Sepertinya aku lama terlelap, atau hanya sekejap saja entahlah. Rasa nikmat menjalar ke seluruh raga ini. Perasaanku ringan melayang di khayangan. Samar-samar kudengar perdebatan sengit di dalam kamar. “Ente maen pake aja Bini gw, Bro?? Perjanjiannya kan gak gitu?” suara suami tinggi. “Sorry Bro, bini ente mulus bener, gw khilaf,” ucap mas Imam menimpali. Kulihat sejenak sepertinya mas Imam masih telanjang berhadapan dengan suamiku. Antara sadar dan tidak, aku kelelahan terbaring sambil berusaha menajamkan telinga ini. Kudengar pintu kamar terbanting keras, suamiku keluar sepertinya marah. Mas Imam menyusul suami keluar kamar, dalam kondisi telanjang. Bajunya masih kulihat berserakan didalam kamar. Perlahan aku mencoba bangkit, tubuh remuk redam, tulang-tulang seperti dilolosi. Kukenakan sarung di tubuhku, sambil kuraih penutup kepala. Beranjak menuju pintu, telingaku menguping pembicaraan dibalik pintu. “Gw setuju tawaran Lo, bini Lo gw nikahin, tapi Lo harus ingat, Lo gak boleh menjamah dia karena dia jadi milik gw.” ujar mas Imam semangat. “Hmmmm …gw bisa apa? Lagian Lo dah embat juga. Percuma gw larang pun.” Getir terdengar suara suami menimpali. Aku masih mematung di balik pintu. Takut ingin keluar kamar. “Sorry bro, gw bener-bener khilaf. Gw bener-bener gak nyangka Ella masih seksi menggairahkan Bro, meski anak sudah 4.” kembali mas Imam meminta maaf atas perbuatannya. “Sudahlah nasi sudah jadi bubur, sekarang ente harus tanggung jawab.” suamiku pasrah menerima keadaan. “Siap Boss…Minggu depan gw akan nikahin bini Lo, besok gw akan persiapkan semuanya.” mas Imam terdengar serius, aku menarik nafas, entah harus bahagia atau bagaimana. Keadaan yang sulit bagi seorang perempuan menerima kenyataan hidup, harus memiliki suami dua, berkali-kali. ?????? Sejenak hening, entah apa yang ada di pikiran dua lelaki itu. Kebelet ingin buang air kecil begitu kuat, aku memberanikan diri membuka pintu kamar, perlahan tanpa suara. Kulihat mereka menatapku penuh gairah. Aku tertunduk, beranjak menuju toilet, ketika suara itu menahanku. “Sayang, sini duduk dulu sebentar.” terkejut aku dibuatnya, mas Imam memanggilku dengan sebutan sayang. Langkahku mendadak berhenti. Seperti terhipnotis aku menghampiri mereka, aku duduk diantara merek berdua, namun Mas Imam menarik tubuhku ke pangkuannya. Kulihat suami diam saja atas perlakuan Mas Imam, aku pun menyerah. Rasa ingin pipis terlupakan. Mas Imam mendudukan aku di pangkuan tubuh telanjangnya. Menyingkapkan sarungku, otomatis vaginaku tak tertutup sehelai benang pun. Kulit paha kami bertemu, aku menggelinjang. Tangan Mas Imam mendekap dadaku yang masih tertutup kain sarung. “Kita akan menikah pekan depan sayang, bagaimana menurut mu?” Bergidik aku dibuatnya, nafas mas Imam menyerang tengkukku sambil tetap memangku dan mendekap tubuhku. “Hmmmm….ahhhhh…sebeeeennntaaar masss akuuh mauuhh pipisss..ahhh…” desahku menahan hasrat ingin pipis yang sudah diujung. “Sebentar sayang, jawab dulu, kamu minta maharnya apa ahhhhh…hmmmm.” bibir Mas Imam mengecup tengkukku, meremang bulu kuduk. Aku mendesahhhh, “Akuuuh…kebelet…pipisss maassss ahhhhh. Ouuuuggghhh…. ooouuwwww.” Aku menjerit, seketika kurasakan penis Mas Imam menusuk tajam vaginaku. Dia mendiamkan penisnya, kelamin kami bersatu dalam pangkuan. Kutatap suami yang sedari tadi tak berkomentar. Hanya nafasnya kulihat mulai tak teratur. Bagian bawah tubuh kami masih tersembunyi di dalam sarung yang kukenakan. Mas Imam menggerakan pinggulnya, aku terhenyak mengikuti irama goyangan Mas Imam. “.. Ahhhh…akuuuu pipiissshhhh ssshhhh,” Seketika cairan air seniku keluar tanpa bisa kubendung. Rasa malu dan nikmat bercampur menjadi satu. Mataku sayu menatap suami yang terlihat terkejut dengan teriakanku. Dia sepertinya penasaran dengan apa yang sedang terjadi dengan kami dibalik sarung itu. “Hehehehehhee….kamu nakal sayang, belum apa-apa udah banjir aja menyembur calon suamimu.” mas Imam terkekeh menyaksikan sofa itu banjir terkena air kencingku. Suami menatap tak percaya, melihat cairan itu meluber ke lantai, aku lemas dan malu sekali dibuat mengompol di depan suamiku sendiri. Mas Imam membaringkan tubuhku di sofa. Kepalaku diletakkan di pangkuan suami. Sarungku dibetot dan dihempaskan entah kemana. “Kainnya basah sayang, dilepas aja nanti kamu masuk angin,” ujar mas Imam melempar sarungku ke pojokan. Aku tak kuasa menolak perbuatannya, tubuh bugil, tersisa kerudung di kepala. Kulirik kelamin kami masih menyatu. Aku mencoba menatap suamiku, kemudian aku membuang muka merasa malu. Mas Imam mengenyot