17 Agustus 2012, masih segar di ingatan tanggal dimana akhirnya aku dinikahi secara siri oleh Pak Kyai. Tanpa perayaan tanpa banyak orang yang tahu, hanya aku, Pak Kyai, Penghulu yang masih rekan Pak Kyai dan beberapa saksi entah dari mana asalnya mereka. Di sebuah Kampung di Pandeglang Banten, malam itu aku resmi menjadi istri Pak Kyai. Sementara aku masih bersuami dan suamiku tak tahu apa-apa mengenai hal ini. ——- Setelah kejadian malam itu, sehabis subuh berjama’ah, kusiapkan sarapan Pak Kyai seperti biasa. Secangkir kopi pahit diseduh dengan air mendidih 100 derajat tanpa diaduk, dibiarkan saja hingga bercampur meresap. Pak Kyai memanggilku, maka mulailah perjanjian ini. “Abi akan nikahi kamu secara siri, kamu harus merahasiakan ini dari siapa pun.” Suaranya tegas mengintimidasi. Aku hanya bisa tertunduk. Sambil berucap, “Tapi saya gak mau cerai dari suami Pak Kyai.” ???? “Siapa yang suruh kamu bercerai dari suami. Abi hanya gak mau kita zina terlalu jauh. Kamu masih bekerja disini, kemungkinan kejadian semalam akan terulang lagi.” “Abi bisa saja menggauli kamu, karena kamu hamba sahaya yang Abi miliki. Kamu halal buat Abi gauli.” Beliau kemudian membacakan beberapa ayat kitab suci sebagai pembenaran. Aku sekali lagi tertunduk lesu, apalah dayaku. Hanya bisa pasrah menerima nasib. “Malam ini, sampai Umi kembali kamu tidur di kamar Abi,” perintahnya sambil keluar rumah melanjutkan aktifitasnya sehari-hari. Aku pun kembali ke aktifitas memasak dan mencuci. Sesekali aku berkunjung ke dapur umum sekira ada yang bisa aku kerjakan untuk membunuh waktu. Malam menjelang, aku masih di dalam kamarku hendak beristirahat. Tiba-tiba pintu dibuka dan Pak Kyai berdiri disana. Untuk pertama kalinya aku merasa takut dengan sosok beliau yang biasanya terlihat lemah lembut. “Kenapa kamu gak ke kamar Abi?” Suaranya terdengar marah. Aku gemetar menjawab, “Kita kan belum resmi menikah Pak Kyai…mohon maaf.” “Ohhh jadi kamu mau melawan? Baik kalau itu maumu.” Sarungnya seketika dilepasnya. Aku menutup mata ketika tubuhku direngkuhnya. Malam itu di kamar sempit 3×3 meter ini beliau menumpahkan segala benih yang disimpannya. Tubuhku jadi bulan-bulanan beliau. Dibalik, ditindih, di tarik. Ahhhhhhh… ——- Siang itu kami bersiap ke Pandeglang sesuai janji kami, aku deg-degan dengan apa yang akan terjadi di episode kehidupanku. Tak pernah bermimpi bahwa aku akan menikah dengan seorang Kyai.?????? Ceremoni ijab kabul pun lancar, malam itu aku dinikahi beliau. Dan aku tetap berstatus pembantu beliau. Rahasia ini jadi milik kami berdua. Di kamar pengantin kami, aku terbaring malu-malu, menanti pak Kyai menghampiri. “Kenapa masihberpakaian lengkap ?” Kaget aku mendengar suaranya. “Kita sudah resmi menikah, dan ini kamar kita, maka tugas kamu adalah melepas seluruh pakaian kamu,” tuturnya sambil mencopoti pakaiannya sendiri Aku kaku mulai mencopoti satu persatu baju di tubuh. Tubuhku berkeringat, padahal malam itu dingin sekali seumpama di puncak gunung. Hujan turun menambah syahdu suasana. Pak Kyai sibuk menjelajah tubuhku, leher, dada, perut, pinggang dan pinggulku disapunya dengan lidah, membuat aku menggelinjang kenikmatan. Tak terasa aku sudah orgasme hanya dengan jilatan lidah pak Kyai di seluruh tubuhku. Kami istirahat sejenak, aku diambilkan minum kemudian beliau berbaring di sampingku. “Ternyata kalau sudah resmi menikah, tambah enak ya Neng.” Beliau memanggilku Neng, awalnya beliau memanggilku Umi tapi aku menolaknya karena merasa tak pantas menyandang gelar Umi. ?????? “Neng, Abi minta isep yaa ?” Aku kaget karena selama ini belum pernah melakukannya dengan mertua maupun dengan Pak RW. Beliau menarik kepalaku mendekat ke rudalnya yang sudah tegak mengacung keras, mulutku terasa jijik. Bau khas tapi ternyata menyenangkan juga dirasa. Dengan susah payah, nafas tersendat dan air liur tumpah ruah, aku mencoba mengoral beliau sesuai keinginannya. Toh beliau pun melakukan hal sama terhadapku, mengoral vaginaku dengan rakusnya. Aku bahagia. Malam itu kami habiskan bercinta. Berbagai macam gaya kami praktekkan. Stamina Pak Kyai harus diacungi jempol meski sudah sepuh namun tetap perkasa di ranjang. Maka kisah kami terus berlanjut, aku menjadi istri siri beliau. Beliau mendatangi aku seminggu 