Kolkata, 4 Ramadhan 1445 H
Sadiqah (19) POV
Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Hari ini aku harus bangun sebelum ibu, dan nenek. Biasanya aku bangun pukul 4 pagi untuk membantu ibu, dan nenek menyiapkan menu sahur. Dan hari ini aku berencana menyiapkan menu sahur sendiri. Aku tidak mengantuk walaupun semalam aku tidur lebih larut dari biasanya. Menu sahur hari ini adalah roti dan sayur kacang. Aku menyiapkan ini karena ini adalah makanan kesukaan nenek. Se marah apapun nenek padaku akan selalu berhasil dibujuk dengan roti dan sayur kacang. Selain itu ini adalah bentuk permintaan maaf ku pada nenek untuk kejadian semalam. Aku bermaksud menyiapkan menu sahur spesial untuk nenek, dan ibu. Saat sayur kacang yang ku masak masih berada di atas kompor, sementara roti nya sudah selesai aku buat, saat itulah ibu dan nenek tiba-tiba saja masuk ke dapur.
"Apa yang sedang kamu lakukan Sadiqah ?" Tanya nenek padaku.
"Aku sedang memasak." Jawabku.
"Apa yang kamu masak ?" Tanya nenek lagi.
"Bukan apa-apa nek. Hanya menu sederhana." Jawabku.
"Aromanya seperti --- " Ucap nenek terpotong.
"Aku sedang memasak roti, dan sayur kacang kesukaan nenek." Ucapku.
Sudah terlanjur diketahui mau bagaimana lagi ? Lebih baik dikatakan saja sekalian.
"Mengapa kamu membuat itu ?" Tanya nenek padaku.
"Karena nenek menyukai makanan ini. Nenek akan langsung luluh saat di suguhi makanan ini. Aku sudah membuat suasana hati nenek memburuk kemarin malam, jadi aku berpikir untuk menyiapkan makanan ini sebagai bentuk permintaan maaf ku. Nenek aku mohon maafkan aku." Jawabku.
"Kamu tidak perlu melakukan itu. Nenek tidak marah padamu. Kemarin malam kamu hanya menasihati nenek, kamu seharusnya tidak dihukum untuk itu tetapi dipuji. Sebagai seorang nenek seharusnya aku bersikap lebih dewasa tapi aku justru tidak bisa memberi contoh yang baik untukmu. Terima kasih Sadiqah telah menjadi cucu kebanggaanku." Ucap nenek.
"Benarkah nenek tidak marah padaku ?" Tanyaku kegirangan.
"Berapa kali nenek harus menjelaskannya padamu ?" Tanya nenek balik.
"Kalau begitu, ayo nenek cicipi roti yang sudah ku buat. Ibu juga, cicipi roti yang aku buat." Ucapku seraya memotong roti dan bersiap menyuapkannya pada ibu, dan nenekku, tapi aku menarik tanganku kembali sebelum mereka menyantapnya, karena aku mengingat sesuatu.
"Tunggu dulu, sebelum makan membaca apa ?" Ucapku
"Bismillahirrahmanirrahim" ucap ibu dan nenek.
Setelah itu aku segera menyuapi ibu, dan nenek. Ibu, dan nenek terlihat sangat bahagia saat ini. Terkadang kebahagiaan justru ditemukan dari hal-hal sederhana. Aku berjanji akan membuat keluarga ku bahagia apa pun yang terjadi.
"Ini sangat lezat, Sadiqah." Puji ibu.
"Terima kasih ibu." Ucapku.
"Masakan apa pun yang kamu buat pasti lezat, Sadiqah." Ucap nenek.
"Ibu, dan nenek memang paling pandai memuji. Ibu, nenek, karena kalian sudah memujiku kalian harus mendoakan keberkahan untukku." Ucapku.
"Semoga Allah memberikan berkah kepada setiap masakan yang kamu buat dan setiap orang yang menyantapnya." Ucap ibu, dan nenek serempak.
"Terima kasih ibu, nenek. Aku pernah mendengar jika doa di waktu sahur tidak pernah ditolak." Ucapku.
"Tapi nenek sedih." Ucap nenek.
"Mengapa nek, apakah ada masalah ?" Tanyaku khawatir.
"Aku hanya memikirkan nasib ikan yang ku beli kemarin. Sebenarnya aku ingin membuat ikan goreng kesukaanmu. Tapi kamu sudah membuat menu lain yaitu roti, padahal ikan hanya cocok dengan nasi. Apalagi ikan tidak bisa didiamkan terlalu lama, nanti jadi kurang enak rasanya." Jawab nenek.
"Tenang nek. Aku punya solusi untuk ini. Nenek, goreng saja ikan itu sekarang, setelah itu berikan kepada tetangga yang tidak berpuasa." Ucapku.
"Sepertinya ide mu sangat bagus. Terima kasih Nak." Ucap nenek.
Setelah itu, aku dan ibu menyiapkan peralatan makan, dan menunya di meja makan sementara nenek menggoreng ikan di dapur. Setelah semuanya selesai, kami menghidangkan makanannya di meja makan. Lalu kami menutup makanan-makanan tersebut, karena kami akan mandi terlebih dahulu sebelum makan sahur. Sekaligus menunggu makanan tersebut dingin. 15 menit kemudian, kami sudah berkumpul kembali di meja makan untuk sahur bersama.
