Setelah itu, dr. Sia, dan seorang perawat yang membawa peralatan medis mendekatiku. Dr. Sia menyingsingkan lengan bajuku, sehingga auratku terbuka, untungnya hanya ada perempuan di ruangan ini. Setelah itu, perawat memberikan jarum suntik kepada dr. Sia. Selanjutnya dr. Sia menyuntikkan jarum ke pembuluh darah di sekitar lenganku. Jarum yang masuk ke pembuluh darah lalu dihubungkan dengan kateter atau selang tipis yang tersambung pada pembuluh darah pasien penerima. Pada saat itu aku tidak henti-hentinya menatap ke samping, untuk melihat kondisi Sadiqah. Terakhir kali aku melihatnya, terjadi pendarahan di kepalanya. Dan sekarang noda-noda darah itu sudah bersih, bahkan lukanya sudah dibalut dengan perban. Pakaian Sadiqah juga sudah diganti dengan pakaian khas seorang pasien rumah sakit. Pada 15 menit awal transfusi darah, kondisi pasien yang menerima transfusi akan terus dipantau oleh perawat untuk memastikan pasien yang menerima transfusi tidak mengalami reaksi alergi. Bila gejala-gejala reaksi alergi seperti demam, atau sesak napas terjadi, prosedur transfusi darah akan segera dihentikan. Setiap 30 menit, perawat memeriksa suhu tubuh, denyut nadi, dan frekuensi napas Sadiqah. Setelah satu jam transfusi berjalan Sadiqah tidak menunjukkan reaksi alergi, dr. Sia mempercepat proses transfusi darah. Transfusi darah berlangsung selama 4 jam, setelah transfusi darah selesai, dr. Sia melepaskan selang yang sebelumnya dimasukkan ke pembuluh darahku. Setelah itu, dr. Sia mengobati luka bekas suntikan di tanganku. Dr. Sia memeriksa kondisi vital Sadiqah setelah transfusi darah, mulai dari denyut jantung, tekanan darah, hingga suhu badan. Setelah memeriksa kondisi Sadiqah, dr. Sia keluar dari ruangan. Aku berjalan menghampiri tempat tidur Sadiqah. Sadiqah masih saja belum sadar.
"As'alu l-lâha-l-’azîma, rabba-l-’arshi-l-’azîmi, an yashfiyaka.
Aku mohon kepada Allah yang Maha Mulia pemilik ‘Arasy Yang Agung, agar Dia menyembuhkanmu.
“Lâ ba'sa, tahûrun in shâ'a l-lâhu
Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membuat dosamu bersih, Insya Allah.
Allahumma rabba an-nasi adhibi al-ba'ssa wa ishfi anta as-shafi la shifâ'a illa shifâ'uka, shifâ'an la yughadiru saqaman.
Ya Allah, Tuhan Pemelihara Manusia, hilangkan bahaya (kejahatan dan penyakit), sembuhkanlah karena hanya Engkaulah yang bisa menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak meninggalkan satu penyakit pun." Doaku untuk Sadiqah.
Jam dinding menunjukkan pukul 13.52, aku sudah terlambat melakukan shalat zuhur selama satu jam. Seorang perawat datang membawa nampan makanan. Perawat itu meletakkan nampan berisi semangkuk sup bayam dan sayur kacang, segelas susu, dan sebuah pisang di atas nakas di samping tempat tidurku.
"Suster, bolehkah saya keluar dari ruangan ini sekarang ?" Tanyaku kepada perawat itu.
"Boleh, tetapi setelah kamu memakan makanan ini." Jawab perawat itu.
"Itu artinya saya tidak akan keluar dari ruangan ini hingga matahari terbenam." Ucapku.
"Apakah kamu tidak menyukai makanannya ?" Tanya perawat itu lagi.
"Bukan seperti itu, suster. Saya ini sedang berpuasa, saya akan berbuka saat matahari terbenam. Tolong jangan meminta saya memakan makanan itu sekarang karena saya masih kuat untuk melanjutkan puasa saya." Ucapku lalu bangkit dari tempat tidur.
