(Kota Derisa, pukul 07.00 pagi)
Pagi hari nya Kota Derisa di gemparkan dengan kejadian pembantaian brutal yang terjadi di rumah Dony Arjito. Media-media lokal bahkan nasional pun turut meliput kejadian mengenaskan tersebut.
Hampir di setiap penjuru Kota Derisa, orang-orang membicarakan peristiwa berdarah yang merenggut korban jiwa hingga lebih dari 30 orang itu. Saksi sekaligus korban, yakni Dony Arjito sendiri ditemukan dalam kondisi yang tidak kalah mengenaskan nya.
Seluruh saraf nya rusak dan menyebabkan nya menjadi orang yang vegetatif, meski dia dalam kondisi masih hidup. Polisi yang ingin meminta keterangan pun, akhir nya tidak bisa berbuat apa-apa.
Ada masyarakat yang bersimpati, ada yang bersedih bahkan tidak sedikit pula orang yang merasa senang. Terutama karena rekam jejak Dony Arjito sebagai pejabat kota yang suka bertindak semena-mena. Bahkan banyak orang-orang yang menganggap hal itu sebagai karma untuk Dony Arjito.
Sementara itu Pak Widodo, Direktur RS Derisa, juga tidak kalah terkejut nya.
Meskipun tidak ada orang yang tahu siapa pelaku sebenar nya, semua media seolah memanas-manasi dengan berbagai dugaan yang tidak berdasar, tapi Pak Widodo sendiri sudah memastikan dengan keyakinan nya sendiri, bahwa tangan kanan nya ini, Dokter Zein Al-Ghifari, yang sebenar nya adalah pemilik sah RS Derisa, pastilah ikut terlibat dalam kejadian ini. Untuk memastikan nya, Pak Widodo pun segera menelepon Dokter Zein.
(Suara telepon berbunyi)
Menunggu selama hampir 30 detik, telepon tersambung ke Dokter Zein. Tapi terkejutlah dia saat mengetahui yang mengangkat telepon nya adalah seorang perempuan.
"Halo.. Siapa?", tanya perempuan itu yang ternyata adalah Heendon.
"Halo selamat pagi, saya ingin berbicara dengan Dokter Zein, apakah ada?", tanya Pak Widodo sopan.
"Dokter Zein sekarang sedang mandi, nanti saya akan menyampaikan bahwa anda tadi menelepon nya", kata Heendon.
"Baiklah.. terima kasih Nona.. Em.. dengan siapa saya berbicara?", kata Pak Widodo penasaran.
"Nyonya.. Saya Nyonya Zein", kata Heendon.
"Aaahhhh... Maaf bukankah...", kata Pak Widodo yang bertanya tapi telepon sudah di matikan oleh Heendon.
'Hmmm.. Nyonya Zein?', kata Pak Widodo dalam hati nya yang kemudian tersenyum aneh setelah nya.
============================
(Saat ini di rumah Pak Abdullah)
"Ayo, ayo.. makan yang banyak. Zelena, Zara, Fazia..", kata Bu Hajjar, Ibu Dokter Zein.
"Terima kasih, Mi..", kata Zelena.
"Hatur nuhun Umi, Masya Allah. Ini teh enak banget", kata Zara yang merasa luar biasa.
"Kak Zelena sama Kak Zara tinggal di rumah ini aja ya. Temenin Zia di sini", kata Fazia yang juga tersenyum meskipun hatinya merasa sedikit cemburu, tapi apa daya.
"Aihh, dek Zia mah kayak sama siapa", kata Zara dengan senyuman hangat.
"Kita sih mau-mau aja Zi, tapi kan tetap gak enak hati", kata Dokter Zelena yang juga ikut tersenyum.
"Gak papa Kak Zelena, Zara. Hehehe", balas Zia yang lanjut menyantap sarapannya.
"Abi gak ikut sarapan, Mi?", tanya Fazia kepada Bu Hajjar.
"Abi masih di kamar, kayaknya lagi punya banyak hajat, jadi abi banyak berdoa Zi", kata Bu Hajjar lagi.
"Oh begitu", kata Fazia yang mengangguk. Sementara Dokter Zelena dan Zara hanya diam mendengarkan.
Di dalam kamar, Pak Abdullah memang terlihat sedang berdoa kepada Tuhan.
"Yaa Allah, Yaa Robby, kenapa hamba ditakdirkan cuma punya satu istri. Hamba merasa iri dengan Zein, anak hamba. Almarhumah istrinya dulu cantik. Sekarang di rumah ini kedatangan dua orang perempuan yang kemungkinan calon istri Zein, anak hamba itu. Wajah mereka ajieb-ajieb Yaa Robby, seperti bidadari surga. Bukankah saat muda dulu hamba itu lebih tampan dari Zein anak hamba itu. Beri hamba petunjuk Yaa Robb", kata Pak Abdullah berdoa khusyuk kepada Tuhan sambil bercucuran air mata.
==============================
(Saat ini di Kantor Polisi Kota Derisa)
"Apaaa?! Tidak ada petunjuk?! Bagaimana bisa?! Memang nya setan yang melakukan ini?!", kata seorang komisaris polisi sedikit marah.