Author POV
Azan subuh berkumandang tak lama setelah Keluarga Sadiqah selesai makan sahur. Mereka pun bergegas untuk melaksanakan shalat qabliyah subuh 2 rakaat dilanjutkan shalat subuh berjamaah. Mereka berdoa setelah salam, membaca zikir pagi, dan membaca 20 ayat Alquran setelah shalat. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sudah pukul 06. 30, Sadiqah harus bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.
Salamah (40) POV
Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh ibu. Aku hanya tahu jika ibu ingin datang ke kamarnya setelah aku bercakap-cakap sebentar dengan Sadiqah pagi ini. Sebuah percakapan yang mampu mengubah suasana hatiku hari ini. Aku berjalan menuju kamar ibu untuk memenuhi permintaan ibu. Sepertinya aku sudah ditunggu oleh ibu di depan pintu kamarnya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ibu." Ucapku.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Masuklah Salamah." Jawab ibu.
"Ibu memerlukan sesuatu ?" Tanyaku.
"Ibu ingin bicara denganmu Salamah." Jawab ibu.
"Iya ibu, aku akan mendengarkan ibu." Ucapku lagi.
"Aku sudah mendengar percakapanmu dengan Sadiqah. Aku tahu kamu kesal dengan pertanyaan Sadiqah hari ini. Tapi ia tidak bersalah sama sekali. Dia berhak mengetahui hal itu. Cepat atau lambat dia juga akan tahu kebenarannya, karena itu aku merasa sudah waktunya kau memberitahu Sadiqah kebenaran yang sudah kita sembunyikan selama ini. Atau kau tidak akan bisa menghadapi Sadiqah, saat ia tahu kebenarannya dari orang lain. Salamah, bukankah kau menyayangi Sadiqah ? Kalau begitu jangan sakiti dia dengan kebohongan terus menerus. Jangan kau hukum Sadiqah untuk kesalahan orang lain." Ucap ibu berusaha meyakinkanku.
Aku berusaha mencerna kata-kata ibu. Tapi aku mengakui bahwa apa yang dikatakan ibu sangat benar, sekarang sudah tiba saatnya aku memberi tahu Sadiqah kebenarannya.
"Iya ibu benar. Saat aku bersamanya aku akan memberitahunya." Ucapku.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Salam Sadiqah dari luar kamar.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawabku dan ibu.
Aku segera beranjak dari tempat dudukku lalu membukakan pintu untuk Sadiqah.
"Sadiqah, kamu terlihat sedih. Apa yang terjadi ?" Tanyaku.
"Dosenku akan tinggal di rumah suaminya di Lucknow. Hari ini adalah hari terakhir beliau menjadi dosen di universitas tempat ku belajar." Jawab Sadiqah.
"Jadi karena itu kamu sedih ?" Tanyaku
"Tidak ibu, hanya saja aku sudah menganggap dosenku seperti bibiku sendiri. Oh iya ibu, aku ingin meminta sesuatu dari ibu." Jawab Sadiqah.
"Katakanlah, Nak. Insyaa Allah ibu akan memenuhinya jika itu tidak melanggar syariat." Jawabku.
"Tenanglah ibu. Aku tidak akan meminta hal seperti itu kepada siapa pun. Aku hanya ingin ibu berdoa agar aku dimudahkan dalam mengerjakan ujian hari ini." Ucap Sadiqah.
"Ibu selalu berdoa agar kamu dimudahkan dalam menghadapi setiap ujian bukan hanya dalam ujian materi pembelajaran tapi juga dalam ujian kehidupan. Ketahuilah Nak, ujian kehidupan jauh lebih penting daripada ujian materi pembelajaran. Ujian kehidupan bukan hanya menentukan duniamu tapi juga akhiratmu. Ibu berdoa agar kamu tetap teguh dalam keimanan dan kebenaran di setiap ujian kehidupan yang kamu hadapi." Ucapku.
"Ibu --- " Ucap Sadiqah dengan mata berkaca-kaca karena terharu mendengar ucapan ku.
Dia memelukku begitu erat. Inilah kebiasaan Sadiqah ia selalu memelukku saat ia bahagia karena sesuatu. Sadiqah adalah putriku yang sangat ceria, dan sangat dekat denganku.
"Ibu harap kamu tidak memeluk tiang listrik juga saat kamu bahagia." Ucapku.
"Ibu bercanda ? Nenek lihatlah ibu, ibu menjadikan kebiasaan ku sebagai candaan. Kalau begitu aku memeluk nenek saja." Ucap Sadiqah dengan kemanjaannya.
Dia melepaskan pelukannya padaku dan beralih memeluk ibuku. Aku pun memeluk 2 hal berharga dalam hidupku ini yaitu ibuku, dan anakku. Jadi kami bertiga berpelukan.
"Biarkan ibumu bercanda denganmu Sadiqah. Karena kesempatan untuk itu akan berkurang saat kamu menikah nanti. Aku yakin kamu akan sangat merindukan momen-momen kebersamaan mu dengan ibumu setelah kamu menikah nanti." Ucap ibu.