"Sekarang saya ingin keluar untuk mencari udara segar. Saya permisi." Ucapku pada perawat itu seraya meninggalkan kamar no 404 begitu saja.
Di luar, aku melihat anggota keluargaku, dan anggota keluarga Sadiqah menunggu kami dengan sabar. Bahkan kakekku juga datang ke rumah sakit.
"Apakah Sadiqah sudah sadar ?" Tanya Bibi Salamah.
"Transfusi darahnya berjalan dengan lancar tetapi Sadiqah masih belum sadar, bibi." Jawabku.
"Terima kasih, Ruqayyah." Ucap Bibi Salamah.
"Sama-sama." Jawabku.
Bibi Salamah akan memelukku.
"Jangan memelukku dulu Bibi Salamah. Saya baru saja tidur di tempat tidur rumah sakit yang tentunya banyak kumannya." Ucapku sebelum Bibi Salamah memelukku.
Bibi Salamah tidak jadi memelukku. Aku mendekat ke arah nenek, dan kakekku.
"Kakek, tolong antarkan aku pulang. Aku ingin pulang sekarang." Pintaku pada kakekku.
"Ya, Ruqayyah. Tidak baik jika kita terus berada di sini." Ucap nenekku.
Aku, nenek, dan kakekku berjalan untuk pulang sementara ayahku tetap tidak bergeming dari posisinya.
"Salman, kau ini ingin ikut pulang atau tidak ?" Tanya nenekku, pada ayahku.
Ayahku tidak menjawab apa pun, bahkan sepertinya ayahku tidak mendengar pertanyaan dari nenekku. Sepertinya rasa khawatirnya, membuat ayahku tidak memahami kondisi di sekitarnya.
"Sudahlah nenek. Biarkan saja jika ayah ingin tetap berada di sini. Kita harus segera pulang, karena aku ingin segera beristirahat." Ucapku.
Akhirnya aku, nenekku, dan kakekku pulang ke rumah. Sementara ayahku tetap berada di rumah sakit.
***
Setelah pulang dari rumah sakit, aku langsung mandi, dan mencuci bajuku di mesin cuci. Setelah itu, aku langsung bersiap untuk shalat zuhur. Aku mengangkat tanganku sejajar telingaku pada saat takbiratul ihram. Setelah itu aku melipat kedua tanganku di atas dadaku, dengan tangan kananku berada di atas tangan kiriku. Aku pun membaca doa iftitah, surah Al Fatihah, dan surah Al Adiyat. Di tengah-tengah bacaanku, tiba-tiba saja aku merasa pusing. Setelah itu aku rukuk dengan menggunakan sisa tenagaku. Pandanganku kabur, dan aku pun terjatuh, dan setelah itu aku tidak mengingat apa pun lagi.
.
.
.
Saat aku membuka mataku untuk pertama kali, aku melihat nenek, dan kakekku di sebelah kanan kiriku. Dan aku sudah berada di atas tempat tidur, padahal terakhir kali aku sedang berada di atas sajadah yang aku gelar di lantai kamarku. Bahkan aku masih menggunakan mukenaku. Aku mencoba untuk bangkit, dan berdiri untuk melanjutkan shalat ku.
"Apa yang kamu lakukan Ruqayyah ?" Tanya nenek.
"Aku belum shalat zuhur, nek." Jawabku.
"Kamu minum dulu susu ini. Baru engkau shalat." Ucap nenek seraya mengambil segelas susu di atas nakas, dan mendekatkannya ke mulutku.
"Aku sedang berpuasa, nenek." Ucapku sambil menolak gelas susu itu dengan tanganku.
"Kamu memilih untuk membatalkan puasamu atau tidak melaksanakan shalat karena terus menerus pingsan ?" Ucap kakekku.
