Kolkata, 7 Ramadhan 1445 H
Author POV
Sadiqah turun dari taksi yang mengantarkannya ke kampus. Di waktu yang bersamaan Sadiqah melihat Ruqayyah turun dari taksi yang ditumpanginya. Taksi yang ditumpangi Ruqayyah berada di depan taksi yang ditumpangi Sadiqah. Sadiqah mengejar Ruqayyah yang berjalan menuju kampus. Ruqayyah tahu jika Sadiqah mengejarnya, tapi ia tetap berjalan. Akhirnya, Ruqayyah berhenti berjalan karena jalan yang akan diseberanginya masih ramai dengan kendaraan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Sadiqah saat ia berada samping Ruqayyah yang sedang menunggu untuk menyeberang.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Ruqayyah karena Ruqayyah tahu jika menjawab salam hukumnya wajib.
"Ruqayyah, bisakah kita bicara sebentar ? Aku mempunyai bukti jika ibuku tidak bersalah. Jadi kumohon dengarkan penjelasanku. Dan mari kita akhiri perselisihan dan kesalahpahaman ini. Tidak baik jika kedua keluarga kita terus menerus berseteru. Bukankah kamu sudah berjanji kepadaku untuk membantuku mendamaikan kedua keluarga kita ? Jadi aku mohon dengarkan aku kali ini." Ucap Sadiqah.
Ruqayyah diam saja karena merasa tidak nyaman dengan ucapan Sadiqah. Ruqayyah tidak siap menerima penjelasan apa pun dari Sadiqah. Karena itu, Ruqayyah berpikir untuk segera pergi dari tempat tersebut. Akhirnya Ruqayyah menyeberangi jalan di depannya tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sadiqah melihat sebuah sedan hampir menabrak Ruqayyah.
Ruqayyah (19) POV
Aku merasakan tangan seseorang mendorongku, hingga aku terjatuh dan tanganku lecet sedikit saat bergesekan dengan aspal. Aku juga mendengar suara sedan yang melaju kencang di belakangku. Itu artinya ada seseorang yang menyelamatkanku dari kecelakaan. Aku menengok ke kanan, dan aku melihat Sadiqah tergeletak tidak sadarkan diri di dekatku. Aku memeriksa napas, dan denyut nadi Sadiqah. Sadiqah masih bernapas, dan masih memiliki denyut nadi. Jika Sadiqah sudah tidak bernapas maka aku harus memberikan napas buatan sebagai pertolongan pertama pada kecelakaan.
"Tolong ... tolong ... " Ucapku mencari bantuan.
Beberapa orang akhirnya datang, dan membantuku memapah Sadiqah ke dalam taksi. Di dalam taksi orang-orang tersebut menidurkan Sadiqah di pangkuanku, dan seorang ibu sukarelawan. Setelah itu, aku mengikatkan kain di bagian atas luka agar darahnya tidak terus mengalir. Akhirnya kami sampai di rumah sakit terdekat yang berjarak kurang lebih 3 km dari universitas kami. Petugas kesehatan segera menjemput kami dengan tandu lalu membawa Sadiqah ke ruang perawatan. Aku keluar dari taksi sementara ibu yang tadi ikut menolong Sadiqah masih belum beranjak dari tempat duduknya.
"Sebaiknya, ibu pulang saja dengan taksi. Saya akan menjaga teman saya di sini. Terima kasih untuk bantuan ibu." Ucapku pada ibu yang menjadi sukarelawan tadi.
"Sama-sama. Saya permisi." Ucap ibu itu lalu taksi yang tadi mengantar kami berjalan kembali mengantarkan ibu tadi pulang ke rumahnya.
Aku berjalan mengikuti tenaga kesehatan yang membawa Sadiqah ke ruang perawatan. Setelah Sadiqah masuk ke ruang perawatan, aku menuju ke bagian administrasi.
"Adakah yang bisa saya bantu ?" Tanya petugas administrasi rumah sakit dengan ramah begitu melihatku berjalan mendekat.
"Teman saya mengalami kecelakaan lalu saya membawanya ke rumah sakit ini. Petugas kesehatan sudah membawa teman saya ke ruang perawatan no. 404 dikarenakan kondisinya. Saya di sini untuk mengurus administrasi perawatan teman saya tersebut." Ucapku kepada petugas administrasi rumah sakit.
"Silakan isi formulir pendaftaran berikut, dan segera hubungi keluarga pasien." Ucap petugas administrasi rumah sakit seraya menyerahkan kertas formulir kepadaku.
Aku menerima kertas formulir tersebut.
***
Author POV
Pak Salman berjalan tergesa-gesa ke rumah Nenek Sumayyah, dan Bu Salamah.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Pak Salman di samping pintu rumah Nenek Sumayyah.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab Bu Salamah, dan Nenek Sumayyah seraya membukakan pintu.
Bu Salamah, dan Nenek Sumayyah tertegun sejenak melihat kedatangan Pak Salman yang terlihat dengan raut cemas, dan khawatir menjadi satu.
"Ada apa Salman ?" Tanya Bu Salamah.
"Ruqayyah memberitahuku jika Sadiqah mengalami kecelakaan dan di rawat di rumah sakit." Jawab Pak Salman.
Bu Salamah, dan Nenek Sumayyah menjadi cemas, dan khawatir setelah mendengar kabar dari Pak Salman. Bu Salamah mengambil ponselnya.
"Apa yang akan kamu lakukan, Salamah ?" Tanya Pak Salman.
"Aku akan memesan taksi." Jawab Bu Salamah.
"Tidak. Kita akan berangkat bersama dengan mobilku." Ucap Pak Salman.
"Tidak Salman, kami tidak ingin merepotkanmu." Ucap Bu Salamah.
"Salamah, memesan taksi akan menyita banyak waktu." Ucap Pak Salman.
