Sudah hampir setahun aku bercerai dari Mas Hendra. Syafina sekarang sudah hampir 2 tahun umurnya. Sementara ini, aku masih hidup bergantung dari tunjangan yang diberikan oleh mantan suamiku dan dari sebagian gajinya si Abang yang tak seberapa. Tapi itu nggak cukup. Aku terus berdoa supaya Awloh segera secepatnya memberikanku jalan keluar. Inshaallah Awloh mendengarnya, Amiinn…
Dan Awloh sepertinya segera menjawab doaku. Di suatu pagi, aku baru saja hendak beberes dan mengepel lantai rumah. Saat itu di rumah cuma ada aku, anakku dan ibunya Norman. Norman sedang tidak ada di sini, sudah 5 bulan dia di Jawa. Pagi itu aku hanya memakai babydoll yang bentuknya seksi sekali. Di dalamnya aku hanya pakai celana dalam mungil saja.. Karena niatnya, habis beberes aku mau mau di pijat oleh ibunya Norman. Memang, semenjak aku melahirkan, badanku jadi tambah semok, dan kata ibunya si Abang, nggak apapa, biar makin bikin Norman gak mau liat perempuan lain.. hihihi.. iiyaaa.. tubuhku makin seksi lah, nggak apapa badannya semok, katanya, tapi selangkanganku harus selalu rapet dan peret, itu makanya, ibunya si Abang rajin memijatku. Jadi dengan keadaan itu, babydoll yang aku pakai ini semakin membuat tubuhku jadi kelihatan amat menggiurkan.. hehehe…
Namun, belom mulai aku ngapa-ngapain, ada bunyi ketukan di pintu depan. Tanpa berfikir untuk merepotkan diriku untuk ganti baju, atau setidaknya memakai beha, aku malah berjalan ke pintu depan untuk melihat siapa yang datang. “Siapa ya?” tanyaku sambil membuka pintu.
Dihadapanku ada sesosok pria tinggi besar yang gagah, rapih dan cukup ganteng. Aku seperti pernah melihatnya, namun tidak bisa mengingat siapa atau dimana kami pernah bertemu. “Harisman Syarifudin!” kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. Terlihat sekali dia terpesona dengan penampilanku saat itu. “Panggil saja saya, Haris..” lanjutnya.
“Ya Bapak? Haris siapa ya?” tanyaku mengangguk-angguk sambil menyilangkan tanganku di dadaku. Aku nyaris lupa kalau aku tidak memakai beha. Dia hanya menyunggingkan senyum. “Kita pernah ketemu dimana ya?” lanjutku bertanya.
“Hmm.. Boleh saya masuk?” tanya lelaki ini dengan sopan. Aku memang belum merapihkan ruang tamu. Tapi sudahlah.. nanti saja. Lalu aku mempersilahkannya masuk.
Setelah itu, kami berdua mengambil tempat duduk. Dia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Aku sedikit berusaha menutup kedua pahaku yang agak terbuka, tapi sepertinya usahaku sia-sia. Ya sudahlah.. apa adanya aja.. “Pernah ketemu dimana ya Bapak?” tanyaku membuka pembicaraan.
Dia tersenyum.. manis sekali. “Sebelumnya saya memohon maaf kalau saya bertindak kurang ajar..” katanya. “Boleh saya merokok disini, Bu?” lanjutnya. Aku mempersilahkan dia merokok dan melanjutkan pembicaraannya. Aku mendengarkan dengan teliti setiap detil pembicaraannya. Rupanya, dia adalah bos besar dari Hendra, mantan suamiku. “Jadi begitu Bu Resti.. saya baru mendengar kalau Hendra sudah bercerai dari Ibu..”
Aku tersenyum, “Iya pak.. sudah hampir setahun inilah kira-kira. Emang Hendra nggak pernah melapor ke kantor, Pak?”
“Belum ada laporan sih Bu.. saya cuma ingin memastikan aja. Biar segala tunjangannya segera di proses untuk di hentikan. Dan selanjutnya adalah urusan Pak Hendra dengan Ibu..”
“Ooo begitu pak..” ujarku yang langsung agak sedikit lemas setelah memahami kondisinya. Tapi sekilas pikiran melintas di kepalaku, maksudku, dia kan Bos besar ya? Yang punya perusahaan. Kenapa harus dia yang datang? Akhirnya, aku utarakan saja pikiranku itu. “Tapi kenapa harus Bapak yang datang kesini? Mmhh.. maksud saya, kan ada pegawai lain atau anak buah Bapak yang bisa datang kesini untuk cek dan ricek..”
