“Assalamualaikum…” kuucapkan salam setelah berada di teras rumah beliau. “Waalaikum salam…” suara renyah merdu menyambut salamku. Keluarlah sesosok wanita cukup tua namun terlihat anggun dan cantik dengan gamis dan kerudung yang lebar menyambutku. “Ehhh Ella, masuk yukkk,” ajak Bu Nyai. Aku memanggilnya Bu Nyai, beliau adalah istri dari Pak Kyai. “Ayooo duduk La,” aku pun bersimpuh di bawah sofa ruang tamu beliau. “Ehhhhh….apa-apaan kok dilantai. Sini diatas,” hardik Bu Nyai. “Gak papa Bu Nyai, disini saja adem,” aku gak berani duduk sejajar dengan beliau. “Ayoo Ella, jangan begitu. Mari disini ada hal penting yang ingin Ummi sampaikan. Kembali Bu Nyai memaksa. Aku pun dengan berat hati menuruti perintah beliau. Bu Nyai selalu membahasakan dirinya Umi kepada siapapun. “Begini La, kamu kan tahu, Bi Junah sudah mengundurkan diri karena sepuh dan mau beristirahat di rumahnya.” Bu Nyai menceritakan kondisi Bi Junah yang selama ini mengurusi keperluan rumah tangga Pak Kyai. “Umi tuh kebingungan mencari pengganti Bi Junah, si Abi itu rewel orangnya, agak sulit mencari pengganti Bi Junah. Umi lihat kamu cekatan orangnya, gak banyak ngeluh, mirip sosok Bi Junah. Umi minta tolong kamu bantu Umi disini ya??” Harap Bu Nyai sambil menggenggam tanganku. Tentu saja aku mau. Banyak dari pekerja yang masak dan mencuci disini berharap menjadi asisten rumah tangga keluarganya pak Kyai. Tapi aku yang beruntung mendapatkan kesempatan itu Aku pun mengangguk setuju. “Saya manut saja perintah Bu Nyai,” ucapku. “Besok kamu mulai disini ya, pekerjaan disana gak perlu kami pikirkan. Ohhh yaa kamar kamu juga pindah yaa kedalam, tempati bekas kamar Bi Junah ya.” “Sebentar yaa…Bi…Abi…,” teriak Bu Nyai memanggil suaminya. “Ada apa Mi?” Jawab lelaki gagah berwibawa meski sudah berusia namun ketampanannya masih terlihat nyata. Tak lama kulihat Pak Kyai menghampiri kami. “Ini Ella bersedia bantu-bantu kita disini. Alhamdulillah ya Bi..kita gak pusing mencari-cari lagi,” cerocos Bu Nyai. “Ohhh syukurlah klo bgitu,” jawab Pak Kyai. “Ella gak keberatan tugasnya dipindah?” tanya pak Kyai padaku Jantung rasanya mau copot disapa pak Kyai idolaku ini. Tertunduk aku jawab degan gemetar. “Gak Pak Yai, justru saya merasa terhormat.” “Ya sudah, terima kasih banyak kalau begitu. Besok sudah mulai bisa bekerja.” Pak Kyai berlalu keluar rumah menuju Masjid komplek pesantren, kebetulan sebentar lagi waktu Dzuhur. Aku pun kembali ke pekerjaanku dan beres-beres beberapa barangku untuk dipindahkan. Hari pertama aku banyak belajar dan mencatat, apa saja kesukaan Pak Kyai dan Bu Nyai. Jadwal sarapan, makan siang, minum teh dan makan malam. Maka mulai hari itu aku menjadi asisten rumah tangga Pak Kyai dan gajiku ditambah 500ribu. Pak Kyai dan Bu Nyai hanya berdua di rumah itu, anak-anak beliau sekolah keluar negeri dan luar kota. Jadi pulang hanya saat liburan kuliah saja. Ada juga yang sudah menikah dan tidak tinggal disitu. Ada satu yang tinggal di komplek pesantren namun bangunan rumahnya terpisah jauh dari bangunan rumah pak Kyai