Sebenarnya aku ingin menolak, namun apa yang dikatakan oleh kakek ada benarnya. Akhirnya aku mengambil gelas susu dari tangan nenekku, lalu meminum susunya. Setelah itu, aku turun dari tempat tidur dan melepas mukenaku. Aku bergegas ke tempat wudu untuk berwudu karena wuduku sudah batal. Setelah berwudu, aku kembali ke kamarku. Nenek, dan kakekku sudah tidak berada di kamarku. Aku pun menggelar sajadah di lantai, lalu memakai mukenaku. Lalu aku menghadapkan tubuhku ke kiblat. Aku pun melakukan shalat dimulai dari takbiratul ihram hingga salam. Setelah merapikan mukena, dan sajadahku, aku langsung berbaring di tempat tidur tanpa berdoa, atau membaca Al Quran setelah shalat, karena rasanya tubuhku ini meminta untuk diistirahatkan segera. Baru beberapa menit aku melelapkan netraku, aku merasa ada seseorang yang mengguncang bahuku. Aku pun terbangun, dan melihat ke arah orang tersebut.
"Ada apa nenek ?" Tanyaku pada orang yang membangunkanku.
"Nenek membawakan roti, palak paneer, dal, chana masala dan air putih untukmu. Kamu harus memakannya agar kamu tidak lemas setelah mendonorkan darah." Ucap nenek yang memang membawa nampan makanan.
"Terima kasih, nek." Ucapku.
Nenek menaruh makanan tersebut di atas meja di dekat tempat tidurku. Meja itu memang sengaja ditaruh di kamarku, kalau-kalau aku sedang tidak bisa makan di ruang makan dan ingin makan di kamarku sendiri. Aku memandangi makanan yang dibawa oleh nenek untuk beberapa saat. Palak paneer adalah hidangan sayur khas India yang terbuat dari bahan utama keju paneer. Keju tersebut kemudian dicampur dengan saus kental yang terbuat dari campuran bayam, tomat, garam masala, bawang putih, dan berbagai bumbu lain. Sajian ini begitu kaya akan kandungan nutrisi dan dapat disantap baik saat sarapan, makan siang, atau makan malam bersama dengan nasi atau roti. Dal adalah sajian rebus yang terbuat dari berbagai kacang-kacangan seperti kacang polong, buncis, atau kacang hijau. Setelah dibersihkan, kacang tersebut direbus dengan berbagai rempah seperti jintan, ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, dan jahe. Setelah matang, kacang tersebut dihaluskan kembali hingga bertekstur seperti bubur. Chana masala adalah kari khas india utara yang terbuat dari kacang buncis dan biasanya disantap baik sebagai camilan, hidangan utama, ataupun sarapan. Buncis tersebut direbus dengan berbagai rempah-rempah dan kemudian disajikan dengan nasi atau roti dengan tambahan yoghurt atau krim asam sebagai garnis.
Akhirnya nenek menegurku.
"Ruqayyah, apakah nenek salah membawa makanan ?" Tanya nenekku.
"Tidak nek. Seseorang yang baru saja mendonorkan darah sangat disarankan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi, riboflavin atau vitamin B2, vitamin B6, dan asam folat atau vitamin B9. Zat besi adalah komponen dalam darah yang dibutuhkan untuk memproduksi sel darah merah yang sehat dan membawa oksigen ke seluruh tubuh. Zat besi banyak terkandung dalam bayam, brokoli, kale, sawi hijau, daging merah, ikan, kacang-kacangan, jeruk, lemon, jambu biji, kiwi, pepaya, stroberi, tomat, paprika, dan lain-lain. Vitamin B2 membantu tubuh dalam mengubah karbohidrat menjadi energi. Setelah donor darah, tubuh akan merasa lemas karena banyak kehilangan energi selama donor darah. Sehingga, dengan mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin B2, tubuh akan lebih cepat mendapatkan energinya kembali dan tidak merasa lemas berkepanjangan. Riboflavin banyak terkandung dalam telur, daging unggas, kacang-kacangan, bayam, brokoli, asparagus, dan sayuran berdaun hijau lainnya. Susu dan produk susu, seperti yoghurt, juga merupakan sumber riboflavin yang baik. Vitamin B6 dapat membantu tubuh dalam memecah protein, di mana protein sangat dibutuhkan tubuh dalam produksi sel darah merah baru. Beberapa makanan sumber vitamin B6 adalah ikan, daging merah, telur, bayam, kentang, pisang, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Asam folat atau vitamin B9 juga dapat membantu tubuh dalam menghasilkan sel-sel darah merah baru. Asam folat banyak terkandung dalam bayam, kale, asparagus, sawi hijau, kacang-kacangan, dan jus jeruk. Jadi kesimpulannya, makanan yang nenek bawa ini sangat tepat. Tetapi makanannya masih panas, karena itu aku belum memakannya." Ucapku panjang lebar.
