Pagi itu mulai lembaran baru kehidupanku dan Pak RW lah yg berhasil mengisi hidupku. Aku merasa seperti pengantin baru. Dengan rambut basah habis mandi wajib, aku siapkan sarapan untuk anak-anak dan Pak RW. Entah kenapa aku merasa sedang menyiapkan sarapan untuk suamiku tersayang. ?????? Nasi goreng terasi daun mengkudu kesukaan anak-anak dan suami, aku siapkan. Tak lupa teh manis hangat dengan irisan jeruk nipis tersaji rapih diatas meja. Sedang asyik-asyiknya menata meja, sepasang tangan kekar memelukku dari belakang. Aku terkaget gak sadar, rupanya pak RW sudah ada dibelakangku. Masih telanjang dan siap menyantapku pagi ini. Aku sedikit menolak. “Mandi dulu Pak, bau ahhh…” “Bau tapi suka kan?” Ledek pak RW sambil terus berusaha menaikan libidoku. “Bapak mau makan kamu dulu sayang, muuaaach.” Ciuman demi ciuman dilancarkan pak RW. Aku hanya menggeliat terangsang. Akhirnya sekali lagi kami memadu kasih dengan ganasnya di dapur. Peralatan masak berantakan gak karuan. Mungkin terdepak pak RW atau mungkin terdorong tubuhku yang sedang digenjot nungging, pegangan ke tembok cucian piring. Maka suasana dapur pagi itu panas menggelora. Bunyi kecipak kecipuk dari benturan paha pak RW dan pantatku. Plok..plok..plok…ahhhh…ahhhh…shhhhhh Mesum sekali terdengar memenuhi udara dapur pagi hari Aku orgasme berbarengan dengan pak RW yang menumpahkan benih-benihnya ke dalam rahimku. Entah kenapa aku gak khawatir atau takut hamil. Saat itu yang ada di pikiran aku adalah menikmati indahnya hubungan seksual kami yang panas. Tak lama terdengar suara anak-anak menangis bangun tidur. Ahhh…, untungnya perzinahan kami sudah selesai. Aku bergegas ke kamar memeluk anak-anak dan mengajak mereka untuk mandi. Pak RW kulihat sudah rapih dengan pakaian semalam dan wangi sabun mandi. Rupanya saat aku menenangkan anak-anak di kamar, pak RW menyempatkan mandi. Setelah anak-anak rapih, kami pun sarapan bersama, lengkap seperti sebuah keluarga yang utuh, ada ayah, bunda dan anak-anak. ?????? Tapi itu khayalan belaka karena faktanya pak RW hanya selingkuhanku saja. ?????? Pak RW kemudian pamit beraktifitas seperti biasa seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Beliau keluar rumah setelah dirasa situasi aman. Tetangga tidak ada yang melihat beliau keluar rumah kami. Kehidupan seksual aku dan pak RW pun diam-diam berlanjut. Kami mencari waktu yang cukup aman. Tidak gegabah dan berhati-hati sekali. Walaupun jarang karena harus mencari waktu yang tepat dan aman, tapi aku merasa dahaga ini bisa terobati. Selama kami berzinah kami tidak pernah menggunakan pengaman dan pak RW selalu ngecrot di dalam memekku. Karena kalau di luar katanya gak enak. Tapi anehnya setelah 5 bulan berjalan hubungan gelap ini, aku gak kunjung hamil juga. Apakah pak RW Mandul? Atau memang Tuhan tidak mengijinkan aku hamil. Entahlah. Hingga akhirnya pak RW harus pindah rumah karena istrinya gak mau lagi kembali ke rumah dan lebih suka menetap di rumah anaknya. Aku cukup kecewa degnn kepindahan pak RW, aku kehilangan lagi. ?????? Malam itu pun kami memadu kasih untuk terakhir kalinya di rumah Pak RW. Entah kenapa aku memberanikan diri malam-malam berkunjung ke rumah pak RW dan menyerahkan tubuh ini. “Dek maafkan Bapak yaa…sebulan sekali InsyaAllah Bapak akan tengokin kamu dan anak-anak.” Sambil mengecup keningku pak RW berbicara sehabis kami berbagi lender. Entah berapa kali aku orgasme dan pak RW menyemprot rahimku dengan benihnya “Kalau kamu hamil kabari Bapak yaa dek. Bapak akan tanggung jawab.” “Aku sedih Pak, harus berpisah, gak ada lagi yg lindungi aku…” Tangisanku pecah di dadanya. “Sabar sayang, kita akan berjumpa lagi. Ini hanya sementara saja.” Seumpama sepasang kekasih yang dimabuk cinta, aku dan pak RW saling menumpahkan rasa di dada malam itu ——- Sebulan, dua bulan, genap sudah 6 Bulan pak RW tak ada kabar berita. Akupun mulai melupakannya Beruntung aku tidak hamil. Suamiku masih tetap dingin, dia hanya pulang untuk anak-anak. Bermain bersama anak-anak, aku masih menyiapkan makanan dan mencuci pakaiannya. Karena kewajibanku sebagai istri harus melayani suami. Hingga suatu hari, kembali kehidupan kami harus diuji. Perusahaan suami melakukan pengurangan karyawan, dan suamiku, apesnya menjadi salah satu karyawan dari ratusan karyawan yang dirumahkan. ?????? Aku hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ada jalan bagi kami dan anak-anak. “Kamu jangan khawatir dek, Abang akan cari pekerjaan yang lain. Insyaallah dengan pengalaman kerja selama ini, masih banyak perusahaan yang mau terima Abang.” Itulah pertama kalinya aku mendengar suara suami setelah sekian lamanya dia gak pernah berbicara denganku Aku menghambur ke pelukannya. Menangis sejadi-jadi nya. Bahagia campur haru, karena suami sudah mau komunikasi lagi. “Maafkan Adek ya Bang …Adek ikhlas lahir Bathin Bang. Hidup susah senang bersama Abang.”