Pasca kejadian di Klinik Pak Kahar, menyisakan ruang hampa dalam kehidupanku. Di satu sisi aku jijik atas apa yang Pak Kahar lakukan. Di sisi lain aku justru menikmatinya. Aku mencoba menetralisir keadaan dengan menyibukkan diri menjaga warung kecilku. Meski ramai namun karena kebutuhan hidup keluarga makin meningkat, maka hasil warung saja tidak mencukupinya. Suatu malam aku diskusi dengan suami, seandainya aku diijinkan untuk mencari pekerjaan di luar sana. Toh anakku yang bayi sudah tidak ASI Ekslusif lagi. Bayiku sudah diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI). Aku pilih kata2 yg tidak melukai perasaan suami, bagaimana pun dia kepala rumah tangga. Jangan sampai ada kesan klo aku menghina dan melecehkannya. Hati-hati kuatur kalimat dan intonasi suara, agar obrolan ini menjadi diskusi yang menyenangkan antara suami dan istri. “Bang, Adek bekerja ya? Toh anak-anak sdh bisa aku tinggal.” Rengekku memeluk suami. Kami memang sudah tidak pernah wik-wik lagi. Tapi setiap tidur bersama, kami selalu berpelukan. “Biar Abang saja Dek yg bekerja, Adek sabar yaa…Abang sedang menunggu panggilan kerja. Ada kawan Abang yang janji mau bantu kita.” Nafasnya terdengar berat menjawab permohonanku. Aku menghela Nafas pelan-pelan, sambil keelus-elus dadanya. Aku sandarkan kepala di dadanya, aku masih nekat merayunya. “Sekarang, begini…kasih kesempatan seminggu ini Adek cari kerjaan yaa Bang. Klo gak berhasil, Adek ikut apa kata Abang.” Aku keluarkan senyum yang paling manis yang aku punya. Sejurus kemudian aku cium suami dengan seksama. Kami larut dalam ciuman yang mesra, hangat tak terpisahkan. Tanganku meraba bagian bawah suami di mana teronggok senjatanya yang lemas tak berdaya. Aku mencoba merangsangnya…tak ada reaksi sama sekali. Saking penasarannya aku keluarkan jurus sedotan mautku, biasanya lelaki akan kewalahan menghadapi jurusku yang satu ini. Namun bagi suamiku gak ada efek apa-apa. Tetap lemas terkulai, seumpama tak bernyawa. Frustasi aku dibuatnya, hingga kami memutuskan untuk tidur saja dan mengakhiri kekonyolan ini. Akhirnya restu suami kudapatkan. Dengan taruhan jika dalam seminggu ini usahaku tak berhasil. Maka aku harus membuang jauh-jauh angan untuk bekerja. Kami sepakat, esoknya aku menyiapkan segala berkas yang dibutuhkan. Daftar Riwayat Hidup dan Catatan Kepolisian Berkelakuan Baik dan dokumen lain sebagai syarat sebuah Lamaran Pekerjaan aku perbanyak beberapa buah. Maka berangkatlah aku mencari pekerjaan. Pabrik demi pabrik di Tangerang kukunjungi, mana tahu ada lowongan disana. Hasilnya tak satu pun yang membuka lowongan. Yang ada justru pengurangan karyawan. Aku tak putus asa, mencoba peruntungan ke toko-toko besar swalayan yang kutahu biasa sering membuka lowongan. Namun naas bagiku, kondisi saat ini mereka tidak membutuhkan karyawan baru. Terlebih statusku sebagai Ibu Rumah Tangga yang membuat ragu untuk mereka mempekerjakan aku, ditambah usia yang tak muda lagi. Tentu saja beberapa poin tadi membuat aku cukup sulit untuk mendapat pekerjaan. Tak terasa matahari sudah mulai condong ke Barat. Tiba-tiba telepon genggamku berdering, aku refleks mengangkatnya. “Haloo…dengan Mbak Ella yaa?” suara bening lembut di seberang sana menyapaku. “Ohhh iya benar Bu, dari mana ya?” tanyaku penasaran. “Begini Mbak, mengenai lamaran yang Mbak ajukan ke perusahaan kami..bisa datang gak ke Kantor kami sekarang.” Aku terkejut dan bersyukur, tanpa