"Itu tidak akan terjadi. Karena aku akan membuat ibu tetap berada di dekatku walaupun aku sudah menikah. Kita mungkin tinggal di tempat yang berbeda, tapi semua nilai-nilai, ajaran, didikan, nasihat, kenangan, dan kasih sayang ibu akan tetap berada dekat denganku, berada di dalam hatiku dan akan selalu menetap di situ." Ucap Sadiqah dengan penuh percaya diri.
Ibu mengusap puncak kepala Sadiqah dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Ibu, nenek, aku izin berangkat kuliah sekarang." Izin Sadiqah.
"Iya Nak. Carilah ilmu yang menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah SWT, menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk, membuat jiwa selalu merasa cukup (kanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit. Semoga Allah selalu melindungi mu dan memudahkan mu melakukan kebaikan." Ucapku.
"Iya ibu. Aku akan selalu mengingat nasihat ibu." Ucap Sadiqah.
"Kami, akan mengantarkan mu ke depan." Ucapku.
"بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْـتُ عَلَى اللهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ إِلاَّ
Bismi l-lâhi, tawakkaltu ’alâ l-lâhi, wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ bi-l-lâhi.
Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah" Doa Sadiqah dalam hati.
Aku, dan ibu mengantar Sadiqah sampai ke depan rumah.
"Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Sadiqah seraya mencium tanganku lalu tangan ibuku.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawabku dan ibuku.
Aku menatap kepergian anakku dari belakang. Aku dapat memahami kesedihannya saat dosennya akan pergi, karena selama ini dosen tersebut yang selalu mendukungnya setiap kali ada masalah di kampus. Sadiqah sangat dekat dengan dosen tersebut sampai ia menganggap dosennya itu sebagai bibinya sendiri. Aku, dan ibu kembali memasuki rumah. Saat melewati kamar Sadiqah, aku melihat pintunya belum dikunci. Mungkin ia lupa mengunci pintu kamarnya. Saat aku hendak menutup pintu kamarnya, aku melihat mukena Sadiqah tergeletak di lantai dan hanya beralaskan sajadah. Mungkin ia lupa melipat mukenanya setelah shalat duha. Karena aku ingat dengan baik jika Sadiqah terbiasa melaksanakan shalat duha dan ia sudah merapikan mukenanya setelah shalat subuh tadi. Aku segera merapikan mukena Sadiqah, dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. Setelah itu aku keluar dari kamar Sadiqah, dan tidak lupa mengunci pintu.
*Kediaman kakek Daud*
Ruqayyah, dan ayahnya sedang berbincang-bincang di ruang keluarga. Tiba-tiba, nenek Pakizah datang dan menyela pembicaraan mereka.
"Mengapa kau berpikir terlalu lama, Salman. Cepat atau lambat ia akan tahu kebenarannya. Ayahmu tidak akan memberitahu apa-apa padamu, Ruqayyah. Lakukan satu hal, keluarlah Ruqayyah, kakek mu pulang dari Jaipur. Dia yang akan menjawab pertanyaan mu." Ucap Nenek Pakizah seraya memegang pipi Ruqayyah dengan penuh kasih sayang.
Ruqayyah terlihat senang karena akan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
"Benarkah, nenek ? Aku akan menyambutnya." Ucap Ruqayyah senang.
Kakek Daud duduk di ruang tamu. Ruqayyah datang untuk menyajikan minuman untuk kakek nya, karena kakek Daud baru saja bersafar jadi tidak puasa. Pak Salman, dan Nenek Pakizah juga datang ke ruang tamu.
"Silakan diminum, kek." Ucap Ruqayyah.
"Terima kasih Ruqayyah. Kamu memang cucu yang terbaik." Ucap Kakek Daud.
"Sama-sama kek." Ucap Ruqayyah.
"Salman bagaimana keadaanmu ?" Tanya Kakek Daud kepada anaknya.
"Keadaanku baik, ayah." Jawab Pak Salman.
"Bagaimana dengan toko kita ?" Tanya Kakek Daud.
"Semuanya baik, perdagangannya juga berjalan dengan lancar." Jawab Pak Salman.
"Kakek, bagaimana perjalanan kakek ?" Tanya Ruqayyah.
"Perjalananku baik sekali." Jawab Kakek Daud.
"Dari tadi cucumu sudah menunggu, sekarang beritahu dia. Nak, kakek mu sudah bersiap-siap untuk menikahkan mu sebentar lagi. Kau sudah dicarikan pasangan hidup." Ucap Nenek Pakizah sambil menyentuh pipi Ruqayyah.
Ruqayyah bersemu malu.
"Kau tidak perlu malu, Ruqayyah." Ucap Nenek Pakizah.
"Kita mendapatkan lamaran untuk Ruqayyah. Saat kita tinggal di Khasmir kita mempunyai tetangga tua namanya Tuan Abdurrahman. Tuan Abdurrahman mempunyai 3 putra. Putra sulungnya telah menikah. Tuan Abdurrahman melamar Ruqayyah untuk putra bungsunya." Ucap Kakek Daud.
"Ini kabar yang sangat baik Ayah. Apakah ayah mempunyai alamat mereka ? Aku ingin mengenal keluarga mereka." Ucap Pak Salman.