"Akan tetapi jangan memasak batang bayam karena batang bayam mengandung oksalat yang bisa menghambat penyerapan zat besi, yang justru melimpah pada bagian daun bayam." Lanjutku lagi.
"Dari mana kamu tahu semua itu ?" Tanya nenek.
"Dari membaca buku, nek. Selain itu teman kuliahku yang bernama Sona adalah seorang ahli gizi." Ucapku.
"Kamu mempunyai berapa teman kuliah yang sebenarnya sudah berprofesi sebagai dokter ?" Tanya nenek.
"6 orang, nek. Temanku yang bernama Ishita adalah dokter gigi. Temanku yang bernama Mauli adalah dokter kandungan. Temanku yang bernama Nandini adalah ahli pengobatan herbal. Temanku yang bernama Preeta adalah seorang dokter spesialis kedokteran fisik, dan rehabilitasi atau sering disebut fisioterapis. Temanku yang bernama Sanchi adalah dokter anak. Temanku yang bernama Sona adalah ahli gizi." Ucapku.
Aku pun mengucapkan basmalah lalu memakan makanan di depanku yang mulai dingin. Nenekku setia menungguku hingga aku selesai makan.
Al hamdu li-l-lâhi ladhî at’amanî hâdhâ wa razaqanîhi min ghayrin hawlin minnî wa lâ quwwatin.
Segala puji bagi Allah Yang memberi makan ini kepadaku dan Yang memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku." Doaku setelah makan.
"Sekarang kamu boleh tidur Ruqayyah." Ucap nenekku sambil merapikan peralatan makanku.
"Aku akan tidur setelah shalat asar, nek. Karena sebentar lagi waktunya shalat asar, apalagi tidur setelah makan tidak baik untuk kesehatan sistem pencernaan atas seperti lambung." Ucapku.
.
.
.
Waktu shalat isya' telah berlalu setengah jam yang lalu, jam dinding sudah menunjukkan pukul 20.30, tetapi ayahku masih belum pulang juga dari rumah sakit. Saat ini aku sedang berada di ruang tamu menemani nenekku yang sedang menunggu kepulangan ayahku dengan cemas. Hanya ada aku, dan nenek di rumah karena nenek meminta kakek untuk menjemput ayahku di rumah sakit.
"Ruqayyah, bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi ?" Tanya nenekku.
"Pagi ini, setelah aku keluar dari taksi yang mengantarku ke kampus aku langsung berjalan menuju kampus. Sadiqah terus mengikutiku. Aku tahu tetapi aku mengacuhkannya dan aku terus berjalan. Akhirnya, aku berhenti berjalan karena jalan yang akan aku seberangi masih ramai dengan kendaraan. Sadiqah pun berhasil mengejarku. Dia berdiri di sampingku dan mengucapkan salam kepadaku, aku pun membalasnya. Lalu Sadiqah mengatakan jika dia mempunyai bukti jika ibunya tidak bersalah. Dia ingin aku mendengarkan penjelasannya. Dia juga mengingatkanku pada janjiku untuk membantunya mendamaikan kedua keluarga kita. Karena aku merasa tidak kuat untuk mendengarkan penjelasan Sadiqah, aku pun memutuskan untuk pergi dari tempat itu secepatnya. Akhirnya aku menyeberangi jalan di depanku tapi melihat sekeliling. Sebuah sedan hampir menabrakku tetapi Sadiqah menyelamatkanku, dan justru dialah yang celaka. Aku menyesal karena aku tidak mendengarkannya tadi. Seharusnya aku tidak mengabaikannya tadi. Aku akan meminta maaf kepada Sadiqah, dan ibunya, dan aku akan melupakan semua permasalahan di antara keluarga kita, dan keluarga mereka." Jawabku jujur.