pikir panjang aku menyatakan kesanggupan. Kemudian meminta alamat kantornya. Sebuah Kantor di gedung bertingkat seberangnya Cilandak Town Square Jakarta. Cukup jauh dari posisiku saat ini. Belum macetnya kondisi lalu lintas ke arah sana. Aku sedikit pesimis, tapi demi mendapatkan pekerjaan, aku memberanikan diri. Aku sampaikan bahwa aku akan telat sekali sampai kantor kemungkinan Maghrib baru tiba. “Ohhhh tidak apa-apa Mbak, kebetulan Boss kami bersedia menunggu kehadiran Mbak sampai Pukul 21.00,” terang gadis sekretaris di seberang sana. Aku sedikit lega mendengarnya maka bergegaslah aku menuju Jakarta. Benar dugaan ku, jalanannya macet. Dan persis Adzan Maghrib aku tiba di gedung itu. Aku menanyakan musholla ke Pak Satpam, kemudian beristirahat sejenak setelah berdo’a. Barulah aku menuju lantai 11 dimana Sekretaris itu sedang menungguku. Pak Yoga Perdana, demikian beliau mengenalkan dirinya. Dan di sampingnya gadis cantik Mbak Nurmala sang sekretaris menyambutku dengan ramah. Akhirnya aku diterima di perusahaan ini sebagai Office Girl, mereka membutuhkan orang bersedia mengisi posisi itu. Dan aku bersedia, bagiku bekerja sebagai apa saja yang penting halal. Pak Yoga mengajak kami untuk makan Malam di Cwie Mie Malang, aku berusaha menolaknya. Rasanya kurang elok belum bekerja sudah merepotkan atasan. Tapi Pak Yoga memaksaku ditambah Mbak Nurmala juga merayuku untuk mau menerima tawaran makan malam Boss-nya maka aku pun menyerah. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.30 saat kami selesai makan malam. Aku yang sedikit cemas karena sudah terlalu malam. “Mbak Ella pulang kemana?” tanya Pak Yoga ramah. “Ke Tangerang Pak,” jawabku. “Wahhh lumayan juga ya. Kami hantar ke Kp. rambutan ya?” tawar Pak Yoga. Aku pun mengangguk setuju. Malang bagi diriku bis terakhir yang ke Tangerang dari Kp. Rambutan baru saja berangkat 10 menit yang lalu. Aku panik, bagaimana ini. “Neng nyambung-nyambung saja, dari sini ke UKI Cawang, lanjut ke arah Slipi..nanti dari sana tunggu Bis yang ke Tangerang, terang bapak-bapak (kelihatannya supir omprengan). Aku pun menuruti petunjuknya. Dan, Alhamdulillah aku sdh meluncur di dalam bis menuju Tangerang melewati Tol Kebon Jeruk. Pukul 00.45 aku tiba di terminal menuju rumahku. Suasana sepi. Tak ada satu pun angkot yang tersisa. Aku menangis, bagaimana aku harus pulang ke rumah. Jalan kaki tak mungkin 10 km jaraknya. Naik Ojek?? Disamping aku gak ada uang. Tapi aku takut dibawa kabur tukang ojek. Labil hatiku antara diam di terminal atau terpaksa naik ojek. Hingga kemudian sebuah angkot berhenti tepat di depanku. “Neng mau Pulang? Ayoo..” aku teriak kegirangan dalam hati, rupanya Tuhan masih menolongku. Angkot itu memang jurusan menuju rumahku. Aku pun bergegas naik ke dalam angkot. “Sabar yaa Neng, kita ngetem dulu, siapa tahu ada yg kemalaman kayak Neng.” terang supir tersebut. Aku hanya mengangguk kecil. Kupikir tidak apa-apa menunggu sejenak toh yang penting ada angkot yang mengarah ke rumah. 