"Keluarga mereka berada di Kolkata untuk sementara waktu. Mereka tinggal di rumah no. 32 Basurimansur Rajaratraw.
"Kau sudah mendapatkan jawabanmu bukan, Ruqayyah. Sekarang kau bersiap-siap lah sudah saatnya kau berangkat ke kampus." Ucap Nenek Pakizah.
Ruqayyah berjalan beberapa langkah meninggalkan ruang tamu.
"Ruqayyah tunggu. Kau akan dinikahkan, apabila kau ada sesuatu ataupun ada keraguan kau katakan saja. Karena kau tidak punya kesempatan lagi." Ucap Pak Salman sebagai wali yang baik.
"Tidak ayah. Di rumah ini kalian semua selalu menjagaku. Aku tidak merasa kekurangan apa pun. Hidupku, dan masa depanku kalian yang menentukan. Dan semua masa depanku akan selalu baik jadinya. Dan aku yakin, apa yang kakek tentukan untuk masa depanku akan membawa kebaikan untukku. Dan aku tidak akan menolaknya." Ucap Ruqayyah yang notabene adalah anak yang patuh kepada orang tua.
Kakek Daud, Pak Salman, dan Nenek Pakizah tersenyum bahagia dan bangga mendengar jawaban Ruqayyah.
"Bagus cucuku. Kau menganggap kebahagiaan kami sebagai kebahagiaanmu sendiri. Pakizah, hari ini kau sudah membuktikan bahwa kau bukan hanya nenek yang baik tapi ibu yang baik. Menantu mu meninggal saat Ruqayyah berusia 5 tahun dan kau dapat menggantikan perannya sebagai ibu Ruqayyah dengan sangat baik." Ucap Kakek Daud.
"Ruqayyah, bersiap-siap lah, sudah saatnya kau berangkat ke kampus. Ayo." Ucap Nenek Pakizah mengingatkan Ruqayyah.
Ruqayyah (19) POV
Aku masih berada di halaman universitas. Aku berjalan setengah berlari karena sebentar lagi bel masuk berbunyi. Aku mendengar derit kampas rem sepeda yang bergesekan dengan velg sepeda, mungkin itu Sadiqah. Segera ku dekati Sadiqah yang sedang asyik memarkirkan sepedanya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucapku dari belakang Sadiqah.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab Sadiqah, dan orang lain yang mendengarnya.
Sadiqah menengok ke belakang.
"Ada apa Ruqayyah ? Kamu memerlukan sesuatu Ruqayyah ?" Tanya Sadiqah.
"Percepat lah gerak mu Sadiqah. Sebentar lagi bel masuk kelas akan berbunyi." Ucapku.
Tiba-tiba bel masuk kelas berbunyi.
Aku, dan Sadiqah berjalan setengah berlari menuju kelas kami. Pintu kelas kami tidak ditutup seperti biasanya seolah-olah pintu itu menunggu kehadiran seseorang. Hatiku bergetar saat aku melihat Bu Sarsmista sudah masuk kelas. Hari ini tidak seperti biasanya, Bu Sarsmista memandangi aku, dan Sadiqah dengan sangat intens membuat aku jadi salah tingkah. Mungkin itu karena kami terlambat masuk kelas.
"Sadiqah, dan Ruqayyah letakkan tas kalian di tempat duduk kalian." Titah Bu Sarsmista sebelum kami berbicara apa pun bahkan kami belum meminta maaf.
Aku, dan Sadiqah langsung menuju tempat duduk kami, dan meletakkan tas kami seperti apa yang diperintahkan Bu Sarsmista.
"Sadiqah, Ruqayyah, kalian berdua terlambat masuk kelas bukan ?" Tanya Bu Sarsmista kepada Sadiqah, dan Ruqayyah.
"Iya Bu, maafkan kami. Kami berjanji tidak akan mengulangi hal ini lagi." Ucapku, dan Sadiqah.
"Karena kalian terlambat, kalian berdua harus menggantikan saya mengajar hari ini." Ucap Bu Sarsmista.
"Tapi bu, hukuman yang pantas untuk mereka berdua adalah tidak diperbolehkan mengikuti pembelajaran, dan ujian serta membersihkan taman universitas ini. Mengapa ibu memberi mereka hukuman yang sebenarnya adalah tugas mereka sebagai asisten dosen ?" Protes Geet salah satu teman kami.
"Iya, ibu kami setuju dengan Geet." Ucap Asta.
"Apa keuntungannya memberi hukuman seperti itu. Hukuman seperti itu hanya akan menghilangkan tujuan saya untuk mengajar dan tujuan mereka untuk belajar. Sebenarnya keterlambatan mereka tidak mempengaruhi kegiatan mengajar saya lalu mengapa saya harus mengganggu kegiatan belajar mereka. Ibu hanya akan menjadi seseorang yang egois dengan melakukan itu. Geet belajarlah untuk menghargai keputusan orang lain." Ucap Bu Sarsmista.
Aku dapat menangkap ketidaksenangan dalam ekspresi Geet saat mendengar penjelasan Bu Sarsmista. Sepertinya teman-teman kami yang lain tidak berani menambahi ucapan Geet setelah mendengar penjelasan Bu Sarsmista.