"Ruqayyah, kamu sudah tertipu oleh sandiwara Sadiqah. Sadiqah hanya mencari cara untuk mendapatkan simpati dari keluarga kita. Dia melakukan itu agar dia bisa masuk ke dalam keluarga kita. Lihatlah, hari ini saja karena dia sakit karena menolongmu, ayahmu rela menunggunya seharian. Ayahmu lupa pada keluargamu sendiri, dan bahkan kamu saja sampai berniat melupakan penderitaan yang dirasakan oleh Jannat, ibumu karena perbuatan keluarga mereka. Salah satu perempuan di keluarga mereka pernah menggoda ayahmu di depan ibumu sendiri, bahkan perempuan itu juga bertanggung jawab untuk kematian ibumu, sekarang hanya karena anak perempuan itu bersandiwara dengan menolongmu, kamu berniat memaafkan semua kesalahan mereka ? Asal kamu tahu Ruqayyah, seluruh keluarga mereka adalah aktris yang hebat, demi mencapai tujuan mereka, mereka bisa membuktikan jika mereka benar dengan bukti-bukti yang mereka ada-adakan. Jangan pernah bersimpati sedikit pun kepada keluarga mereka, atau kamu akan bernasib sama seperti ibumu saat Sadiqah berusaha merebut suamimu nanti. Sadiqah menjadi seperti itu karena didikan turun temurun dari neneknya, dan ibunya. Seluruh keluarga itu tidak mempunyai rasa malu. Bahkan kau juga tahu jika Salamah membesarkan anaknya tanpa seorang ayah." Ucap nenek.
"Aku tidak pernah benar-benar mengetahui kesalahan, dan kejahatan apa yang pernah dilakukan oleh Bibi Salamah di masa lalu. Aku hanya mengetahui masa lalu itu dari cerita nenek. Tetapi aku sungguh mengetahui kebaikan yang dilakukan oleh Bibi Salamah di masa kini. Walaupun nenek selalu menghina mereka, mencaci mereka, mereka tetap diam bahkan mereka menyelamatkan nyawa cucu nenek sebanyak dua kali. Tapi apa yang pernah nenek lakukan untuk mereka ? Bahkan untuk mengucapkan permohonan maaf atau terima kasih saja tidak pernah nenek lakukan. Keluarga mereka yang tersakiti, tetapi selalu keluarga mereka yang meminta maaf. Bukankah itu adalah alasan kuat untuk aku memaafkan Bibi Salamah ? Dan bahkan aku lah yang seharusnya memohon maaf karena aku telah salah menilainya. Karena sebelumnya aku lebih mendahulukan apa yang aku dengar dari pada apa yang aku lihat. Tapi sekarang tidak lagi. Apakah nenek tahu, seorang aktris tidak akan mau membahayakan nyawanya sendiri hanya untuk sebuah lakon cerita. Sedangkan demi menyelamatkanku Sadiqah telah membahayakan nyawanya sendiri. Lalu apakah itu pantas disebut sandiwara ? Semua tuduhan yang nenek berikan kepada keluarga mereka sudah gugur karena alasan ini. Dan nenek apakah nenek tidak malu berkata buruk tentang darah daging nenek sendiri ? Bahkan menggunjingkan keburukan orang lain saja sama dengan memakan bangkai saudara yang telah mati, lalu bagaimana jika yang diceritakan itu adalah tuduhan dusta, tentu lebih menjijikkan lagi. Berhentilah untuk menyebut Sadiqah, anak tanpa ayah karena dia masih punya ayah. Bahkan ayahnya berada sangat dekat dengan kita. Berhentilah berkata buruk tentang keluarga mereka karena sebenarnya Sadiqah adalah cucumu juga, putri dari ayahku, dan dia adalah saudaraku juga. Aku tidak suka siapa pun berkata buruk tentang saudaraku." Ucapku dengan diiringi air mata karena aku harus melihat perpecahan keluargaku di depan mataku sendiri.