"Siap.. benar memang tidak ada petunjuk", kata bawahan nya itu yang merupakan seorang polisi muda.
Sang Komisaris Polisi, Wawan Setiawan, 52 tahun, yang sedang menyelidiki kasus ini di buat mengernyitkan dahi nya. Betapa aneh kasus ini.
Lebih dari 30 orang terbunuh tapi satu petunjuk atau jejak keberadaan pelaku nya pun bahkan belum tercium sama sekali. Sudah dikerahkan pula lebih dari 10 ekor anjing pelacak, tapi hasil nya tetap nihil.
"Baiklah, lanjutkan tugasmu", kata Wawan memberi perintah.
"Siap Komisaris", kata bawahan nya membalas.
'Apa semua ini hanya pembantaian semata? Apa ada motif di balik semua ini? Apa ini di lakukan oleh pembunuh bayaran atau sebuah organisasi?', kata Wawan yang sedang berpikir keras dan bertanya-tanya dalam hati.
"Sebaiknya aku menghubungi Kapten Lenny Liezandro", gumam Komisaris Wawan sambil mengangguk.
============================
(Kembali ke rumah Dokter Zein)
"Apa kau tidak rindu masakanku?", kata Heendon yang saat ini sedang sarapan bersama Dokter Zein.
"Sudah berapa hari aku tidak pulang ke rumah ayahku?", kata Dokter Zein yang malah balik bertanya.
"Em.. sekitar empat hari", kata Heendon kemudian melanjutkan.
"Ada telepon untukmu tadi, tapi kau sedang mandi. Jadi ku angkat saja", kata Heendon santai.
"Telepon? Dari siapa?", kata Dokter Zein.
"Dia tidak memberitahu nama nya, tapi di kontak smartphone mu nama nya Widodo", kata Heendon sambil tersenyum aneh ke arah Zein.
"Hm... Widodo? Jadi dari dia... Hehehe...", kata Dokter Zein tertawa datar.
"Sudahlah.. Ayo di makan", kata Heendon sambil melahap sarapan pagi nya.
"Ini cukup enak", kata Dokter Zein yang menyantap makanan dengan ekspresi datar, padahal dalam hati nya dia mengagumi rasa makanan nya.
'Huh dasar.. bilang saja kau mengakui kelezatan nya..", kata Heendoon tersenyum sambil menggelengkan kepala nya.
============================
(Saat ini di Instalasi Farmasi)
Para apoteker di RS Derisa yang sedang kebagian jatah shift pagi, juga tidak ketinggalan bergosip tentang pembantaian yang menggemparkan itu.
Dini, Riska, Melati, Hanna, Nafisa dan seorang office boy yang sedang mengepel lantai Instalasi Farmasi pun turut serta dalam kegiatan ghibah massal ini.
"Kalian semua sudah dengar berita pembantaian itu, kan?", tanya Dini, Kepala Apoteker kepada rekan-rekan nya.
"Iya mba, gila banget, masa di beritakan ada dua kepala di dalam badan tubuh korban juga", jawab Riska seorang apoteker senior.
"Kalo pelaku nya, aku yakin pasti seorang psikopat", kata Melati yang ikut dalam pembicaraan.
"Hah? Masa sih Mel? Tau dari mana?", kata Office Boy, Teo, yang tiba-tiba menghentikan pekerjaan nya dan bergabung dalam obrolan ini.
"Iya lah mas Teo, bayangin aja. Apa boleh sebrutal itu? Kalo bukan psikopat gak mungkin sampai sebrutal dan sekejam itu kan", kata Melati mendadak menjadi seorang detektif.
"Iya juga sih, masuk akal. Tapi siapa yang bisa sekejam itu ya?", kata Riska menimpali.
"Biasanya sih, berdasarkan buku yang pernah aku baca ya, seorang psikopat itu justru keliatan orang biasa mba. Mereka keliatan orang normal kayak kita. Padahal itu ya, di belakang nya.. iiiihhhhh..", kata Melati yang merinding membayangkan.
"Benar juga kamu, Mel. Ada contoh nya kok di sini. Si Teo ini juga mungkin salah satu psikopat itu", kata Dini yang langsung ceplas ceplos ke arah Teo.
"Eh.. Busseehh.. omonganmu Din, Din", kata Teo membela diri.
"Ya benar kan, mau bukti? Tuh liat", kata Dini sambil menunjuk ke arah tumpukan kertas di atas meja.
"Eluh ngirimin Riska puisi cinta tiap hari. Padahal eluh tau Riska udah punya suami kan? Itu termasuk psikopat juga tuh", kata Dini yang langsung membuat semua orang tertawa di ruangan itu.
"Yeee Din, Din.. Nama nya juga usaha. Siapa tau bentar lagi si Riska cerai kan?", kata Teo membalas tanpa rasa dosa.
"Astaghfirullah", kata para apoteker serentak sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka. Sementara Riska hanya tertawa saja.
============================
ns 15.158.61.48da2