"Materi apa saja yang harus kami ajarkan hari ini, ibu ?" Tanya Sadiqah.
"Karena ini hari ini hari terakhir saya mengajar, agenda hari ini adalah mengulang kembali materi yang sudah saya jelaskan selama 2 tahun ini." Ucap Bu Sarsmista.
"Baik Bu." Ucapku, dan Sadiqah seraya maju, dan menghadap ke arah teman-teman untuk mengajar.
"Teman-teman, hari ini kita akan mengulang kembali materi yang sudah diajarkan Bu Sarsmista 2 tahun ini. Pertama-tama, kita akan mengulang materi biomedik dasar. Teman-teman, silahkan perhatikan presentasi berikut ini....." Ucap Sadiqah memulai kegiatan pembelajaran.
Sementara itu, aku menyiapkan persiapan presentasi. Kami mulai menjelaskan kembali materi selama 2 tahun ini. Aku, dan Sadiqah bicara bergantian. Kami, berusaha menjelaskan dengan baik walaupun aku tahu hanya sebagian kecil mahasiswi yang tertarik dengan penjelasan kami. Kami sudah sangat hafal ekspresi-ekspresi kawan-kawan kami saat mengikuti pembelajaran jadi kami tidak mempermasalahkan hal itu. Sementara itu, Bu Sarsmista menyimak dengan saksama apa yang kami jelaskan dari awal hingga akhir. Kami lega karena masih ada orang yang bersedia mendengarkan penjelasan kami. Kami merasa dihargai. Jujur saja ini bukan sekali dua kali kami menjelaskan materi perkuliahan, mengingat status kami sebagai asisten dosen. Jadi kami tidak akan merasa gugup atau tidak percaya diri saat bicara di depan orang banyak. Karena masa-masa seperti itu sudah kami lewati. Kami berdua sangat bersyukur karena kami berhasil mengulang materi perkuliahan selama 2 tahun ini dalam waktu 2 jam tanpa melewatkan poin-poin penting.
".....Apakah ada materi yang belum jelas ? Apakah teman-teman mempunyai pertanyaan berkaitan dengan materi ?" Tanya Sadiqah setelah kami menyelesaikan penjelasan kami.
Setelah sekian lama kami menunggu tidak ada yang bertanya.
"Baiklah, sepertinya tidak ada yang bertanya. Cukup sekian penjelasan dari kami, apabila ada kata-kata kami yang kurang berkenan di hati teman-teman, kami mohon maaf. Untuk perhatiannya kami ucapkan terima kasih." Ucapku, dan Sadiqah menutup pembelajaran jam pertama.
Bu Sarsmista bangkit dari tempat duduknya, dan mendekat ke arah kami tepat setelah kami menutup pembelajaran. Beliau memeluk kami secara bergantian. Setelah itu beliau berbalik menghadap ke arah teman-teman kami.
"Apakah ada di antara kalian yang tahu alasan saya memeluk mereka ?" Tanya Bu Sarsmista.
"Karena ibu ingin." Jawab Ishani salah satu teman kami.
"Karena ini hari terakhir ibu bertemu mereka." Jawab Ishita salah satu teman kami.
"Karena mereka murid kesayangan ibu." Jawab Geet.
"Apakah kalian tahu apa alasan saya menyayangi mereka ?" Tanya Bu Sarsmista.
"Kami tidak tahu alasannya, ibu." Jawab Geet.
"Karena mereka adalah mahasiswi yang rajin, jujur menghargai orang lain, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, mandiri, bertanggungjawab dan masih banyak alasan yang lainnya. Apakah kalian tahu alasan Sadiqah, dan Ruqayyah terlambat masuk kelas hari ini ? Apakah kalian juga tahu alasan saya memberi sanksi yang biasa saja bagi mereka ?" Tanya Bu Sarsmista.
"Tidak Bu." Jawab kawan-kawan kami dengan serempak.
"Dalam setiap hal kita harus mengutamakan berprasangka baik terhadap orang lain. Mengapa kalian begitu semangat agar mereka berdua mendapatkan hukuman tapi tidak ada satu pun di antara kalian yang menanyakan alasan mereka ? Pagi ini Sadiqah, dan Ruqayyah pergi ke rumah sakit sebelum ke universitas karena mereka membantu korban kecelakaan." Ucap Bu Sarsmista.
Aku terkejut mendengar persaksian Bu Sarsmista. Bagaimana Bu Sarsmista tahu jika kami membantu korban kecelakaan pagi ini ?
"Maaf bu, bagaimana ibu mengetahui hal itu ?" Tanyaku, dan Sadiqah kompak.
"Saya pergi ke rumah sakit tadi pagi. Saya melihat kalian berdua." Jawab Bu Sarsmista.