"Apa yang kamu katakan Ruqayyah ? Demi membuktikan jika dirimu benar, kau jangan membuat cerita dusta." Ucap nenek.
"Aku tidak berkata dusta nenek. Aku pernah mendengar ayah menyebut Sadiqah sebagai putrinya. Jika nenek tidak percaya nenek bisa bertanya pada ayah sendiri." Ucapku.
Sayup-sayup terdengar suara mobil berhenti di dekat rumah kami. Lalu ada suara langkah kaki, sepertinya ayahku sudah pulang. Nenekku pun dengan tergesa-gesa membuka pintu, aku pun mengikuti nenek. Aku melihat pintu rumah nenek Sumayyah terbuka, itu artinya Sadiqah sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Sepertinya ayahku mengantar keluarga Sadiqah pulang sekalian. Seluruh keluarga Sadiqah sudah masuk ke rumah mereka, hanya ayahku yang masih di luar.Tapi bukannya masuk ke rumah kami, ayahku justru akan melangkah masuk ke rumah keluarga Sadiqah. Aku dapat memahami perbuatan ayahku tersebut, karena setelah bertahun-tahun ayahku bisa mencurahkan perhatian kepada anaknya. Tapi tidak bagi nenekku, tentu saja hal itu membuat nenekku marah.
"Salman, jika sekarang kau lupa ingatan, maka akan aku beritahu kalau rumahmu ada di sini bukan di sana." Ucap nenekku dengan volume yang lebih keras dari biasanya.
"Ibu, aku ingin bicara dulu." Ucap ayahku di muka pintu rumah nenek Sumayyah.
"Jika kau memasuki rumah itu, maka akibatnya akan sangat buruk." Ucap nenekku saat ayahku mengayunkan kaki kanannya untuk memasuki rumah nenek Sumayyah.
Akhirnya ayahku berbalik dan masuk ke rumah kami.
"Ibu, aku hanya ingin tahu keadaan Sadiqah." Ucap ayahku.
"Diam kau. Ruqayyah, masuklah ke kamarmu." Ucap nenek yang sepertinya tidak ingin aku mendengar pembicaraan nenek, dan ayah.
"Tidak Ruqayyah tetaplah di sini." Ucap ayahku yang sepertinya ingin aku mendengar pembicaraan ayah, dan nenek.
"Mengapa, mengapa ibu marah sekali ?" Tanya ayah pada nenek.
"Kau memberiku alasan untuk marah, Salman. Mengapa kamu begitu perhatian kepada Sadiqah sampai-sampai kamu mau mendonorkan darahmu untuk Sadiqah ?" Tanya nenek kepada ayahku.
"Ibu, dengarkan aku dulu." Ucap ayahku.
"Karena hal itulah, anakmu ini sampai berani mengatakan di hadapanku jika Sadiqah itu adalah ... " Ucap nenek sambil menunjuk ke arahku.
"Dia adalah putri ayah." Ucapku.
Ayahku terkejut karena aku sudah tahu rahasianya.
"Katakanlah yang sebenarnya ayah agar nenekku berhenti mengatakan hal buruk tentang saudaraku." Lanjutku.
"Sadiqah bukan putrimu." Ucap nenekku.
"Dia memang putriku, ibu." Ucap ayahku. Dan ibu tidak akan bisa mengubah hubungan ini." Ucap ayahku.
Kakekku tiba-tiba pulang dari rumah sakit.
"Aku memiliki dua putri, Sadiqah, dan Ruqayyah.
"Salman ... " Ucap kakekku dengan suara menggelegar.
"Apakah seperti ini caramu berbicara dengan ibumu ?" Tanya kakekku yang berusaha melerai ayah, dan nenek.
"Aku hanya ingin mengatakan hal yang sebenarnya ayah, apakah itu salah ?" Tanya Ayahku balik.