Akhirnya Bu Salamah menyimpan kembali ponselnya, dan tidak jadi memesan taksi. Dalam hati Bu Salamah tidak ingin menerima bantuan Pak Salman karena dia telah terbiasa untuk menangani semuanya sendiri. Tapi demi Sadiqah, Bu Salamah menepis semua perasaan itu. Akhirnya Pak Salman, Bu Salamah, dan Nenek Sumayyah sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit, tetapi sebelum mereka masuk ke mobil mereka dihadang oleh Nenek Pakizah.
"Salman, kau akan pergi ke mana bersama dua musuh kita itu ? Pasti mereka telah melakukan sesuatu sehingga kau bersimpati kepada mereka. Salamah, kau pasti telah melakukan sesuatu bukan, sampai-sampai putraku Salman mau pergi bersamamu. Akui saja Salamah. Salamah, aku peringatkan yang terakhir kalinya kepadamu, jangan pernah dekati putraku, atau akibatnya tidak akan baik." Ucap Nenek Pakizah dengan marah karena melihat putranya berdekatan dengan musuhnya.
"Ibu, kami akan ke rumah sakit karena Sadiqah mengalami kecelakaan." Jawab Pak Salman yang lupa meminta izin kepada ibunya.
"Ibu tidak mengizinkanmu pergi. Biarkan mereka mengurus keluarga mereka sendiri." Ucap Nenek Pakizah.
Bu Salamah sudah menebak hal itu akan terjadi, karena itu tadi dia sempat menolak penawaran Pak Salman. Niat hati ingin segera melihat kondisi anaknya, tapi Bu Salamah justru harus terlibat pertengkaran dengan Nenek Pakizah.
"Salman, kami akan berangkat dengan taksi saja." Ucap Bu Salamah yang tidak ingin berdebat.
"Tidak Salamah. Ibu, izinkanlah aku pergi. Sadiqah mengalami kecelakaan karena berusaha menyelamatkan Ruqayyah." Ucap Pak Salman berusaha membujuk ibunya.
"Apa ?" Tanya Nenek Pakizah terkejut.
"Iya, ibu. Sadiqah menyelamatkan Ruqayyah dari kecelakaan lalu lintas, tapi justru Sadiqah sendiri yang mengalami kecelakaan." Ucap Pak Salman.
"Baiklah, aku mengizinkanmu pergi tapi aku ikut denganmu." Ucap Nenek Pakizah.
Akhirnya Pak Salman, Nenek Pakizah, Bu Salamah, dan Nenek Sumayyah berangkat bersama ke rumah sakit dimana Sadiqah dirawat dengan menggunakan mobil Pak Salman. Pak Salman, dan Nenek Pakizah duduk di kursi depan, sementara Bu Salamah, dan Nenek Sumayyah duduk di kursi belakang. Sesampainya di rumah sakit mereka langsung menuju tempat administrasi rumah sakit.
"Adakah yang bisa saya bantu ?" Tanya resepsionis rumah sakit dengan ramah.
"Saya ingin mengunjungi putri saya, tapi saya tidak tahu di ruang mana dia dirawat." Jawab Bu Salamah.
"Siapa nama putri ibu ?" Tanya petugas resepsionis.
"Namanya Sadiqah." Jawab Bu Salamah.
Petugas resepsionis mengecek daftar pasien di rumah sakit tersebut di komputernya.
"Maaf, ibu tapi saya tidak menemukan pasien dengan nama tersebut. Nama anak ibu belum terdaftar di rumah sakit ini. Sebaiknya ibu menanyakan kembali kepada orang yang mengantarkan anak ibu ke rumah sakit dimana anak ibu tersebut dirawat, karena pasien-pasien yang memang membutuhkan perawatan segera biasanya langsung dibawa ke ruang perawatan tanpa harus melakukan pendaftaran terlebih dahulu. Ini adalah kebijakan di rumah sakit kami. Atau mungkin saja orang yang mengantarkan anak ibu ke rumah sakit masih belum selesai mengisi formulir pendaftarannya." Ucap petugas resepsionis.
"Terima kasih untuk bantuannya." Ucap Bu Salamah.
"Iya, sama-sama semoga anak ibu lekas sembuh." Ucap petugas resepsionis.
Baru saja, Bu Salamah, Nenek Sumayyah, Pak Salman, dan Nenek Pakizah berbalik untuk mencari keberadaan Ruqayyah, seorang perempuan sudah mengucapkan salam dari belakang mereka.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap seorang perempuan tersebut.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab orang islam yang mendengarnya termasuk Bu Salamah, Nenek Sumayyah, Pak Salman, dan Nenek Pakizah.
Bu Salamah, Nenek Sumayyah, Pak Salman, dan Nenek Pakizah menengok ke belakang ternyata Ruqayyah yang mengucapkan salam kepada mereka.
"Ruqayyah, di ruang mana Sadiqah dirawat ?" Tanya Bu Salamah.
"Bibi, Sadiqah dirawat di ruang nomor 404. Tapi sebelum bibi ke sana, tolong bantu aku mengisi formulir pendaftaran ini karena ada beberapa data diri Sadiqah yang tidak aku ketahui." Ucap Ruqayyah seraya menyerahkan formulir pendaftaran, dan pena yang dibawanya kepada Bu Salamah.
Bu Salamah menerima pena, dan formulir pendaftaran tersebut. Bu Salamah meninjau ulang formulir yang diberikan Ruqayyah. Semua kotak isian sudah diisi dengan benar, tapi ada satu kotak yang belum diisi yaitu nama ayah pasien atau nama ayah Sadiqah. Jangankan Ruqayyah, Sadiqah saja kebingungan menjawab pertanyaan seperti itu. Bu Salamah, tetap diam menatapi kertas formulir itu. Pak Salman sepertinya mengetahui kebingungan Bu Salamah.
"Berikan kertas formulir itu padaku." Ucap Pak Salman seraya merebut kertas formulir, dan pena dari tangan Bu Salamah begitu saja.
