titip anaknya yang ada di gendongan aku, agar suami menjaga dan tetap menganggap dia sebagai anak kandungnya. Aku tak kuasa menahan tangis. Tak lama kemudian mertua menghembuskan nafas terakhirnya. Aku semakin histeris. Sementara suamiku masih kaku tak bergerak. Meski kulihat matanya berderai air mata. Namun tanpa suara.
ns 15.158.2.208da2