?????? Malam itu untuk pertama kalinya kami bercinta seperti sepasang remaja. Suamiku terlihat canggung menyentuh tubuhku. Aku pun merasa malu telanjang di depan suami ku. “Ahhhhh….dek, kamu masih nikmat saja meski anak sdh dua.” desah suamiku ketika penisnya memasuki lubang surgawiku. Aku tersipu malu, malu karena selama ini tubuhku sudah dijamah orang lain tanpa diketahui suamiku. ?????? Suamiku orgasme, ngecrot banyak sekali sampe luber ke pahaku. Sementara aku belum merasakan apa-apa. Tapi aku cukup bahagia karena suamiku sudah melupakan kepedihannya selama ini. ——- Sebulan berlalu sejak suami di-PHK dan belum juga ada panggilan untuk kerjaan yg baru. Malam hari setelah bercinta, keringat masih mengucur di tubuh kami. Aku memulai pembicaraan penting ini. “Bang, Adek kerja ya ?” Aku menatap wajah lelaki idaman ku. Kulitnya bersih meski tidak putih, jenggotnya mengingatkan aku kepada sosok mertua. Aahhhhh… ???? “Jangan Dek, biar Abang aja yang kerja. Kamu jaga dan urus anak-anak dengan baik di rumah.” Ahh…makin cinta aku dengan lelaki sabar ini. Meski sdh kusakiti hatinya dia masih saja memuliakan aku. “Tapi Bang, gak ada salahnya Adek kerja dulu hitung-hitung bantu utk hidup kita Bang, sebelum Abang dapat kerja.” “Tabungan kita juga sdh menipis bang,” aku kembali beragumen. Kulihat suami menarik nafas dalam. “Kamu mau kerja dimana dek?” “Tapi ingat ya ini hanya sementara saja sebelum Abang dapat kerja.“ Aku pun tersenyum kegirangan sambil mencium bibir suamiku. “Ada tawaran jadi tukang masak dan cuci pakaian di Pesantren Al-Karim Cisoka Bang. Kebetulan pak Kyai yang punya pesantren temennya guru ngaji Abang. Dan kita pernah bakti sosial disana Bang. Inget kan?” Aku mencoba menjelaskan. Memang aku curhat ke guru ngajiku bahwa butuh pekerjaan apa saja yang penting aku mampu melakukannya. “Kapan kamu mulai kerja disana dek?” Terdengar berat suamiku melepaskan aku untuk bekerja disana. “Lusa Bang, hari Senin. Abang gak perlu khawatir, Cisoka kan dekat bang dari sini, cuma 10 km. Abang boleh menengok aku kesana tiap hari kok,” aku berusaha menghibur suamiku. Memang aturannya aku wajib tinggal di pesantren meski jarak rumahku dan pesantren boleh dibilang dekat, bisa pulang pergi. Tapi permintaan Pak Kyai, klo mau kerja di sana harus stay di sana. Dengan ijin suamiku aku pun berangkat bekerja, tujuanku sudah pasti ke Pesantren Al-Karim Cisoka pimpinan K.H. Marjuki. (nama pesantren & nama Kyai adalah bukan nama sebenarnya) Aku diijinkan pulang ke rumah dua minggu sekali dan boleh menerima kunjungan suami dan anak-anak seminggu sekali. Tugasku sebenarnya gak terlalu berat, hanya menyiapkan makanan untuk santri dan penghuni pesantren lainnya. Juga mencuci pakaian para santri yang tinggal disana. Gajiku sebulan 1,5 juta. Kecil tp lumayan utk menyambung hidup sementara waktu. Aku bebas makan disana dan tidurpun gratis. Kamar ku nyaman meski hanya ukuran 3×3 meter saja Aku tidak seorang diri yang bertugas masak dan mencuci. Ada 5 orang lainnya yang bertugas sebagai tim menyiapkan makanan dan cuci pakaian. ——- Tak terasa sudah 6 bulan aku bekerja di sana dan suami sampai saat ini pun belum mendapatkan pekerjaan. Kulihat dia sudah mulai frustasi. Tapi aku selalu hibur dan kuatkan dia. Mungkin ini saatnya dia istirahat, setelah sekian lama banting tulang untuk keluarga. Kehidupan kami meski pas-pasan tapi kami cukup bahagia. Suatu hari aku sedang memasak untuk makan siang para santri, Neneng salah satu teman satu tim menyuruhku menghadap Pak Kyai. “Mar…dipanggil Pak Kyai. Sana buruan.” Neneng satu-satunya teman yang memanggil aku Mar, sementara yang lain memanggilku Iyam atau Ella. Aku kaget, hatiku gak enak. “Aku salah apa ya Neng? Kok kelihatan nya penting banget?” Gemetar aku mencoba berbagi rasa dengan Neneng. “Aku juga gak tahu Mar, setahu ku kamu kerjanya bagus kok, sudah sana pergi. Hadapi dan sabar yaa…” Neneng mencoba menguatkan. Tergopoh-gopoh aku bergegas ke rumah pak Kyai. Jaraknya dari dapur umum ini sejatinya hanya 5 meter saja. Tapi aku merasa jauh sekali dan perasaan ini makin tak karuan. Aku mikirin anak-anak, gimana kalau aku gak kerja lagi disini.
ns 15.158.61.48da2