"Apa yang akan kau lakukan ?" Tanya Bu Salamah pada Pak Salman.
"Membantumu mengisi formulir ini." Jawab Pak Salman.
"Aku bisa mengisinya sendiri." Ucap Bu Salamah.
"Sudah menjadi kebiasaanmu, mengerjakan sesuatu dengan lambat saat engkau sedang bingung, dan sedih." Ucap Pak Salman kepada Bu Salamah seraya mengisi kotak isian yang masih kosong dalam formulir tersebut lalu menyerahkannya kepada petugas administrasi.
"Ini formulir pendaftarannya, bisakah kami ke ruang perawatan putri kami sekarang ?" Tanya Pak Salman kepada petugas administrasi rumah sakit.
"Iya silakan, tuan. Semoga putri kalian lekas sembuh." Ucap petugas administrasi.
Ruqayyah (19) POV
Setelah ayahku menyerahkan formulir pendaftaran kepada petugas administrasi kami bergegas ke ruang perawatan Sadiqah. Ayahku, Nenek Sumayyah, dan Bu Salamah berjalan di depan sedangkan aku, dan nenekku berjalan di belakang mereka. Perkataan-perkataan ayah sejak ayah ke rumah sakit ini benar-benar membuatku merasa tidak nyaman.
Flashback on :
"Sudah menjadi kebiasaanmu, mengerjakan sesuatu dengan lambat saat engkau sedang bingung, dan sedih." Ucap ayahku kepada bibi Salamah seakan-akan ayahku mengenalnya dengan begitu baik.
"Ini formulir pendaftarannya, bisakah kami ke ruang perawatan putri kami sekarang ?" Tanya ayahku kepada petugas administrasi rumah sakit seakan-akan Sadiqah adalah putrinya.
Flashback off
Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap ayahku yang tiba-tiba saja berubah beberapa hari terakhir ini. Ayahku jadi sering melamun, dan paling membuatku terheran-heran adalah ayahku jadi perhatian kepada keluarga Sadiqah seakan-akan mereka adalah keluarganya sendiri.
Flashback on :
Kemarin malam setelah, keluarga calon suamiku pulang, aku akan menyajikan segelas susu untuk ayahku. Karena pintu kamarnya terbuka, aku langsung memasuki kamar ayahku tanpa mengucapkan salam, membuat ayahku tidak tahu akan kehadiranku. Aku melihat ayahku melamun menatap keluar dari jendela kamarnya yang terbuka lebar. Aku meletakkan nampan susu di atas nakas lalu aku mendekati ayahku.
"Ayah, apa yang ayah pikirkan ?" Tanyaku kepada ayah.
Ayah menengok ke arahku.
"Ruqayyah, kapan kamu datang ?" Tanya ayahku.
"Baru saja ayah. Apakah ayah teringat istri ayah ?" Ucapku.
"Ayah teringat ibumu, Nak." Jawab ayah seakan-akan istrinya dan ibuku adalah dua orang yang berbeda.
"Itu sama saja ayah merindukan istri ayah, bukan ?" Tanyaku
Ayahku hanya tersenyum, tidak menjawab iya ataupun tidak.
"Apakah ayah selalu teringat ibuku ?" Tanyaku.
"Selalu. Ayah selalu teringat ibu dari anak-anak ayah." Jawab ayahku
"Tapi ayah, anak ayah hanya aku saja." Ucapku.
"Sebelum kelahiranmu, Bunda Jannat pernah kehilangan bayi di dalam kandungannya. Bayi itu adalah anakku, dan dia juga adalah saudaramu." Ucap ayahku.
"Maafkan aku ayah. Aku tidak bermaksud untuk mengingatkan ayah." Ucapku menyesali ucapanku sendiri.
"Kali ini, mengapa ayah teringat ibuku ?" Tanyaku setelah beberapa saat aku terdiam.
"Karena kamu akan menikah sebentar lagi tetapi dia belum menghabiskan banyak waktu bersamamu." Jawab ayah yang seolah ingin menegaskan kembali jika almarhumah istrinya dan ibuku adalah dua orang yang berbeda.
"Tapi ayah, kapan pun aku menikah, ibu tetap tidak akan bisa menghabiskan waktu bersamaku lebih lama lagi karena ibu telah tiada." Ucapku untuk menyangkal ucapan ayah.
Ayahku diam saja seolah-olah telah salah mengucapkan sesuatu.
"Baiklah mungkin ayah terlalu lelah sehingga menjadi tidak fokus. Sebaiknya ayah segera meminum susunya lalu istirahat. Aku sudah menaruhnya di atas nakas. Selamat malam, ayah." Ucapku seraya meninggalkan kamar ayahku, dan tak lupa menutup pintu.
Flashback off
Nenekku lebih aneh lagi. Aku merasa jika apa yang dikatakan oleh nenek tidak pernah sesuai dengan kenyataan di lapangan. Jika Bibi Salamah seperti yang dikatakan oleh nenek, lalu mengapa dia menyelamatkan aku waktu itu ? Mengapa dia mendidik anaknya Sadiqah untuk menjadi seseorang yang sangat baik bahkan Sadiqah mempertaruhkan nyawa demi orang lain seperti diriku ini ? Mengapa dia tidak menyalahkan aku sedikit pun atas kecelakaan yang menimpa anaknya ? Apakah nenekku telah menipuku selama ini ? Aku tidak tahu, dan aku tidak bisa menuduh begitu saja, tapi aku tahu baik ayahku ataupun nenekku sama-sama menyembunyikan sesuatu dariku. Sepertinya aku telah salah paham terhadap Bibi Salamah, Sadiqah, dan Nenek Sumayyah. Tidak seharusnya aku bersikap dingin, dan bersikap acuh tak acuh terhadap mereka yang sangat peduli kepadaku melebihi nenekku sendiri. Sebelumnya, aku selalu berdoa agar aku memiliki saudara seperti Sadiqah. Tapi saat Allah mengabulkan doaku dengan membukakan hati nenek Sumayyah sehingga mengizinkan Sadiqah berteman denganku, mengapa justru aku sendiri yang menolaknya. Itu tidak terjadi, melainkan setelah aku mendengar nenekku menceritakan banyak hal tentang Bibi Salamah, dan ibuku.