ini. Aku cukup bahagia dengn tugas baruku. Hubunganku dengan suamipun harmonis, aku masih pulang ke rumah, kadang suami yang datang ke pondok. Pernah suami dan anak-anak nginap di pondok, oleh pak Kyai diijinkan. Hingga suatu hari Bu Nyai menghadiri acara ormas kewanitaan di Jawa Tengah selama 10 hari. Sebelum berangkat beliau mewanti-wanti untuk melayani Pak Kyai dengan baik dan segala permintaan pak Kyai harus aku penuhi. “Umi titip Abi yaa La. Layani beliau dgn baik, jgn bikin kecewa, semua permintaannya tolong kamu turuti. Agak rewel tapi baik kok. Jangan lupa pesan Umi yaa La.” Beliau pun pamit diantar supir. Aku kembali pada tugasku, Pak Kyai pun sibuk dengan jadwalnya. Suatu hari Pak Kyai sakit mungkin kelelahan ceramah kesana kemari dan sibuk mengajar juga. Aku masak SOP Ayam untuk menghangatkan tubuh Pak Kyai yang demam. Dan aku buatkan minuman jahe, sereh dan kayu manis, untuk stamina agar tetap kuat. Bu Nyai baru dua hari ikut acara ormas kewanitaan, aku sedang mencuci baju didapur, tiba-tiba Pak Kyai berteriak… “Umi…Umi…” Aku kaget dan segera berlari ke kamar beliau. Beliau terbaring lemah tengkurap dan telanjang dada dengan sarung masih melekat. Aku ragu mendekat dan berniat balik arah, tapi suara Pak Kyai menghentikan langkahku. “Umi tolong kerokin Abi nih…” sepertinya Pak Kyai ngelindur, lupa bahwa istrinya pergi keluar kota. Karena melihat kondisinya yang memprihatinkan aku beranikan diri masuk. Tak lupa sebelumnya aku siapkan minyak diberikan bawang merah untuk mengerok pak Kyai. Aku mulai mengerok tubuh pak Kyai dan benar sekali, kerok warnanya hitam merah. Aku terus mengeroknya sampai selesai. Tanpa bersuara aku pelan-pelan beranjak. Belum sempat jauh. “Mi, tolong pijat sebentar.” Kulihat matanya terpejam. apakah sedang bermimpi atau bagaimana. Aku akhirnya memijit juga.. “Ahhhhh enak sekali Mi….kamu memang istri idaman, keahlianmu memijit tiada duanya, Mi. Tanganmu masih tetap halus,” sambil tangan pak Kyai meraih tanganku. Aku kaget tersentak, tapi tak bisa berbuat banyak. Masih tak bersuara aku biarkan pak Kyai mengusap-usap tanganku. “Mi matikan lampu dulu,” ujarnya memerintahku. Aku bingung tapi kuturuti juga perintahnya. Aku matikan lampu kamar tidur Pak Kyai. “Pijit lagi Mi…” Aku pun kembali menghampiri beliau dan mulai memijat. “Kebawah lagi Mi seperti biasa….”katanya. Aku bingung maksudnya apa, kebawah bagaimana. Lama aku tak bergerak. Kemudian pak Kyai menuntun tanganku ke arah bokong nya. Gemetar aku terpaksa memijatnya. Kemudian ke paha dan ke betis. “Naik lagi Mi…” Aku pun masih menuruti perintahnya. Tiba-tiba beliau balik badan. “Depannya Mi Pijat,” Aku pun memijat dada dan perutnya. “Kenapa tangan Umi dingin?” ucap pak Kyai menjamah tanganku. Aku masih diam tak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba tanganku dituntunnya ke selangkangan beliau. Aku terperangah, sejak kapan sarung beliau lepas. Aku menggenggam penis yang kuat dan besar. Ukurannya tidak terlalu panjang tapi diameternya besar. dan aku yakin ini paling besar diantara