Versi full on wattpad...
------------------------------------------------------
Setelah kepergian Colin dan Mr. Rilland, Mr. Steven melihat cucunya yang menatapnya dengan marah sambil bersandar ke dinding dengan tangan yang dilipat di dada.
"Kakek, aku tidak ingin menikah dengannya" ucap Ally dengan nada datar dan berjalan dari tempat dimana ia berdiri menuju kamarnya.
"Kenapa kau tidak ingin menikah dengannya?" Tanya Mr. Steven begitupun papa dan mama Ally.
"Karena aku tidak ingin memiliki suami yang cacat, Kek!" bentak Ally yang membuat seisi ruangan menjadi bising.
"Jadi itu yang membuatmu tak ingin menikah dengannya?" Tanya papa Ally dengan nada tajam.
"Bukan itu saja, bagaimana perasaan Delon ketika mendengar bahwa aku akan menikah. Aku juga memiliki kekasih!!" ucap Ally frustasi. "Bagaimana tanggapan teman-temanku ketika melihat aku menikah dengan orang yang cacat?!" Kali ini Ally mengeluarkan segala keunek-unekkannya yang sedari tadi ia simpan di hatinya.
Semua yang berada disitu terdiam, termasuk pelayan yang berada disitu sejak tadi dan mendengar keributan di ruang tamu.
Mr. Steven berlalu dari sana begitupun dengan mama dan papa Ally. Mereka kecewa mendengar penuturan Ally yang begitu tega menjelek-jelekkan Colin.
Air mata yang sudah mengalir sejak tadi, bertambah mengalir deras membasahi pipinya, dan iapun segera diusapnya dengan kasar.
Kenapa hari ini menjadi hari sialku?
Ally memasuki kamarnya dan membanting keras pintu kamarnya yang membuat dentuman keras terdengar.
Ally merebahkan dirinya di atas kasur dengan kasar dan air mata yang sedari tadi masih keluar diusapnya dengan kasar berulang-ulang.
Ally memilih untuk menetralkan pikirannya dengan memejamkan matanya sampai kantuknya datang dan Ally pun tertidur.
***
Disisi yang lain, seorang pria bersama kakeknya memasuki perkarangan rumah dan masuk kerumah mereka yang disambut oleh Emma.
Para keluarganya yang masih berada di ruang tamu pun segera menoleh kearah dua orang itu yang menampakkan diri mereka.
"Kakek pergi ke kamar dulu. Jaga dirimu baik-baik" Mr. Rilland pun segera pergi setelah membantu Colin untuk berjalan masuk ke rumah.
"Ya, kek" Colin tersenyum dan segera berjalan menggunakan tongkat penopangnya ke sofa.
Nicky yang melihat Colin akan duduk disampingnya pun segera pergi dengan malas menuju kamarnya.
"Nicky," panggil Colin ketika melihat Nicky ingin pergi dari sana. Dan Colin tau bahwa Nicky ingin pergi dari situ karena dirinya. "Kau tetaplah disini, aku akan ke kamarku" Colin berhenti melangkahkan kakinya dan tersenyum kearah Nicky dan kembali berputar untuk menuju kamarnya.
"Akkh... dasar pria cari muka!" tanpa memperdulikan ucapan Colin, Nicky pun pergi dari sana menuju kamarnya dan sengaja menyenggol Colin hingga Colin hampir saja terjatuh. "Upsss,, maaf" ejek Nicky dengan seringai iblisnya.
Colin yang diperlakukan seperti itu pun hanya bisa diam dan tersenyum.
Ia tau, walaupun adiknya bersikap seperti itu padanya, Nicky tetap perduli padanya.
Tapi ia salah besar telah mengira pemikiran positive semacam itu.
Setiap perlakuan anggota keluarganya yang seperti itu padanya, Colin selalu berpikir positive bahwa perlakuan keluarganya itu tanda keperdulian mereka.
Damien yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya, ketika melihat Colin ia pun pergi dan sengaja menginjak kaki Colin dan berlalu dari sana.
"Aww..." ringis Colin karena rasa sakit kakinya dipijak oleh Damien.
Emma yang sedaritadi melihat itu segera memalingkan wajahnya. Emma rasanya ingin menangis melihat kejadian itu dan membuatnya semakin ingin menangis ketika Colin tersenyum kepada papa dan mamanya yang masih berada disitu.