Pembicaraan antara ayah, dan nenek mulai memanas. Sebelumnya aku mengenal ayahku adalah seseorang yang sangat patuh kepada orang tua, tetapi saat ini aku seakan menjumpai sisi lain dari ayahku.
"Ruqayyah, kesamaan golongan darahmu, dan golongan darah Sadiqah bukanlah suatu kebetulan semata tetapi karena kalian adalah saudara." Ucap ayahku.
"Ayah dan ibunya Sadiqah adalah mantan suami istri. Ibuku, dan ayahku tidak pernah bisa menerima ibunya Sadiqah sebagai menantu mereka dikarenakan perbedaan status sosial. Tapi aku selalu berusaha mempertahankan ibunya Sadiqah sebagai istriku. Sampai pada suatu saat, terungkaplah jika kakek kandungmu Kakek Saud ditabrak oleh ayahnya ibunya Sadiqah. Itu adalah kecelakaan yang menewaskan Kakek Saud. Ibuku, dan ayahku ini memaksa ibunya Sadiqah untuk menandatangani surat gugatan cerai'. Ibuku meminta ibumu meninggalkan rumah mereka segera setelah ibunya Sadiqah menyelesaikan masa idahnya. Tapi ibunya Sadiqah tidak menyadari jika ia sedang mengandung saat itu. Dia baru menyadarinya saat dia telah meninggalkan rumah suaminya. Ibunya Sadiqah kembali ke rumahku untuk menyelesaikan masa idahnya di rumahku tetapi kami sudah pindah rumah. Dari tetangga sekitar, ibunya Sadiqah tahu jika aku sudah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Jannat. Ibunya Sadiqah kembali ke rumah ibunya. Masa itu adalah masa tersulit bagi ibunya Sadiqah. Semua orang mengira ibunya Sadiqah berpisah dengan suaminya karena lian padahal sebenarnya ibunya Sadiqah berpisah dari suaminya karena keegoisan mertuanya. Ibunya Sadiqah melahirkan bayi yaitu kamu. Kamu dilahirkan di hari yang sama dimana, istriku Jannat kehilangan bayi di dalam kandungannya. Bahkan ibunya Sadiqah, dan Jannat dirawat di rumah sakit yang sama. Jannat mengalami depresi berat karena kehilangan bayinya, bahkan ia berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Ibuku menyuruhku mengambilmu dari kamar bayi, dan mengatakan kepada Jannat jika kamu adalah putrinya. Aku pun melakukan itu. Selama 19 tahun ibunya Sadiqah bersedih karena mengira anaknya hilang. 2 bulan setelah ibunya Sadiqah melahirkanmu, dia menikah dengan Ja'far bin Harun. Pernikahan itu hanya bertahan selama 5 tahun. Setelah ibunya Sadiqah bercerai dengan suami keduanya, neneknya Sadiqah, ibunya Sadiqah, dan Sadiqah sendiri pindah ke rumah itu. Aku dan ibuku tidak mengira jika kita akan bertetangga dengan keluarga ibunya Sadiqah. Ibunya Sadiqah bermaksud untuk menemuiku untuk memberitahukan sesuatu. Saat ibunya Sadiqah baru mengucapkan salam kepadaku dan mengajakku ke teras, isteriku Jannat mendengarnya. Bukannya cemburu, isteriku Jannat justru merasa bersalah kepada ibunya Sadiqah karena ia merasa menjadi penghalang di antara aku dan ibunya Sadiqah. Setelah itu Jannat masuk ke dalam rumah kita dan melihat ibuku begitu marah kepada ibunya Sadiqah. Jannat, berusaha menghentikan ibuku tetapi istriku Jannat justru terjatuh dari tangga karena terdorong oleh ibuku sendiri. Ibuku membelokkan kenyataan dan membuat ibunya Sadiqah ditahan dengan tuduhan mendorong Jannat dari tangga hingga meninggal dunia. Ibunya Sadiqah bebas setelah aku mencabut tuntutan ibuku. Sejak saat itu keluarga kita dan keluarga mereka selalu berselisih. Dua hari yang lalu adalah kali kedua aku berbicara dengan ibunya Sadiqah sejak kami bercerai. Dari pembicaraan itu aku tahu jika sadiqah adalah saudara kembarmu. Ternyata Sadiqah bukan putrinya Ja'far. Itulah kenyataannya." Ucap ayahku.