penis-penis yang sudah pernah masuk ke memek aku. Aku pun dengan deg-degan mengurut kelamin beliau seperti keinginan beliau. Lama aku mengurut naik turun, kemudian beliau menarik tubuhku dibaringkannya aku di samping beliau. Beliau ciumi seluruh tubuhku, dicopotinya satu persatu bajuku. Tak ketinggalan selangkanganku pun dijilatinya dengan rakus. Aku melenguh dan mendesah. Antara takut dan malu, tapi nikmat. Bagaimana kalau ada yang tahu. Tapi aku teringat pesan Bu Nyai untuk menuruti segala keinginan Pak Kyai, maka aku pasrah saja menerima perlakuan beliau menjamah seluruh tubuhku. Perlahan beliau memasukiku, aku menutup mulutku menahan jeritan agar tak keluar. Sakit rasanya benda itu membelah bawahku. Padahal memek aku licin dengan lendir dan siap dimasuki. “Ahhhh Umi….kenapa malam ini rapet sekali…?” desah pak Kyai. Aku tetap diam tak menjawab. Beliau pun mulai bergerak maju mundur. Aku orgasme hanya lima menit saja sejak beliau tusuk. Beliau sandarkan kakiku dipundaknya kemudian kakiku ditekuknya. 15 menit kemudian aku orgasme yang kedua. Beliau menarik tubuhku ke pinggir tempat tidur sambil berdiri beliau kembali memborbardir kelaminku. Satu jam setengah beliau menggagahi aku, aku dibuat orgasme 5 kali. Rekor terbaru bagi kehidupan seksualku. Beliau pun menyemburkan lahar panasnya ke rahimku. Hangat banjir terasa. Kemudian beliau ambruk menindih tubuhku. Perlahan menggeser kesamping. Aku masih diam, kemudian berusaha menggeser tubuh untuk bangkit dari tempat tidur. Tapi tangan pak Kyai menahan aku, “Tidur disini saja temani Abi malam ini, Mi.” Aku tak kuasa menolaknya, maka dengan berdebar aku pun merebahkan tubuhku di kasur lebar nan empuk itu. Aku terlelap kelelahan hingga dini hari terdengar suara santri shalawatan di speaker Masjid tanda sebentar lagi akan sholat tahajud. Dan aku merasakan seseorang sedang asyik menjilati kemaluanku. Kamar yang gelap membuatku cukup sulit untuk mengetahui siapakah itu. Kemudian aku teringat bahwa semalam aku tidur di kamar Pak Kyai. Aku pun pura-pura masih tidur. Menikmati isapan demi isapan lidah yang menjelajahi kelaminku. Sekali lagi perlahan namun pasti batang besar keras itu memasuki aku, meski tak sesakit tadi namun tetap saja sesak dan penuh rasanya. Beliau menggenjotku dengan semangat 45. Aku pun orgasme dibuatnya. “Ahhh…ahhh…ahhh…” “Uhhhh…..uhhh…uuhhh,” lenguhan Pak Kyai diatas tubuhku. Dan ketika beliau menyemburkan laharnya aku pun kembali orgasme. Dengan jeritan yang cukup panjang. Aku lupa menutup mulutku. Pak Kyai kemudian mencabut kontolnya..plop terasa longgar vagina aku ditinggal penyumbatnya. “Kamu mandi sana sebentar lagi subuh, maafkan Abi sudah menzinahi kamu.” Deg….aku terkejut tak berkata. Dalam kegelapan kamar aku hanya berusaha menggeser tubuhku kesamping tempat tidur. “Abi tahu, dari jeritan kamu La, sudah sana mandi. Besok kita bicara.” Aku semakin gemetar beliau tahu siapa diriku. ?????? Aku pun pergi kebelakang, mandi wajib kemudian bergegas ke Masjid untuk berjama’ah. Waktu menunjukkan 4.30 WIB.
ns 15.158.61.20da2