Haris tersenyum. “Nah kalo soal itu, saya bisa jawab.. Jadi begini Bu..” Lalu sebelum melanjutkan, dia membakar rokok lagi. “.. sebelumnya jangan tersinggung dengan kata-kata saya, atau berfikiran negatif tentang saya ya Bu..” Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil juga berusaha tersenyum. Lalu Haris melanjutkan penjelasannya, “Saya baru sekali melihat Bu Resti.. waktu ada acara kantor dulu, kalau saya nggak salah. Saya agak lupa-lupa sikit dengan wajah dan paras Ibu.. makanya saya berfikir, lebih baik saya sendiri yang datang kesini langsung, untuk memastikan dan meyakinkan diri saya..”
Aku agak bingung juga dengan penjelasan si Haris ini. “M.. Maksud Bapak?”
“Hehehe… intinya gini Bu.. saya mau mencoba peruntungan saya..”
“Peruntungan? Peruntungan apa ya pak?”
“Hehehe.. Saya jelaskan ya Bu. Dalam ingatan saya, Bu Resti itu punya paras yang cantik.. dan ingatan saya nggak salah rupanya. Lalu sekarang, maaf dengan kata-kata saya, Ibu sudah menjanda.. sudah nggak ada suami.. jadi saya harap, Ibu paham ya dengan maksud ‘peruntungan’ saya tadi itu? Maaf kalau saya terlalu jujur..”
Aku tersenyum simpul dengan maksud terselubung si Haris ini. Dan senyumku langsung berubah jadi tawa kecil, yang aku sadari sendiri, malah terkesan genit. Ya.. dugaanku nggak jauh dengan maksud dan omongan si Haris ini. Dia mencoba untuk mendekatiku. Dalam hatiku yaa…. Wajar-wajar aja sih kalau ada laki-laki yang pengen deketin janda, apalagi jandanya muda, semok dan seger seperti aku.. hihihihihi… ditambah dengan penampilanku hari ini, pasti lelaki di depanku ini sudah terasa gatal dan gemas banget pengen nidurin aku.. hahahahahaha… tapi ntar dulu.. gak segampang itu. Pikiran singkatku adalah, Haris pasti orang mampu.. punya duit lah.. tapi belom berarti keperkasaannya bisa menandingi si Abang kan? Hihihihi… coba ah aku pancing terus.. kali-kali aja dia bisa tunduk denganku.. hahahahaha….
Lalu aku menjawab pertanyaan Haris tadi dengan nada tenang sekali. “Iya Pak Haris.. saya paham sekali dengan maksud Bapak..” jawabku sambil tersenyum. “Tapi boleh ya saya cerita sedikit dengan keadaan saya? Boleh ya Pak… kan Bapak pingin PDKT sama saya..” aku jadi ikut-ikutan nekat juga.
Haris sedikit terkejut dengan pernyataanku. Tapi dia mengangguk. “Eh.. iya boleh saja..” katanya. Lalu aku beneran bercerita tentang keadaanku dengan si Abang. Walaupun aku tidak bercerita tentang awal mula pertemuanku dengan dia, tapi sepertinya, ceritaku sudah mulai membuat si Haris ini paham tentang bagaimana hubunganku dan bentukan serta perawakan dan perangai si Abang. Paling tidak, hal-hal yang bisa membuat laki-laki lain takut dan segan dengan si Abang. Maksudku, aku mau ngetes, seberapa berani dan seriusnya si Haris ini. Tapi sepertinya, ini malah aku yang dibuat bingung. Si Haris tampak tidak bergeming, bahkan senyam-senyum doang mendengar ceritaku. “Jadi gimana Pak?” tanyaku sambil menutup penjelasanku.