"Kebisuanku menyebabkan masalah pada putri, dan juga cintaku. Mereka harus dipermalukan, mereka harus menanggung derita ini selama bertahun-bertahun." Lanjut ayahku.
"Ruqayyah masuk ke kamarmu." Ucap nenekku.
"Jangan pergi Ruqayyah, tetaplah di sini." Ucap ayahku.
Ayah mendekat ke arahku, dan berada di hadapanku.
"Nak, ayah mohon beri ayah kesempatan atau seumur hidup ayah tidak akan bisa menatap matamu. Saat ayah berbicara, ayah berhak menceritakan duka ayah pada putrinya sendiri. Maafkan ayah nak, karena telah menyembunyikan semua kebenaran ini.
"Sebelumnya nenek mengatakan kepadaku jika bunda Jannat meninggal karena didorong oleh Bibi Salamah. Karena itu aku menjadi tidak suka kepada Bibi Salamah, dan Sadiqah. Tapi ternyata itu hanyalah tuduhan dusta." Ucapku.
"Mengapa ibu berbohong, berbohong tidak akan ada gunanya. Akui saja kebenarannya. Demi membuktikan jika diri ibu benar, ibu jangan menuduh orang lain dengan tuduhan dusta. Jika Salamah mau, dia bisa menuntut ibu karena ibu terus saja menuduh seluruh keluarganya dengan tuduhan dusta. Dia bisa saja menyeretku ke pengadilan demi Sadiqah. Tetapi dia tidak melakukannya, ibu. Dia menahan penderitaannya tetapi tidak bicara untuk melawan kita." Ucap ayahku kepada nenekku.
"Maafkan ayah Ruqayyah. Ayah mengerti perasaanmu. Meskipun kebenarannya pahit, tetapi itu tetap kebenarannya." Ucap ayahku sambil menyeka air mataku.
Aku berlari keluar rumah tanpa peduli jika kakiku menginjak pecahan kaca yang berserakan di lantai rumah. Aku berjalan hingga sampai di depan rumah Nenek Sumayyah. Saat aku mengangkat tanganku untuk mengetuk pintu, aku teringat jika mereka sedang beristirahat saat ini. Aku pun mengurungkan niatku. Aku masih berdiri di depan pintu untuk beberapa saat, hingga akhirnya aku berbalik dan berjalan menuju tempat tinggalku. Saat aku masih berada di separuh perjalanan, aku mendengar pintu rumah Nenek Sumayyah dibuka. Aku pun berbalik, dan aku melihat Sadiqah, dan ibuku Bibi Salamah keluar dari rumah mereka. Sadiqah berjalan ke arahku lalu memelukku dan aku pun membalas pelukannya. Saat itu juga air mataku luruh.
"Aku sudah tahu semuanya Sadiqah. Maafkan saudaramu ini yang pernah tidak percaya kepadamu." Bisikku di telinga Sadiqah.
"Aku senang kamu mengetahuinya, tapi jangan meminta maaf kepadaku. Tapi berjanjilah kepadaku jika persaudaraan di antara kita tidak akan terpisahkan oleh apa pun juga." Bisik Sadiqah di telingaku.
"Aku berjanji. Persaudaraan di antara kita adalah suatu hal yang abadi bukan hanya terikat karena darah tetapi diikat pula oleh keimanan." Bisikku di telinga Sadiqah.
Aku, dan Sadiqah melepaskan pelukan satu sama lain secara bersamaan, tidak ada yang mendahului. Setelah itu kami saling menyeka air mata saudara kami. Setelah itu aku berjalan mendekati ibuku. Aku memeluknya lama sekali bagaimana tidak selama 19 tahun kehidupanku ini baru kali ke dua aku merasakan pelukan ibuku. Ingin rasanya aku tetap berada dalam posisi ini.