"Ruqayyah, mengapa dari tadi kamu diam saja ?" Tanya nenekku yang berjalan di sampingku sedari tadi.
"Apa yang harus dibicarakan nenek. Saat ini kesembuhan Sadiqah adalah lebih penting." Ucapku.
Akhirnya kami sampai di ruang perawatan Sadiqah. Tidak lama kemudian dokter perempuan keluar dari ruang perawatan Sadiqah.
"Bagaimana keadaan putri saya, dokter ?" Tanya Bu Salamah.
"Apakah Anda ibunya ?" Tanya dokter.
"Iya, saya ibunya." Jawab Bu Salamah.
"Putri Anda belum sadar. Perdarahannya cukup banyak dan dia membutuhkan donor darah secepatnya karena persediaan darah di bank darah sudah habis. Golongan darahnya adalah AB negatif. Golongan darah ini cukup langka sebenarnya." Ucap dokter.
"Saya bersedia mendonorkan darah untuk anak saya, dokter." Ucap Bu Salamah.
"Saya juga bersedia, dokter." Ucap Pak Salman.
"Tuan, nyonya silakan datang ke ruang pemeriksaan untuk melakukan serangkaian tes sebelum memberikan donor darah. Di sana sudah ada dr. Syahida, dan dr. Faadhil agar pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat tanpa harus mengantre. Saya permisi, karena ada pasien lain yang harus saya tangani." Ucap dokter perempuan itu.
Bibi Salamah, dan ayahku pergi ke ruang pemeriksaan untuk menjalani tes. Nenek Sumayyah juga pergi bersama Bibi Salamah. Hanya tersisa aku, dan nenekku di depan ruang perawatan Sadiqah. Nenekku terlihat sangat khawatir, dan ia terus-menerus berjalan maju dan mundur. Entah apa yang membuat nenekku begitu khawatir, aku tidak tahu.
"Mengapa kamu ceroboh sekali, Ruqayyah ? Ini sudah kedua kalinya kamu hampir mengalami kecelakaan. Karena merasa berhutang budi, ayahmu rela mendonorkan darahnya untuk anak dari musuhku. Apakah kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri, sehingga harus merepotkan orang lain ? Semoga saja golongan darah ayahmu tidak cocok dengan golongan darah anak itu. Karena aku tidak mau darah putraku mengalir di nadinya." Ucap nenekku.
"Astagfirullah hal adziim. Apa yang nenek katakan ? Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam (HR Bukhari dan Muslim). Janganlah kamu sekalian saling mendengki, saling menipu, saling memarahi dan saling membenci. Muslim yang satu adalah bersaudara dengan muslim yang lain. Oleh karena itu, ia tidak boleh menganiaya, membiarkan, dan menghinanya. Takwa itu ada di sini [Rasul menunjuk dadanya tiga kali]. Seseorang itu cukup dianggap jahat bila ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim yang satu terhadap muslim yang lain itu haram mengganggu darahnya, hartanya, dan kehormatannya (HR Muslim). Aku akan bertobat kepada Allah, dan meminta maaf kepada keluarga mereka. Nenek pun juga begitu, sebaiknya nenek bertobat, dan meminta maaf kepada keluarga mereka. Tidak seharusnya kita bermusuhan dengan saudara seiman. Aku permisi." Ucapku.
"Kau akan ke mana Ruqayyah ?" Tanya nenek.
"Aku akan ke tempat shalat." Jawabku.
"Apakah kamu ingat, kamu ada di mana ? Ini bukan rumahmu, Ruqayyah. Ini rumah sakit umum di India. Kau tidak akan menemukan tempat shalat, kau justru akan menemukan tempat pemujaan. Jadi tetaplah di sini. Berdoalah dari sini saja. Lagi pula sekarang belum waktunya untuk shalat fardu." Ucap nenek mengingatkan.
"Maafkan aku, nenek. Aku lupa. Terima kasih sudah mengingatkanku." Ucapku pasrah.
Aku, dan nenekku akhirnya duduk di kursi tunggu sambil menunggu ayahku, Bibi Salamah, dan Nenek Sumayyah kembali dari ruang pemeriksaan. 30 menit kemudian mereka kembali dari ruang pemeriksaan. Mereka kembali lebih cepat dari apa yang aku kira.
"Ayah, apakah kalian sudah selesai melakukan pemeriksaan ?" Tanyaku.
"Kami sudah melakukan tes berat badan, tes suhu badan, tes denyut nadi, tes tekanan darah, tes golongan darah, tetapi belum melakukan tes kadar hemoglobin. Kami hanya akan melakukan tes kadar hemoglobin setelah dokter memastikan jika golongan darah kami cocok dengan golongan darah Sadiqah." Jawab ayahku.
"Semoga Sadiqah segera mendapatkan donor darahnya." Ucapku.
Tak lama kemudian dokter perempuan yang menangani Sadiqah mendekat ke arah kami. Aku pikir dokter itu akan masuk ke ruang perawatan Sadiqah, tetapi dia berhenti untuk berbicara dengan kami karena ada hal penting yang ingin disampaikannya.
"Tuan, nyonya kita harus mencari calon pendonor lain karena di antara kalian tidak ada yang bisa mendonorkan darahnya untuk Sadiqah." Ucap dokter.
"Bagaimana itu bisa, dokter ?" Tanya Bibi Salamah.