"Kalian tahu anak-anak, kedisiplinan tidak lebih penting daripada rasa empati. Lebih baik kalian terlambat karena menolong orang yang membutuhkan bantuan daripada kalian datang tepat waktu tapi membiarkan orang yang membutuhkan bantuan kalian. Kalian mungkin iri kepada mereka berdua karena ibu sangat menyayangi mereka tapi itu bukan alasan bagi kalian untuk bersikap tidak adil terhadap mereka. Kalian mungkin berbeda keyakinan, pandangan, dan cara hidup dengan mereka tapi kalian harus tetap menghargai mereka. Hanya karena mereka berbeda dari kita bukan berarti keyakinan, pandangan, dan cara hidup mereka itu salah. Belajarlah untuk bersikap tenggang rasa. Cobalah untuk mengenali mereka lebih dalam lagi jangan menilai mereka dari penampilan luarnya saja. Sekarang saatnya ujian dimulai." Ucap Bu Sarsmista.
"Bukankah ibu akan pergi pukul 11 ? Siapa yang akan mengawasi ujian jika ibu tidak ada ?" Tanya Asta.
"Sadiqah, dan Ruqayyah yang akan mengawasi jalannya ujian." Jawab Bu Sarsmista.
"Tapi ibu, bukankah Sadiqah, dan Ruqayyah juga mengikuti ujian seperti kami bagaimana mereka bisa mengawasi jalannya ujian ?" Tanya Reema.
"Mereka berdua sudah menyelesaikan ujian mereka sebelum kalian memulai ujian kalian. Mereka sudah menjelaskan materi yang saya ajarkan selama 2 tahun ini tanpa meninggalkan poin-poin penting. Bahkan sebenarnya ujian lisan lebih terpercaya daripada ujian tertulis. Sadiqah, Ruqayyah tolong laksanakan perintah saya dengan baik." Jelas Bu Sarsmista.
"Iya, ibu." Ucapku, dan Sadiqah kompak.
"Saya percaya kepada kalian. Ini kertas ujiannya. Setelah ujian nya selesai tolong serahkan kertas ujiannya kepada Bu Sonarika, beliau dosen kalian yang baru menggantikan saya jadi beliau yang akan menilai ujian kalian." Ucap Bu Sarsmista seraya menyerahkan setumpuk kertas ujian kepadaku, dan Sadiqah.
"Sampai jumpa. Jaga diri kalian baik-baik." Ucap Bu Sarsmista kepada seluruh mahasiswi di kelas dimana aku berdiri saat ini. Setelah itu Bu Sarsmista pergi meninggalkan kelas kami.
Aku, dan Sadiqah membagikan kertas ujian kepada teman kami satu persatu.
"Sadiqah, kamu awasi barisan depan, aku akan mengawasi barisan belakang." Ucapku pada Sadiqah.
"Iya Ruqayyah." Jawab Sadiqah.
Aku, dan Sadiqah menjalankan tugas masing-masing. Ujian kali ini berjalan lancar, walaupun aku melihat jika Ishani, Ishita dan Geet terlalu sering menengok ke kanan, dan ke kiri mereka. Tapi aku yakin mereka tidak mungkin menyontek karena soalnya diacak untuk setiap peserta. Akhirnya ujian selesai juga setelah satu jam berlalu. Aku, dan Sadiqah bersiap untuk mengambil lembar jawaban setiap peserta. Semuanya sudah menyerahkan lembar jawaban mereka kecuali Geet.
"Geet, tolong serahkan lembar jawabanmu." Ucap Sadiqah.
"Tunggu sebentar Sadiqah. Aku belum selesai mengisi data diriku." Ucap Geet.
"Ya Geet, aku akan menunggumu. Lain kali jangan lupa mengisi data diri sebelum mengerjakan ujian." Ucap Sadiqah.
Saat Geet mengisi data dirinya, aku, dan Sadiqah memeriksa kelengkapan data diri pada lembar jawaban yang telah diserahkan teman-teman kepada kami. Kami jadi lupa mengawasi Geet. Saat Geet menyerahkan lembar jawabannya, justru terjadi hal mengejutkan karena ada kertas kecil berisi catatan di bawahnya. Mungkin Geet berniat melakukan kecurangan, tapi ketahuan oleh kami.
"Geet, nanti setelah kami menyerahkan lembar jawaban ini kepada Bu Sonarika kami ingin bicara denganmu." Ucap Sadiqah.
Mungkin Sadiqah sengaja tidak membuka perbuatan curang Geet di depan teman-teman agar dia tidak malu. Setelah itu kami segera menuju ruang dosen untuk menyerahkan lembar jawaban ujian kepada Bu Sonarika. Kami langsung kembali ke kelas setelah itu, kami langsung mendapati Geet sendirian di dalam kelas. Geet memang akan berbicara dengan kami saat ini, berbeda dengan teman-teman yang lain mereka bisa langsung bergegas menuju kantin karena mereka juga tidak puasa Ramadhan. Kami langsung duduk di dekat tempat duduk Geet.
"Geet, bisakah kamu menjelaskan apa ini ?" Tanya Sadiqah seraya menunjukkan kertas kecil berisi catatan di bawah lembar jawaban Geet.
"Aku tidak tahu, bukan aku yang menulisnya." Jawab Geet.
Aneh, padahal kami sudah mencocokkan tulisan tangan Geet di lembar jawaban dengan tulisan di kertas catatan itu sebelumnya dan hasilnya sangat cocok. Hal ini menguatkan dugaan ku jika Geet menyembunyikan sesuatu. Itu artinya Geet memang melakukan kecurangan dalam ujian.