Senyuman yang sangat tulus. Emma dapat melihat luka di mata Colin ketika mereka pun meninggalkan Colin sendiri di ruang tamu.
Walaupun begitu Colin tetap tersenyum sampai kedua orang tuanya menghilang dari hadapannya.
Emma yang melihat itu hanya bisa menahan air mata yang ingin keluar.
Emma mendekat ke arah Colin dan duduk di dekat Colin.
Terlihat jelas raut kesedihan di wajah Colin. Tapi dengan sekuat tenaga Colin tersenyum ke arah Emma dengan senyuman tanpa beban.
Emma rasanya ingin menangis sekarang, tapi ia tahu bahwa ia tak mungkin menangis dihadapan tuannya yang sudah ia anggap sebagai anaknya.
Emma mengelus rambut Colin dan memberikan Colin sandaran di dadanya.
"Colin," panggil Emma dengan pelan, kerena ia takut suara tahan tangisnya akan terdengar oleh Colin.
"Ya, Em?" jawab Colin yang masih bersandar di dada Emma, ia merasakan kehangatan bila didekat Emma. Ia juga bisa merasakan kasih sayang ibunya dengan berada di dekat Emma.
"Bagaimana dengan wanita yang kau temui tadi?" Tanya Emma yang masih mengelus rambut Colin.
"Dia sangat cantik" sekilas senyuman berada di wajah tampan Colin ketika mendeskripsikan wajah wanita yang ia temui tadi.
"Siapa namanya?" Tanya Emma yang kini menjadi sangat penasaran.
Tapi bagi Emma ia tidak perlu malu ketika banyak bertanya kepada Colin, karena Colin sendiri yang bilang padanya agar jangan terlalu canggung ketika berada didekatnya.
"Ally Watson" senyuman itu mengembang di wajah Colin ketika mengucapkan nama itu.
"Apa kau menyukainya?" Tanya Emma dengan nada gembira.
"Hmmm... entahlah" Colin mengangkat kepalanya dan menatap Emma. "Em, apakah ia akan menerimaku bila keadaanku seperti ini?"
Pertanyaan itu langsung membuat Emma terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Emma takut bila ia menjawab 'iya' takutnya itu tidak akan terjadi, karena itu sama saja memberikan harapan palsu untuk Colin. Dan bila ia menjawab 'tidak' takutnya itu akan melukai hati Colin.
Itulah dunia ini, selalu bergantung pada kata 'IYA' dan 'TIDAK'.
"Hmm.. aku tidak tahu, sayang. Tapi bila tuhan berkehendak, pasti wanita itu akan menerimamu dalam keadaan apapun" Emma menyemangati Colin agar ia tidak merasa putus asa ketika menjalani hidup ini.
"Aku harap pun begitu," ucap Colin. "Emma, terima kasih karena kau sudah menjadi penyemangatku. Kau sudah seperti ibu bagiku" Colin kemudian memeluk Emma dengan sayang. Begitupun Emma yang membalas pelukan Colin.
"Aku hanya ingin kau bahagia, nak" Emma melepaskan pelukannya. "Mari, aku akan membantumu ke kamar" Emma memberikan tongkat penopang itu kepada Colin.
Colin pun berdiri dengan bantuan Emma untuk naik tangga.
Setelah sampai di kamar, Emma membantu Colin untuk minum obat dan mengelus rambut Colin sampai akhirnya Colin tertidur.
Emma pun menatap Colin dalam-dalam dan tanpa sadar, Emma menangis.
Emma segera menghapus air matanya dan keluar dari kamar Colin dengan perlahan agar tak membangunkan Colin.
Setelah sampai di luar kamar Colin, Emma menangis dengan menahan mulutnya agar tak ada yang mendengar suara isakan tangisnya.
Emma berlalu dari sana dan turun kebawah menuju kamarnya.
Dikamarnya lah, Emma menangis sepuasnya. Ia tak tega melihat Colin seperti itu.
Setiap malam, ia berdoa agar Colin mendapatkan calon istri yang baik. Karena ia sendiri tidak sanggup melihat keluarganya menyiksa Colin dan bahkan siksaan itu masih membuat Colin tersenyum.
.
.
.
Tbc