"Dr. Faadhil, dan dr. Syahida telah melakukan pemeriksaan berulang-ulang, tetapi hasilnya tetap sama, di antara kalian tidak ada yang bisa mendonorkan darahnya untuk Sadiqah. Jika kalian mendonorkan darah untuk Sadiqah justru akan membahayakan nyawanya. Kita harus segera mencari calon pendonor darah baru. Itu saja yang bisa saya sampaikan, saya permisi." Ucap dokter seraya pergi dengan sedikit tergesa.
"Aku akan pergi sebentar." Ucap Bibi Salamah.
"Aku juga akan pergi, jika dokter memberikan kabar terbaru, tolong beritahu kami." Ucap ayahku.
Akhirnya ayahku, dan Bibi Salamah pergi ke arah yang berlawanan. Ayahku pergi ke arah kanan, sedangkan Bibi Salamah pergi ke arah kiri. Setelah itu, aku bangkit dari tempat dudukku.
"Ruqayyah, apa yang akan kamu lakukan ?" Tanya nenekku.
"Aku akan menemui dokter yang menangani Sadiqah. Aku bersedia mendonorkan darahku untuk Sadiqah." Jawabku.
"Terima kasih, Nak. Semoga golongan darah kalian cocok sehingga Sadiqah segera mendapatkan donor darahnya." Ucap Nenek Sumayyah.
"Iya, nek. Aku permisi." Ucapku seraya berjalan menuju ruangan dr. Sia yang menangani, dan merawat Sadiqah.
Setelah aku tinggal beberapa langkah lagi menuju ruangan dr. Sia, aku melihat ayahku, dan Bibi Salamah berbicara dengan dr. Sia di muka pintu.
"Dokter mengapa kami tidak bisa mendonorkan darah untuk Sadiqah ?" Tanya ayahku.
"Golongan darah AB negatif hanya dapat menerima transfusi darah dari seseorang yang memiliki golongan darah A negatif, B negatif, O negatif, dan AB negatif. Sementara golongan darah tuan adalah A positif, sedangkan golongan darah nyonya adalah B positif." Jawab dr. Sia.
"Bagaimana bisa seorang anak mempunyai golongan darah yang berbeda dari kedua orang tuanya ?" Tanya ayahku lagi.
Itu berarti ayahku memang mempunyai hubungan dengan Bibi Salamah di masa lalu, sehingga ayahku menganggap Sadiqah sebagai anaknya sendiri. Aku rasanya ingin jatuh saja saat itu juga, air mataku tidak bisa kubendung, tapi aku harus tetap kuat untuk mendengarkan penjelasan dari dr. Sia.
"Jika dua orang yang memiliki golongan darah A dan B menikah, maka anak-anaknya dapat memiliki golongan darah A, B, O, ataupun AB. Meskipun kedua orang tuanya memiliki golongan darah resus positif, anaknya dapat memiliki golongan darah resus negatif dikarenakan orang tuanya bisa saja memiliki gen resus negatif yang dapat diturunkan kepada sang anak." Jawab dr. Sia.
Apa yang dikatakan oleh dr. Sia itu sangat sesuai dengan penjelasan dari dosenku.
Flashback on :
"Jika dua orang yang memiliki golongan darah A, dan B menikah maka anak-anaknya dapat memiliki golongan darah A, B, O, ataupun AB." Ucap Bu Sridevi saat beliau mengajarkan materi genetika yang berhubungan erat dengan pewarisan sifat dari orang tua kepada anaknya.
"Meskipun kedua orang tuanya memiliki golongan darah resus positif, anaknya dapat memiliki golongan darah resus negatif dikarenakan orang tuanya bisa saja memiliki gen resus negatif yang dapat diturunkan kepada sang anak. Pernah ada kasus orang tua tidak bisa mendonorkan darahnya untuk anaknya sendiri dikarenakan perbedaan resus mereka dengan anaknya." Lanjut Bu Sridevi.
Flashback off
Dan kasus yang diceritakan oleh dosenku, terpampang nyata di depan mataku saat ini. Setelah menjawab semua pertanyaan dari ayahku, dan Bibi Salamah, dr. Sia masuk ke ruangannya. Setelah itu ayahku, dan Bibi Salamah berjalan beriringan layaknya suami istri yang sangat serasi di mana saat ini mereka sedang sangat mengkhawatirkan anak mereka. Mungkin dunia mencatat mereka hanya sebagai mantan, tetapi itu tidak benar-benar memutuskan hubungan di antara mereka, karena mereka tetaplah terikat hubungan sesama orang tua dari seorang anak yaitu Sadiqah. Apakah aku memang ditakdirkan untuk mengetahui semua ini ? Aku menyeka air mataku yang terus saja bercucuran. Seseorang yang bahkan dibohongi oleh keluarganya sendiri selama bertahun-tahun, harus percaya kepada siapa lagi sekarang ? Aku berusaha membendung perasaanku, dan membuktikan kesungguhan niatku untuk mendonorkan darahku untuk Sadiqah. Aku berjalan perlahan namun pasti menuju ruangan dr. Sia setelah aku yakin ayahku, dan Bibi Salamah benar-benar telah pergi dari ruangan dr. Sia.
Aku mengetuk pintu ruangan dr. Sia dengan kukuku sebanyak tiga kali. Karena memang demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah, dan para salafus shalih. Tentu saja tujuannya agar bunyi ketukan pintu tidak terlalu keras, dan mengganggu tuan rumah.
"Permisi, bolehkah saya masuk ?" Tanyaku.
Dr. Sia membukakan pintu untukku. Aku belum pernah menjumpai dokter yang sangat ramah seperti dr. Sia. Dokter-dokter lain pasti akan tetap duduk, dan meminta tamunya untuk membuka pintu sendiri, sementara dr. Sia bersedia bangkit dari tempat duduknya untuk membukakan pintu bagi tamunya.
"Silakan masuk." Ucap dr. Sia ramah.
Aku mengikuti dr. Sia, dan memasuki ruangan pribadi dr. Sia yang didominasi warna putih.