“Ya nggak apa-apa.. saya nggak ngitung si.. siapa tadi namanya? Norman? Sebagai saingan atau halangan buat saya. Dia manusia kan? Masih makan nasi? Hehehehe…”
Gila.. pikirku, ini orang malah nantangin si Abang.. berarti dia cukup punya banyak beking bila dia beneran berani dengan si Norman. Herannya, aku malah jadi penasaran dengan orang ini. Jujur saja, aku malah jadi tertantang dengan ajakan si Haris. Aku mencoba memperhitungkan situasi. Norman akan lama berada di Jawa.. dan selama absennya dia, aku juga pasti butuh laki-laki.. dan yang jelas, butuh uang! Nah.. suasananya sangat mendukung sekali, pikirku. Di hadapanku ada lelaki ganteng berduit yang sedang melakukan pendekatan terhadap diriku. Persetanlah kalau dia adalah Bosnya mantan suamiku. Yang penting, kebutuhanku akan uang dan lelaki bisa terpenuhi.. dan aku yakin, dia adalah jawaban dari Awloh.. Dan dengan keyakinan itu, benteng pertahananku mulai aku luruhkan sedikit demi sedikit. Semua yang ada di kepalaku tentang Haris yang bakalan mundur karena ada si Norman, coba aku buang jauh-jauh..
Dan jawabanku kepada Haris adalah; “Ya sudah kalau begitu. Saya mau mencoba juga peruntungan saya dengan Bapak…” dan aku mengatakan itu semua dengan keyakinan kalau aku akan membuat dia takluk di kakiku.
Haris tersenyum. “Bagus..” katanya singkat. “Kapan kita bisa jalan bareng? Paling nggak, kasih saya kesempatan supaya saya bisa lebih mengenal Bu Resti lebih dalam lagi..”
Aahh… pergerakan pertamanya langsung mau dimulai rupanya. Namun sebersit pikiran singkat timbul di kepalaku. Aku masih ingin sekali ngobrol dengan si Haris ini, tapi didalam kamarku ada Ibunya Norman yang lagi berbaring tidur bersama Syafina. Aku harus segera menyuruh Ibunya si Norman itu pergi dulu, biar aku aman ngobrol sama si Haris ini. “Pak sebentar ya, saya ke belakang dulu..” kataku kepada Haris. “..eh.. iya.. Bapak mau minum apa? Apa mau dibikinin kopi aja?” tanyaku sambil tersenyum genit.
Haris kembali menyulut sebatang rokok. “Nggak usah repot-repot. Liat Bu Resti aja saya sudah puas kok.. Sampai sesak nafas..”
Aku tertawa kecil. “Ih Bapak.. kenapa sesak nafas?”
“Nggak apa-apa..” sahutnya lagi sambil membetulkan posisi duduknya. Aku yakin, dia sudah mulai ngaceng.. hahahahahaha….
“Jangan sesak nafas dulu pak… belom ngapa-ngapain, baru mau kenalan lebih dalam kan katanya.. gimana kita kenalannya saya lagi diatas? Eh.. hihihihihi…”
Haris tertawa tertahan. “Ah.. Ibu Resti bisa aja…”
“Ah Bapak…” sahutku. “Sebentar ya Pak..” lalu aku bangun dari tempat duduk dan berjalan melenggang ke arah kamar. Aku yakin dia sempat sedikit melihat selangkanganku. Aku nggak perduli. Biarin dia ngaceng. Aku kan mau lihat seberapa besar kontolnya.. Hahahahahaha…
999Please respect copyright.PENANARkcKxL8KtC
Di dalam kamar, dengan berbisik, aku membangunkan ibunya Norman. Lalu aku jelaskan keadaannya. Bahwa di ruang tamu ada Bosnya Hendra. Dan dia sedang mengurus soal perceraianku dan soal tunjanganku. Supaya keadaannya jadi tidak mencurigakan, aku minta supaya ibunya Norman pulang dulu sebentar. “Jadi gitu bu keadaannya.. ibu pergi dulu ya dari sini..” Ibunya Norman langsung mengerti. Dan supaya nggak ketahuan si Haris, Ibunya Norman aku suruh keluar lewat pintu belakang. Dia pergi dengan janjiku, kalau orang kantornya Hendra ini sudah pergi, aku yang akan ke rumahnya untuk tetap minta di pijat.
Setelah ibunya Norman pergi, aku segera ke dapur untuk membuatkan Haris segelas kopi. Untung Syafina tetap tertidur pulas. Jadi dia tidak akan menggangguku ngobrol dengan si Haris. Sebelum aku bawa kopi ke depan, sempat terfikir untuk memakai celana dalam.. tapi aku pikir-pikir lagi, ah nggak usahlah… buat apa juga.. orang aku mau bikin dia ngaceng kok.. hihihihi….