"Kamu tidak perlu menutupinya Geet, kami sudah tahu." Ucapku.
"Apa maksud kalian ?" Tanya Geet.
"Geet, katakan yang sejujurnya kepada kami. Kami berjanji tidak ada teman kita yang akan mengetahui hal ini." Ucap Sadiqah.
"Iya Geet, kami berjanji." Ucapku.
"Sebenarnyaa, aaku yang membuat catatan itu. Aku mengerjakan ujian dengan melihat catatan itu. Aku tidak punya pilihan lain karena aku tidak bisa memahami materinya dengan baik." Ucap Geet dengan wajah takut.
"Apa materi yang belum kamu pahami, Geet ? Kami akan menjelaskannya kepadamu. Tapi kamu harus berjanji jika kamu tidak akan mengulangi hal ini lagi." Ucap Sadiqah.
"Memangnya kalian bersedia meluangkan waktu untukku ?" Tanya Geet.
"Tentu saja Geet. Jika kami tidak bersedia mengapa kami memberikan penawaran ini ?" Ucapku berusaha meyakinkan Geet.
"Baiklah, aku menerima penawaran kalian. Aku berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi tapi kalian juga harus berjanji untuk menepati janji kalian." Ucap Geet.
"Iya kami berjanji tidak ada teman kita yang mengetahui hal ini." Ucap Sadiqah.
"Baiklah kita akan menjelaskan semua materi pembelajaran kepadamu saat jam istirahat." Ucapku.
"Baiklah kita mulai hari ini juga." Ucap Geet bersemangat.
"Tidak Geet, kamu pergilah ke kantin kamu belum makan kan ?" Ucap Sadiqah.
"Aku sudah makan saat kalian menyerahkan lembar jawab ujian kepada Bu Sonarika." Ucap Geet.
"Tidak mungkin kamu makan secepat itu." Ucapku.
"Aku makan roti isi, Ruqayyah. Aku tidak makan nasi hari ini." Ucap Geet.
"Baiklah Geet, persiapkanlah buku mu. Dan catat apa saja yang kami katakan." Ucap Sadiqah.
Geet menyiapkan bukunya. Aku, dan Sadiqah mendiktekan apa saja yang harus ditulis oleh Geet. Aku, dan Sadiqah baru menyadari hari ini jika Geet lama sekali saat menulis. Ternyata alasan Geet bermasalah dalam belajar adalah karena ia lama dalam menulis, sehingga ia tidak bisa mencatat semua hal penting yang dijelaskan oleh dosen. Selain itu Geet juga terlihat lesu dan berkeringat. Perut Geet berbunyi menandakan bahwa dia belum makan.
"Kamu tidak bisa menyangkal lagi Geet. Kamu belum makan kan ? Sebaiknya kamu makan di kantin, supaya kamu bisa fokus belajar." Ucap Sadiqah.
"Bukankah ini kesempatan yang baik untuk memulai pembelajaran ? Lagi pula aku memang tidak pernah sarapan dan langsung belajar begitu saja." Tanya Geet.
"Penuhi hak mu Geet. Kami tahu rasanya menahan lapar, jadi kami tidak ingin seseorang kelaparan karena kami." Ucapku.
"Iya Geet, apalagi waktu istirahat. hanya 30 menit. Jadi manfaatkan waktu ini sebaik mungkin." Ucap Sadiqah.
Setelah itu Geet pergi ke kantin dan meninggalkan aku berdua dengan Sadiqah. Aku bisa dengan leluasa berbicara dengan Sadiqah sekarang.
Author POV
Beberapa saat setelah kepergian Geet, masih tercipta keheningan di antara Sadiqah, dan Ruqayyah. Baik Sadiqah, dan Ruqayyah masih bergelut dengan pikiran masing-masing. Dan masih bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Sadiqah mengingat kejadian tadi pagi.
Flashback on :
Nenek Sumayyah sudah meninggalkan ruang tempat khusus ibadah di rumah mereka. Hanya tinggal Sadiqah, dan Bu Salamah di ruangan itu. Sadiqah, dan Bu Salamah berbincang-bincang sambil merapikan mukena mereka.
"Ibu, aku ingin bertanya sesuatu ?" Tanya Sadiqah pada ibunya.
"Tanya saja." Jawab Bu Salamah.
"Mengapa nenek, dan neneknya Ruqayyah bertengkar ? Ibu sudah bertahun-tahun aku menanyakan hal ini, dan setiap kali aku bertanya ibu diam saja. Masalahnya tidak pernah parah seperti yang kemarin, bu. Aku hanya ingin tahu apa masalahnya. Aku mohon ibu, beritahu aku." Ucap Sadiqah.
"Sudah berapa kali ibu bilang, kau jangan ikut campur urusan orang tua. Kau tidak mengerti ? Ini yang terakhir kalinya, kau jangan pernah tanyakan pada ibu ataupun nenek tentang masalah ini lagi. Dalam hidup kau diberikan kebebasan tapi itu bukan berarti kau bisa menanyakan hal itu pada kami. " Jawab Bu Salamah.
Sadiqah tidak mengira ibunya akan bereaksi seperti itu. Tapi hal itu membuat Sadiqah yakin ada masalah besar di antara kedua keluarga.