"Silakan duduk." Ucap dr. Sia mengizinkanku duduk di sebuah bangku yang berhadapan dengan meja kerjanya.
Aku pun duduk di bangku yang telah disediakan untuk tamu. Dr. Sia juga duduk di bangkunya.
"Ada yang bisa saya bantu ?" Tanya dr. Sia.
"Nama saya Ruqayyah binti Salman. Saya ingin mendonorkan darah saya untuk pasien dokter yang bernama Sadiqah." Jawabku.
"Apakah kamu saudaranya Sadiqah ? Kalian mempunyai nama ayah yang sama." Ucap dr. Sia.
Jadi itu yang tadi dilakukan ayahku setelah merebut formulir pendaftaran dari tangan Bibi Salamah, yaitu menuliskan namanya di kotak isian nama ayah Sadiqah. Dengan bangganya di depan dokter, dan seluruh staf rumah sakit ini, ayahku menyebut Sadiqah sebagai putrinya sendiri. Tetapi ayah tidak berani, dan tidak pernah sekalipun mengatakannya kepadaku putrinya sendiri. Sampai-sampai aku harus mengetahui kebenaran jika Sadiqah adalah saudaraku secara diam-diam. Mengapa ayah, apakah sesulit itu untuk menyatakan kebenarannya kepada putrimu sendiri ? Aku pun mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan dari dr. Sia.
"Ruqayyah, silakan isi formulir data diri berikut." Ucap dr. Sia seraya memberikan sebuah formulir, dan pena kepadaku.
Aku menerima formulir tersebut lalu mengisi semua kotak isian yang tertera di formulir tersebut.
"Dokter, saya sudah selesai mengisi formulirnya. Apa lagi yang harus saya lakukan ?" Tanyaku.
"Saya akan mengantarmu kepada dr. Syahida. Beliau yang akan mengecek golongan darahmu, Ruqayyah. Tolong ikuti saya." Ucap dr. Sia.
Aku mengikuti langkah dr. Sia. Ternyata ruang kerja dr. Sia, dr. Syahida, dan dr. Faadhil berada dalam suatu ruangan dan hanya dipisahkan oleh tirai. Ruang kerja dr. Sia adalah yang paling luas, dan paling dekat dengan pintu.
"Dr. Syahida, ada seorang tamu yang bersedia mendonorkan darahnya untuk pasienku yang bernama Sadiqah. Tolong cek golongan darahnya karena saya harus kembali merawat pasien-pasien ku." Ucap dr. Sia.
"Tentu saja dr. Sia, saya akan membantumu. Selamat bekerja kembali dr. Sia." Ucap dr. Syahida.
"Terima kasih dr. Syahida. Saya pamit undur diri." Ucap dr. Sia seraya meninggalkan aku bersama dr. Syahida.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucapku kepada dr. Syahida yang juga seorang muslimah.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Silakan duduk." Ucap dr. Syahida mengizinkanku duduk di sebuah bangku yang berhadapan dengan meja kerjanya.
Aku pun duduk di bangku yang telah disediakan untuk tamu.
"Tolong berikan formulir data dirinya." Ucap dr. Syahida dengan tersenyum penuh keramahan.
Aku pun menyerahkan formulir data diri yang sedari tadi aku bawa. Dr. Syahida menerima formulir tersebut lalu membacanya dengan saksama. Setelah itu dr. Syahida menyimpan formulir tersebut dalam sebuah map.
"Ruqayyah, sebelum mendonorkan darah, kamu harus melewati serangkaian tes terlebih dahulu. Yaitu tes berat badan, tes suhu badan, tes denyut nadi, tes tekanan darah, tes golongan darah, dan tes kadar hemoglobin." Ucap dr. Syahida.
"Iya, dokter. Saya mengerti." Ucapku.
"Ruqayyah, tolong naiklah di atas timbangan." Ucap dr. Syahida.
Aku pun naik di atas timbangan
"Berat badanmu 45 kg, sudah memenuhi berat badan minimal untuk mendonorkan darah." Ucap dr. Syahida.
Aku pun turun dari atas timbangan.
Dr. Syahida mengambil termometer dahi, lalu mendekat ke arahku.
"Tolong tetap berdiri di situ ya, saya akan mengukur suhu badanmu." Ucap dr. Syahida mencegahku untuk berjalan.
Dr. Syahida menempelkan termometer dahi ke dahiku.
"Suhu badanmu 36,5. Sudah memenuhi suhu badan minimal untuk mendonorkan darah. Silakan duduk kembali." Ucap dr. Syahida.
Aku pun berjalan mendekati kursi, dan kembali duduk di bangkuku. Sementara itu, dr. Syahida mengembalikan termometer dahi ke tempatnya semula di laci mejanya.
"Sekarang saya akan menghitung denyut nadimu. Tolong, singsing kan lengan bajumu sedikit sebatas pergelangan tangan." Ucap dr. Syahida.
Aku pun menyingsingkan lengan bajuku yang sebelah kiri seperti ucapan dr. Syahida. Lalu aku memosisikan telapak tanganku ke atas. Setelah itu, dr. Syahida merapatkan jari telunjuk tangan kanannya dengan jari tengah tangan kanannya, dan meletakkan kedua jarinya di atas pergelangan tanganku sejajar dengan ibu jariku. Setelah dr. Syahida menemukan denyut nadiku, dr. Syahida menghitungnya selama satu menit.
"Denyut jantungmu 90 kali per menit, sudah memenuhi persyaratan untuk mendonorkan darah." Ucap dr. Syahida.
"Selanjutnya, saya akan mengukur tekanan darahmu. Tolong posisikan lenganmu sedekat mungkin dengan jantung, agar hasilnya lebih akurat." Ucap dr. Syahida.