30 menit berlalu, Hingga kurang lebih satu jam kami menunggu tak seorang pun hadir. Aku mulai gelisah, menahan pipis sedari tadi. Aku pun memberanikan diri bersuara. “Abang saya ke toilet dulu ya, tunggu saya jangan ditinggalin,” aku memohon dengan sangat. “Silahkan Neng, Abang tunggu kok,” jawabnya. Aku berlari menuruni toilet dan sialnya semua toilet terkunci. Aku bolak-balik tak tentu arah, dan Abang supir sudah ada di depanku. “Dikunci ya Neng? Yukk dibelakang sana ada toilet yang masih buka.” Aku pun mengikutinya. Aku dibawa ke belakang terminal, becek dan gelap. Hingga sampai ke suatu tempat seperti Aula terlihat banyak supir di sana sedang bermain gaple dan kulihat beberapa botol minuman disana. Aku mengkerut takut, tapi supir tadi melindungiku. “Jangan takut ada Abang yukkkk,” tangannya meraih tanganku. Aku dituntunnya menuju toilet, saat melewati gerombolan supir itu, beberapa bersiul dan berkomentar. “Barang baru nih…bagi-bagi donk Jal.” Aku pura-pura tak mendengar ocehan mereka, fokus menuju toilet, gelap tanpa pintu. Aku bingung dan terpaksa membuka rok ku utk pipis..toh suasana gelap bgini mereka tidak akan melihat aku jaraknya cukup jauh dari pandangan mata. Supir yang mengantarkan aku memutar badan membelakangiku. Aku pun membuang hajatku. Setelah selesai buru-buru aku merapihkan rokku. Kami pun kembali menuju angkot. Dan lagi-lagi ocehan gak enak kudengar. “Mau bulan madu dimana? Disini aja gelar, bareng-bareng kita Jal. Hahahahahaha…” mereka tertawa meledekku. “Setan Lo pada, ini bini gw…” supir itu mencoba membela diriku. “Gak usah didengar mrk Mbak..ayoo kita berangkat.” Aku mempercepat langkahku, langsung masuk ke angkot. Lalu….tangan kekar membekapku dari belakang. Aku terkejut. Dibalikannya badanku. Supir angkot itu mencoba memperkosaku. Aku berusaha berontak. Tapi kondisi di dalam angkot yang sempit gerak tubuhku tidak bisa leluasa. Dengan kasar dia memperkosaku di dalam angkot. Tangisku pecah diantara genjotannya pada tubuhku. Sakiiiiiit….hanya itu yang kurasa setiap kali kontolnya memasuki rahimku. Aku menangis sejadi-jadinya. Dia tetap bersemangat menggenjotku.. ..plok…plok…plok..bunyi kelamin kami yang beradu. “Ahhhh ahhhh…hiks…hiks…hiks…” aku mendesah di tengah tangisanku. Kemudian supir itu menyirami rahimku dengan spermanya yang hangat. Aku masih menangis ketika dia terkulai lemas di sisiku. Kemudian terlelap dalam tidurnya. Aku panik, bisa-bisanya setelah enak mengecrot, supir itu malah tidur. Tubuhku lemas berusaha bangkit dan mencari bajuku yang berserakan entah dimana karena dilempar saat perkosaan tadi. Dan…aku merasa dua orang entah dari mana arahnya menyeretku ke sebuah bangunan di belakang Terminal. Aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk melawan. Aku pasrah saja dengan apa yang akan terjadi. “Tolong jangan perkosa saya…hiks…hiks…hiks…” hibaku memohon perlindungan. ?????? “Ahhh, jangan maen sama si Rijal aja donk Neng…Abang juga mau.” ucap lelaki bertubuh gempal itu. Bau alkohol menyengat di hidungku. “Iya Mbak…saya juga mau Mbak,” timpal temannya yang berbadan jangkung. Maka kemudian aku digilir dia orang itu dalam gelap. Ketika sedang asyiknya mereka menggarapku. Datang pula dua temannya lagi menghampiri kami. “Wahhhh lagi pesta gak ngajak-ngajak…gila ceweknya montok begini..mulus pula, jilbaban lagi. Dapet dari mana ente…” celoteh mereka. “Hussss jangan berisik, ini bininya si Rijal yang tadi lewat kencing ke toilet,” jawab lelaki bertubuh gempal tadi. “Lha si Rijalnya mana?” ucap dua orang tadi. “Noh molor di angkot habis ngecrot dia malah tepar.” “Udah jangan buang waktu nanti keburu si Rijal bangun….” Maka satu persatu mereka memasuki vaginaku. Aku terus menangis menerima tusukan-tusukan mereka. Ritmenya teratur seolah dijaga agar pesta ini akan bertahan lama. Ketika yang satu akan orgasme maka posisinya digantikan