"Maafkan aku ibu, aku tidak akan mengulanginya lagi." Ucap Sadiqah.
"Sadiqah, segera bersiap-siap lah sudah saatnya kau berangkat ke kampus." Ucap Bu Salamah seraya keluar dari ruang khusus shalat karena Bu Salamah sudah selesai merapikan mukenanya.
"Baiklah ibu. Jika ibu tidak ingin memberitahuku, aku akan mencari tahu sendiri." Batin Sadiqah seraya mengikuti Bu Salamah dari belakang.
Flashback off
Ruqayyah mengingat kejadian tadi pagi.
Flashback on :
Ruqayyah, dan Pak Salman berada di ruang keluarga. Pak Salman duduk di sofa sambil menuangkan teh ke cangkirnya. Sementara Ruqayyah berdiri tepat di hadapan Pak Salman.
"Ayah, pertengkaran seperti ini pasti ada alasannya kan ? Bukankah tidak baik kita saling menyakiti seperti ini ?" Tanya Ruqayyah pada ayahnya.
"Ruqayyah, jangan-jangan kau sudah, kau sudah berteman dengan Sadiqah ? Tidak tahu kau bertanya soal apa padaku." Ucap Pak Salman.
"Ayah kami bukan berteman, kami hanya tetangga. Dan kami tidak tahu kapan kami akan menjadi teman. Dan apapun yang terjadi, aku hanya tidak ingin itu terjadi pada keluarga kita yang selanjutnya, ayah. Ayah tolong beritahu ada masalah apa ?" Ucap Ruqayyah.
Pak Salman hanya diam terhadap pertanyaan Ruqayyah.
Flashback off
"Sadiqah, kita harus cepat membuat rencana untuk mendamaikan kedua keluarga kita. Atau kita tidak akan bisa menyelesaikan tugas ini." Ucap Ruqayyah.
"Ada apa Ruqayyah, mengapa kamu jadi terburu-buru seperti ini ? Kita harus memikirkan rencana ini dengan sangat matang. Dan kita juga harus menyiapkan rencana cadangan jika rencana pertama kita tidak berhasil." Ucap Sadiqah.
"Sadiqah, aku tidak akan punya banyak waktu. Aku mungkin akan menikah sebentar lagi." Ucap Ruqayyah.
"Benarkah Ruqayyah, ini adalah kabar yang sangat membahagiakan. Siapa orang beruntung itu, Ruqayyah ?" Tanya Sadiqah seraya memeluk Ruqayyah, seolah-olah ia mendengar kabar pernikahan saudaranya sendiri.
"Aku belum mengenalnya Sadiqah. Nenek memberitahu jika keluarga calon suamiku akan datang untuk melihatku hari ini. Mungkin aku akan berkenalan dengannya hari ini. Hanya kakekku yang telah mengenal keluarga calon suamiku. Kakekku dan keluarga calon suamiku dulunya adalah tetangga." Ucap Ruqayyah.
"Itu artinya ayahmu juga belum mengenal pemuda itu ?" Tanya Sadiqah memastikan.
"Iya Sadiqah." Ruqayyah.
"Apakah kamu akan menerima pinangan ini Ruqayyah ?" Tanya Sadiqah lagi.
"Aku percaya dengan pilihan kakekku, Sadiqah. Kakekku akan memilihkan sesuatu yang baik untukku. Kakekku lebih dewasa dan lebih berpengalaman daripada diriku sendiri, jadi aku harus menghormati keputusannya." Ucap Ruqayyah.
"Sebaiknya kamu berusaha mengenali pemuda itu lebih dulu. Allah SWT berfirman:
الْخَبِيثٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثٰتِ ۖ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبٰتِ ۚ أُولٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
al-khobiisaatu lil-khobiisiina wal-khobiisuuna lil-khobiisaat, wath-thoyyibaatu lith-thoyyibiina wath-thoyyibuuna lith-thoyyibaat, ulaaa`ika mubarro`uuna mimmaa yaquuluun, lahum maghfirotuw wa rizqung kariim
"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
(QS. An-Nur 24: Ayat 26)
Kamu ingat sabda Nabi kepada para wali perempuan :
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” [HR. At-Tirmidzi no. 1085 hasan]
Kamu harus mengetahui kualitas agama dari pemuda itu dulu, kamu tidak bisa langsung berkata "iya". Karena Nabi juga pernah bersabda bahwa suami adalah surga dan neraka seorang istri. Jadi aku harap kamu bisa mengambil keputusan yang tepat untuk hidupmu sendiri." Ucap Sadiqah.
"Jadi apa yang harus aku lakukan ?" Ucap Ruqayyah.
"Mintalah waktu kepada ayahmu untuk mengenal pemuda itu lebih dalam. Kamu harus mencari tahu kualitas agama dan akhlak pemuda itu." Jawab Sadiqah.
"Aku tidak bisa melakukan itu Sadiqah. Karena kami bukan mahram." Ucap Ruqayyah.
"Kamu bisa meminta bantuan ayahmu untuk mencari tahu kualitas agama dan akhlak pemuda itu." Jelas Sadiqah.
"Bagaimana caranya ?" Tanya Ruqayyah lagi.