Dr. Syahida menyiapkan beberapa peralatan medis yaitu stetoskop, manset tekanan darah, dan monitor aneroid. Setelah itu, dr. Syahida memasangkan manset pada lengan atasku hingga menekan otot biseps ku. Setelah itu, dr. Syahida menekan balon pada tensi meter, sehingga tekanan yang kurasakan pada lenganku semakin kuat. Setelah itu, secara perlahan-lahan dr. Syahida mengempiskan balon pada tensi meter, dan mendengarkan suara detak jantungku dengan stetoskop. Dr. Syahida mencatat angka yang tertera pada monitor aneroid saat detak jantungku pertama kali terdengar pada stetoskop. Ini disebut tekanan sistolik. Dr. Syahida juga mencatat angka yang tertera pada monitor aneroid saat detak jantungku tidak lagi terdengar melalui stetoskop. Ini disebut tekanan diastolik.
"Ruqayyah, tekanan darahmu 120/85. Sudah memenuhi persyaratan untuk mendonorkan darah." Ucap dr. Syahida.
"Ruqayyah, apakah kamu sudah pernah melakukan tes untuk mengetahui golongan darahmu ?" Tanya dr. Syahida setelah beberapa saat terdiam.
"Sudah pernah, dokter." Jawabku jujur.
"Jika begitu, ini bukanlah pengalaman pertamamu. Tapi kami akan tetap memeriksa golongan darahmu kembali." Ucap dr. Syahida seraya menuju sebuah meja di sudut ruangan yang dipenuhi peralatan medis.
Dr. Syahida menggunakan sarung tangan khas seorang dokter. Lalu membawa beberapa peralatan medis tersebut ke mejanya. Peralatan medis yang dibawa dr. Syahida itu adalah autoclick, lancet, slide, reagen antibodi A, reagen antibodi B, antibodi Rh, dan kapas alkohol.
"Pada pengujian sebelumnya, apa golongan darahmu Ruqayyah ?" Tanya dr. Syahida.
"Golongan darah saya AB. Tapi saya tidak tahu apakah AB positif atau AB negatif. Sedangkan setahu saya seseorang yang memiliki golongan darah dengan resus positif tidak dapat mendonorkan darahnya untuk seseorang yang memiliki golongan darah dengan resus negatif." Ucapku.
"Iya, kamu benar. Kita akan mengujinya sekarang. Tolong berikan tanganmu." Ucap dr. Syahida.
Aku memberikan tangan kananku kepada dr. Syahida. Setelah itu, dr. Syahida membersihkan jariku yang akan ditusuk dengan kapas alkohol. Tujuannya agar tidak terjadi infeksi pada bagian yang dilukai. Setelah jariku benar-benar bersih, dr. Syahida mengambil darah kapilerku dengan cara menusukkan autoclick di jariku. Darah pertama yang keluar dari jariku akan dibersihkan. Lalu darah yang kedua akan digunakan untuk pengujian. Dr. Syahida meletakkan darahku pada objek gelas pada bagian kiri, tengah, dan kanan. Setelah itu, dr. Syahida memberikan plester pada jariku yang berdarah.
"Sesi pengambilan darah sudah selesai dilakukan, kamu ingin menunggu hasilnya atau ingin melihat kondisi Sadiqah dulu ?" Tanya dr. Syahida memberikan pilihan kepadaku.
"Saya ingin menunggu hasilnya, dokter." Jawabku.
Itu artinya tadi ayahku, dan Bibi Salamah juga diberi pilihan yang sama sepertiku. Tapi mereka memilih untuk melihat kondisi Sadiqah dulu daripada menunggu hasil tes golongan darah mereka. Padahal sebenarnya hasil tes golongan darah dapat keluar dalam beberapa menit saja, jika mereka lebih sabar untuk menunggu. Akhirnya dr. Sia memberitahu kami jika ayahku, dan Bibi Salamah tidak memiliki golongan darah yang cocok dengan Sadiqah, sehingga mereka berdua tidak perlu mengikuti tes lanjutan yaitu tes kadar hemoglobin.
Dr. Syahida meneteskan reagen anti A pada darah bagian kiri lalu meneteskan reagen anti B pada darah bagian kanan. Kedua darahku sama-sama hancur setelah diberi reagen A maupun reagen B, itu artinya golongan darahku AB. Selanjutnya dr. Syahida meneteskan antibodi Rh pada darah yang di tengah, dan hasilnya darahku tidak hancur. Kesimpulannya golongan darahku adalah ...
"AB negatif..." Gumamku lirih.
"Iya, kamu benar. Golongan darahmu sama dengan Sadiqah. Kamu memiliki peluang untuk mendonorkan darahmu untuk Sadiqah." Ucap dr. Syahida.
Dr. Syahida mengambil kapas alkohol, alat suntik, dan perban elastis.
"Ruqayyah ini adalah tes terakhir yang harus kamu lewati. Pada tes ini saya akan mengambil darahmu untuk mengetahui kadar hemoglobin dalam darahmu, dan untuk mengetahui apakah kamu benar-benar dalam keadaan sehat saat ini. Jadi persiapkan dirimu, karena ini akan sedikit menyakitkan." Ucap dr. Syahida.
"Izinkan saya mengangkat salah satu lengan bajumu ke atas. Tenang saja, tidak akan ada yang melihatmu." Ucap dr. Syahida sebelum dia mengangkat lengan bajuku ke atas.
"Dokter, tadi Anda sudah mengambil darahku saat menguji golongan darah saya. Mengapa sekarang Anda mengambil darah saya lagi ? Mengapa pengambilan darah tidak dilakukan cukup sekali saja ?" Tanyaku dikarenakan ketidaktahuanku.
"Bagaimana jika ternyata golongan darahmu tidak cocok dengan pasien, maka saya sudah terlalu banyak mengambil darahmu hanya untuk menguji kadar hemoglobin dalam darahmu. Karena itu, setelah saya memastikan jika golongan darahmu cocok dengan pasien, barulah saya akan mengambil lebih banyak darah untuk mengetahui kadar hemoglobin dalam darahmu." Jawab dr. Syahida.