oleh yang lainnya. Begitu seterusnya hingga aku pingsan, gak tahu lagi rasa dibagian memekku seperti apa. Adzan Subuh berkumandang kencang-kencang ketika aku siuman. Dan posisiku sudah berada di dalam angkot lagi. Bang Rijal supir yang pertama memperkosaku pun sudah bangun dan merapihkan pakaiannya. “Maaf ya Neng, semalam Abang khilaf gak tahan lihat Neng pipis..” sesalnya mengawali pembicaraan kami pagi itu. “Ayooo Abang antar pulang…” Aku hanya diam membisu. Tubuhku remuk redam rasanya, entah berapa laki-laki tadi malam yang sudah meniduriku. Angkot pun bergerak menembus kabut subuh menuju rumahku. Aku memandu jalan ketika harus belok kiri atau belok kanan. 30 menit kemudian sampailah kami di depan pagar rumahku. Sepi…. tetangga masih terlelap dalam mimpi Suasana pun masih gelap temaram. Akupun beranjak keluar angkot, tanpa mengucapkan terima kasih atau basa-basi. Bang Rijal mengejarku, persis di teras rumah Bang Rijal berhasil meraih tanganku. Kemudian menarik tubuhku merapat ke tubuhnya. Aku terhenyak ke dalam pelukannya. “Maafkan Abang, Neng..sungguh Abang khilaf…” suaranya bergetar penuh sesal. Aku hanya terisak dan berkata lirih… “…yaaaa…sudah lupakan aja Bang ..ahhh hmmm” Bang Rijal sambil memelukku dia mengeluarkan beberapa lembar uang 50.000-an dan diselipkannya dibalik kerudungku. Aku bergidik merasa tangannya menyentuh payudaraku. Dan kami pun berciuman. Aku yang terharu atas kebaikannya, melemah perlawananku Dan diteras itu di depan pintu masuk persis, aku kembali digarap Bang Rijal. Hentakan-hentakan pantat Bang Rijal memborbardir memekku. Aku mendesah kenikmatan, posisi kami cukup tertutup oleh pagar, seandainya tetangga sebelah rumah bangun pun mereka gak akan melihat pergumulan kami. Pompaan demi pompaan Bang Rijal, lambat laun membuat aku becek, dan ikut bergoyang menyambut hunjaman penis Bang Rijal yang seperti belum puas setelah semalam memborbardir memekku dengan ganas. “Ahhhh….ahhhhh….ahhhh….ssssshhhh….ahhhhh Bang aku keluaaaaaaaarrrr ahhhhh” “Bareng Neng…Abang juga mau keluar ahhhhhh hmmmm grrrrmmmmmm” Crot….croooott…crooot..serrrrr …serrr…sserrrr Orgasme kami bersamaan…cairanku dan cairannya bersatu di dalam rahim. Tepat setelah kami dilanda puncaknya seksual…pintu depan terbuka dari dalam. Aku buru-buru merapihkan rokku. Bang Rijal memang tadi hanya menarik celana dalamku saja. Dia pun hanya membuka resleting celananya ketika menyetubuhi aku tadi. Gugup aku berusaha menenangkan diri, ketika suamiku keluar rumah… “Bunda…?? Baru pulang??” Sapa suamiku heran. Aku pun gugup menjawab, “…iiiiyyy…iyyya Ayah. Ini Bang Rijal yg mau mengantarkan bunda dari terminal ke sini,” paparku mengenalkan supir angkot kepada suamiku. “Rijal Bang….” sapa Bang Rijal ke suamiku sambil mengulurkan tangannya. “Tadi saya lihat Mbak Ella duduk melamun di terminal Bang, saya tanya pulang kemana, lalu saya hantarkan kesini..kebetulan saya pun arah pulang kerumah.” “Ohhh iyaa..makasih yaa Mas…” ucap suamiku menyambut tangan Bang Rijal. “Mari masuk Ngopi dulu Mas…” ajak suamiku. “Ohhh makasih banyak Bang, gak usah repot-repot, kebetulan saya buru-buru pulang, lagi pula saya sudah kenyang tadi…” Bang Rijal mengerlingkan matanya ke arahku. Aku buru-buru masuk ke dalam rumah, khawatir suami curiga dan bertanya macam-macam. Sejurus kemudian Bang Rijal pun meninggalkan kami, yang masih mematung menatap kepergian Bang Rijal dengan angkotnya…
ns 15.158.61.48da2