puting kiriku, aku hanya bisa mendesah aaahhhh….ssshhhh… menutup mata menahan malu. Kurasakan tangan suamiku mengusap kepalaku. Sesaat kemudian tangannya menggenggam jemariku. Aku pun membalas genggaman jemarinya, tak terasa air mata menetes di pipi. Kurasakan tangan suamiku mengusap linangan air mataku. Yang membuat deraian airmata semakin banjir. Sejurus kemudian kurasakan suami mengecup kedua mataku yang terpejam basah. Mulutku masih mendesah dan mengerang menerima sedotan demi sedotan bibir Mas Imam di kedua payudaraku. Kemudian leherku jadi sasarannya. Penisnya menghujam kasar vaginaku, kepalaku terhentak-hentak di atas pangkuan suamiku. Ahhhh… ouuuuggghhh.. ooouuwwww aahhhhm..ssshhh hupft..hupstt…sesaat bibirku dilumat suamiku. Menghentikan eranganku yang menggema di ruang tamu. Penis mas Imam masih teratur memompa vaginaku. Mas Imam mengerang penuh kenikmatan merasakan gesekan kelamin kami. “Ouuuhhhh….memek mu legit, masih terasa sempit sayaaang…” racaunya ditengah kesibukannya membombardir vaginaku. Suamiku masih sibuk mengecup bibirku, lidahnya menari-menari di dalam mulut, aku membalas belitan lidahnya. Saliva kami saling bertukar, tangannya sekarang memilin-milin puting susuku. Konsentrasiku sekarang pada mulut suami yang menyedot erat mulutku. Dibawah sana vaginaku mesih megap-megap ditusuk-tusuk penis berkepala besar mas Imam. Hampir dua jam, aku menerima pompaan mas Imam, tiga kali aku kejang-kejang dilanda orgasme. Sofa sudah tidak karuan bentuknya akibat perkelahian kelamin itu, becek, banjir oleh peluh keringat dan tetesan lendir dari vaginaku. Kembali mas Imam menyemburkan lahar putihnya ke dalam rahimku. Aku sudah terkapar, mataku terpejam menikmati sisa-sisa pertempuran. Suamiku pun membelai dan mengecup keningku. Aku sudah tidak peduli lagi. Menyadari diriku disetubuhi di depan suamiku sendiri oleh teman karib suami. Mas Imam membopong tubuhku ke kamar mandi, tak peduli suamiku yang hanya bisa menatap penuh rasa iri melihat istrinya terpuaskan disetubuhi sahabat karibnya. Tak ada ritual seks yang kami lakukan di dalam kamar mandi. Mas Imam hanya membasuh badanku dan menyabuninya dengan lembut dan mesra. Aku hanya pasrah menerima perlakuannya. Kami pun mandi membersihkan lendir-lendir yang menempel di tubuh kami. Kemudian kembali membopong tubuhku yang sudah di balut handuk ke kamar tidurku. Kulihat anak-anak sudah terlelap dalam tidurnya. Aku direbahkan dikasur, mas Imam menyelimuti tubuhku, kemudian diapun berbaring di sebelahku, memeluk dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Aku meronta, “Masssss….ahhh lepaskan, kita belum resmi menikah. Dan ini kamar suamiku, aku harap kamu mengerti perasaan suamiku mas,” ujarku sambil berusaha mendorong tubuh mas Imam menjauh dariku. Tak lama suamiku masuk ke kamar, “Biar Abang di kamar tamu dek…kamu disini saja layani Imam dengan baik.” Ada rasa getir pada nada suara lelaki itu, sambil mengambil bantal dan selimut kemudian berlalu keluar kamar. Aku hanya diam terpaku, mataku berkaca-kaca merasakan kepedihan yang mungkin saat ini dirasakan suamiku Menjelang pagi aku terjaga. Kulihat mas Imam terlelap disampingku. Bibir lelaki itu tersenyum dalam tidur seakan-akan bahagia. Perlahan aku turun dari kasur, mengendap-ngendap keluar kamar menuju suamiku di kamar tamu. Perlahan aku merebahkan diri di samping suamiku. Tanganku memeluknya, dan suamiku terbangun. “…eehhhh…hhmmm kenapa dek?” sapanya di sela kantuk. “Adek pengen dipeluk Abang aja…ahhhh,” jawabku. “Kamu berapa kali di-ewe Imam tadi di dalam kamar kita hah….?” Pertanyaan itu menohok jantungku. Sambil terisak aku menjawab, “Gak kok Bang, mas Imam tidur, Adek gak di-ewe lagi dikamar tadi.” “Bohong kamu….hah…” kasar kata-katanya mengintrogasiku. Tangannya menjamah vaginaku. Diraba dan diremasnya vaginaku dengan kasar. Ahhhh….hhhmmm..ssshh… Aku hanya bisa mendesah dan menitikkan air mata. “Maafin Abang dek…” sesal suamiku ketika mendapati vaginaku kering dan tak ada tanda-tanda bekas dipakai oleh Mas Imam. “Adek paham Bang….maafin Adek juga yaa, sdh buat hati Abang kecewa. Sebaiknya kita batalkan saja pernikahan aku dan mas Imam Bang….” ucapku di tengah isakan tangis subuh hari. “Jangan dek…Abang bahagia klo kamu bahagia. Maaf Abang sedikit cemburu, semoga kamu mengerti dek…” suamiku memeluk tubuhku erat, seperti tak mau kehilangan aku. Aku membalas pelukannya, kusembunyikan wajahku di dadanya, airmataku membasahi dada suami, Hingga kami terlelap dalam impian masing-masing tentang hari esok. Tentang masa yang akan datang.
ns 15.158.61.20da2