Setelah itu, dr. Syahida membersihkan bagian tangan yang akan disuntik dengan kapas alkohol tujuannya untuk mencegah infeksi pada bagian yang dilukai. Setelah itu, dr. Syahida mengikat lengan atasku dengan perban elastis agar aliran darah pada lengan dapat terkumpul. Dr. Syahida menyuntikkan jarum ke pembuluh darahku untuk mengambil darahku. Setelah itu, dr. Syahida melepaskan ikatan pada lengan atasku, darahku akan secara otomatis masuk ke dalam tabung. Ketika jumlah darah yang diambil sudah cukup, dr. Syahida melepaskan suntikannya. Lalu dr. Syahida menutupi bagian tanganku yang disuntik dengan perban.
"Semua tesnya sudah selesai, Ruqayyah. Kamu boleh kembali untuk melihat kondisi Sadiqah. Saya juga akan membawa sampel darahmu ke laboratorium. Dr. Sia yang akan memberitahu, apakah kamu bisa mendonorkan darahmu atau tidak. Selain itu, beliau juga akan mempersiapkan proses transfusi darahmu nanti. Tugas saya hanya melakukan pengecekan saja." Ucap dr. Syahida.
"Terima kasih dokter." Ucapku.
"Sama-sama, Ruqayyah." Ucap dr. Syahida.
"Saya pamit undur diri, dokter. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucapku sebelum pergi.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab dr. Syahida.
Setelah itu, aku pergi meninggalkan ruangan dr. Syahida. Saat aku melewati ruangan dr. Sia, aku tidak menjumpai siapa pun. Dr. Sia pasti masih sibuk menangani pasien-pasiennya. Aku langsung saja keluar dari ruangan dr. Sia dengan membuka pintunya sendiri. Aku berjalan menuju ruang perawatan Sadiqah di kamar no 404. Saat aku melewati kamar no 403, aku melihat dr. Sia sedang melakukan operasi pada salah satu pasiennya, dengan dibantu oleh dokter spesialis lainnya. Seorang dokter sepertinya sibuk sekali, lihatlah dr. Sia setelah melakukan operasi pada salah satu pasiennya, dia juga harus mempersiapkan proses transfusi darah untuk pasien yang lain. Dan bahkan mungkin ada banyak pasien-pasien lain yang mengantre untuk melakukan medical cek up, sementara pasien baru juga tidak henti-hentinya berdatangan. Ini adalah hiruk pikuk kehidupan di sebuah rumah sakit yang penuh dengan kesibukan. Semoga amal jariyah para tenaga medis ini diterima di sisi Allah. Hanya umat Islam saja yang amalnya diterima di sisi Allah.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلٰمُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِئَايٰتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
innad-diina 'indallohil-islaam, wa makhtalafallaziina uutul-kitaaba illaa mim ba'di maa jaaa`ahumul-'ilmu baghyam bainahum, wa may yakfur bi`aayaatillaahi fa innalloha sarii'ul-hisaab
"Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 19)
Itu artinya hanya ada 2 dokter di rumah sakit ini yang amalnya diterima oleh Allah, dan berhak mendapatkan balasan di akhirat nanti. Kedua dokter tersebut adalah dr. Faadhil, dan dr. Syahida. Lalu bagaimana dengan dokter-dokter yang lain yang juga begitu banyak melakukan kebaikan, dan menyelamatkan nyawa orang lain ? Mereka hanya akan mendapatkan balasan amal baiknya di dunia bukan di akhirat. Aku meneruskan perjalananku lalu aku duduk di kursi tunggu pasien yang terletak di depan ruang perawatan Sadiqah. Di sana Bibi Salamah, ayahku, Nenek Sumayyah, dan nenekku sudah duduk menunggu dengan begitu cemas.
"Bagaimana hasil pemeriksaannya Ruqayyah ?" Tanya Bibi Salamah.
"Bibi, aku mempunyai golongan darah yang sama seperti Sadiqah. Aku mempunyai peluang untuk mendonorkan darahku untuk Sadiqah. Sebaiknya kita semua berdoa agar Sadiqah cepat sembuh." Ucapku.
Kami semua menundukkan kepala merendahkan diri di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa Allah SWT untuk berdoa demi kesembuhan seseorang yang kami sayangi, Sadiqah. 30 menit kemudian, dr. Sia mendekat ke arah kami dengan seragam dokter biasa bukan seragam operasi. Itu artinya dr. Sia sudah selesai melakukan operasi terhadap pasiennya. Dr. Sia datang bersama 2 perawat perempuan yang menjadi asistennya.
"Apakah kamu sudah siap Ruqayyah ?" Tanya dr. Sia secara tiba-tiba membuatku terkejut.
"Siap untuk apa, dokter ?" Tanyaku.
"Ruqayyah, kadar hemoglobin dalam darahmu 13 gram per desiliter. Kamu sudah memenuhi semua persyaratan untuk mendonorkan darahmu untuk Sadiqah. Apakah kamu sudah siap untuk melakukan transfusi darah sekarang ?" Ucap dr. Sia.
"Sudah dokter." Jawabku.
"Sekarang, tolong ikuti saya." Ucap dr. Sia.
Dr. Sia membuka pintu kamar no 404, lalu dr. Sia, dan dua perawat yang menjadi asistennya masuk ke ruang perawatan Sadiqah itu. Aku mengikuti langkah mereka dari belakang. Saat aku memasuki ruangan itu, aku melihat ada satu tempat tidur kosong di samping tempat tidur Sadiqah. Aku dapat menebak jika tempat tidur itu akan menjadi tempat tidurku setidaknya selama 4 jam ke depan.
"Ruqayyah, berbaringlah di tempat tidur ini." Ucap dr. Sia memintaku tiduran di tempat tidur di samping tempat tidur Sadiqah sesuai perkiraan ku.
Aku pun melakukan perintah dari dr. Sia.