2x setiap malam Rabu dan Sabtu. Dini hari dimana semua orang terlelap dan berakhir ketika orang-orang mulai sadar dari mimpi untuk beribadah. Aku masih rutin pulang ke rumah dan hubunganku dengan suami pun makin harmonis. Aku berhubungan badan dengan suami tapi aku selalu meminta suami menggunakan kondom. Alasan aku gak ingin hamil dulu, sementara dengan Pak Kyai aku bebas tanpa pengaman. Setahun kemudian aku mual-mual dipagi hari. Badanku gak nyaman, pusing kepala. Bu Nyai yang mengetahui hal itu, menyuruh aku beristirahat dan tugasku memasak diberikan ke santriwati yang sudah dewasa sementara waktu.Sorenya aku dibawa berobat oleh Bu Nyai ke klinik langganan keluarga beliau. Seperti sudah kuduga sebelumnya bahwa aku hamil. ?????? Pak Kyai berhasil membuahi aku. Aku yakin ini benih Pak Kyai karena hanya dengan beliau aku berhubungan tanpa pengaman. Sementara dengan suami aku selalu menggunakan kondom. Malang tak bisa dihindarkan, Pak Kyai mengetahui aku hamil dan beliau tidak mau mengakui ini anaknya. Karena dia tahu bahwa aku masih berhubungan badan dengan suami. Meski aku sudah jelaskan bahwa dengan suami selalu pakai pengaman. Namun beliau tetap pada pendiriannya, janin ini bukan darah dagingnya. Pedih rasa hati ini, menerima nasib diri. Bu Nyai tidak curiga akan keadaan diriku, karena statusku masih bersuami dan setiap dua minggu sekali aku pulang ke rumah. Bahkan beberapa kali suami pun datang menjenguk ke pesantren. Bahkan suamipun ketika mengetahui aku hamil dia terlihat bahagia. Dianggapnya ini adalah hasil jerih payahnya menggauli aku. ?????? Keadaanku makin parah, ngidamku berlebihan. Aku sampai gak bisa makan nasi. Mencium bau nasi selalu mual dan muntah. Pak Kyai pun mengalami hal yang sama, beliau tak bisa makan nasi, lebih suka buah-buahan masam. “Abi kayak orang ngidam aja pagi-pagi makan mangga muda begini,” ujar Bu Nyai suatu pagi ketika aku dengan susah payah menyuguhkan kopi pak Kyai. Aku sedikit kaget dengan kata-kata Bu Nyai itu, tapi buru-buru menguasai diri. Seolah-olah aku gak mendengar celotehan beliau. “Ella, Abi lihat kondisi kamu gak mungkin untuk bekerja disini lagi. Besok kamu boleh pulang yaa.” Bagai disambar petir aku mendengar usiran secara halus pak Kyai. Gak nyangka lelaki yang sudah berhasil menanam benih di rahimku bisa dengan teganya membuang aku. ?????? “Umi juga setuju dengan Abi,” lanjut Bu Nyai menimpali. “Jujur Umi keberatan kehilangan kamu La, tapi demi si jabang bayi dalam kandungan, kamu sebaiknya kamu istirahat dirumah yaa.” Senyumnya ramah menghangatkan aku yang sedang terluka. Beliau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya mengangguk lemah tanda setuju. Maka siang itu aku berkemas, suamiku sudah menunggu sejak sejam lalu menjemput aku. ——- Genap sebulan sudah aku di rumah. Kondisiku makin parah, tubuhku lemah, asupan nutrisi sedikit. Disamping karena ngidam, juga jiwaku terluka parah. Itu yang membuat keadaan semakin parah. Pesangonku cukup banyak memang. Bu Nyai berbaik hati membekali aku dan buat biaya melahirkan nanti. Pak Kyai pun diam-diam memberikan sejumlah uang “Tutup Mulut”, padahal aku gak meminta, apalagi punya niatan memeras beliau. Semuanya kuterima dgn Ikhlas. Toh aku andil juga dalam kesalahan ini. Saat itu ketika suami pergi ada keperluan ke pasar, Pak Kyai berkunjung ke rumah ku dan memberikan uang “tutup mulut” tersebut. Pesannya jangan coba-coba aku membuka mulut perihal pernikahan kami, kemudian beliau menceraikan aku dengan talak 3. ?????? Hatiku makin hancur dan terluka. Hingga pada satu malam, aku merasa keram perutku. Melilit, aku menjerit. Suami segera menghampiri dan menanyakan keadaanku. Aku menjawab terbata-bata, “..sakiiit sekali perutku Mas, ahhhhh…” Darah mengalir deras dari selangkanganku. Suamiku panik segera melarikan aku ke klinik terdekat. Dan aku harus kembali terpukul mendapati aku kehilangan bayiku di usianya yang baru 8 minggu. Tapi mungkin ini jalan yang terbaik untuk janinku, daripada dia lahir ke dunia tanpa diakui ayah kandungnya. Aku ambil hikmahnya saja. Kondisiku mulai berangsur-angsur membaik. Suamiku dengan setia menghiburku dan merawatku. Suami pun, Alhamdulillah sudah mulai bekerja di pabrik meski hanya sebatas pegawai kontrak.
ns 15.158.61.5da2