Kemudian aku bawa kopi ke depan dan ngobrol-ngobrol lagi dengan si Haris. Sempat aku bertanya sama dia kenapa nekat ngajak aku jalan bareng, emang dia nggak punya anak istri? Jawabannya sudah aku duga memang, tapi agak terkejut juga dengan kisah dan alasan dibalik jawabannya itu. Lumayan sadis juga, menurutku..
“Saya masih ada istri sebenarnya.. sudah 10 tahun kami menikah.” Jawab Haris, “..saya belum punya anak. Dari awal menikah, saya tahu kalau rahim istri saya terlalu lemah. Di tambah, sudah beberapa waktu ini, istri saya lumpuh karena menderita stroke. Jadi sudah hampir 4 tahun dia nggak bisa ngapa-ngapain. Jujur ya Bu Resti.. sebagai lelaki, saya sudah mulai berniat untuk meninggalkan istri saya itu sejak bulan-bulan pertama dia kena serangan. Bahkan jauh sebelum dia lumpuh, saya berfikir, kalau saya harus segera mencari perempuan lain untuk menggantikan posisinya sebagai istri baru saya dan bisa mendapatkan anak..”
WOW.. begitu pikirku. Orang ini emang beneran nekat. Wajar dia nggak takut sama si Norman. “Tapi kenapa Bapak terfikir untuk mendekati saya?” tanyaku menyelidik, “..kan bapak baru sekali melihat saya.. dan diluaran sana pasti banyak perempuan yang…”
“Jujur ya Bu Resti..” potongnya, “..seperti yang saya bilang tadi.. dalam ingatan saya, Bu Resti punya wajah yang cantik dan paras yang menggiurkan.. di tambah Bu Resti sekarang sudah nggak bersuami.. sudah janda.. jadi, sudah pasti nggak akan ada penghalang. Makanya, saya berniat untuk mencoba peruntungan saya..”
Iya aku memang sudah nggak ada suami, pikirku. Tapi dia kan sudah aku kasih tau kalau aku masih ada si Norman. Aku mau tau, seberapa nekatnya si Haris ini untuk mengajakku menduakan si Abang. “Tapi, bapak nggak apapa dengan keberadaan saya yang masih ada.. hmm.. apa ya namanya.. selingkuhan? Teman tidur.. Atau apalah namanya.. pokoknya masih ada lelaki yang menemani dan meniduri saya.. nggak apapa Pak?”
“Seperti yang saya bilang tadi, Bu.. Saya malah nggak terfikirkan soal pacar gelap Bu Resti. Nggak penting menurut saya.. Dan bahkan sayapun masih punya istri. Bu, Anggap aja ini penjajakan. Kalau dalam beberapa waktu ke depan Ibu merasa nggak cocok atau nggak puas dengan saya, dan ingin menyudahi hubungan.. ya sudah.. nggak apapa.. tapi 1 hal yang jelas, bahkan saya berani sumpah.. saya yakin kalau selingkuhan ibu nggak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup ibu.. dengan kata lain, kalau Bu Resti berhubungan sama saya, walaupun cuma sebentar misalnya, jangankan ibu.. anak ibupun akan saya penuhi kebutuhannya, saya akan anggap dia seperti anak saya sendiri..”
999Please respect copyright.PENANAt5Y0Cb88NA
Aku sudah gak bisa berkata apa-apa lagi. Orang seperti inilah yang aku cari. Ganteng, gagah, punya duit banyak.. Alhamdulillah.. aah, aku malah sudah mulai berani berkhayal.. membayangkan suasana seperti apa bentuk kebersamaan kami nanti.. hihihihi… namun ada satu hal penting yang belum bisa aku buktikan. Gimana caranya supaya aku bisa tahu seberapa besar kontol si Haris ini? Hahahahaha…
Tapi Awloh memang baik.. dia kasih jalan dalam waktu yang cukup singkat.. Tanpa aku duga, tiba-tiba Haris minta izin untuk ke belakang. Mau ke kamar kecil. Setelah aku beri tahu dimana posisi kamar mandi, dia pun bangun dari tempat duduknya. Saat itulah, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat ada gundukan besar nan panjang di arah selangkangannya. Dia ngaceng.. hahahhaa… dan itu besaaar banget.. Alhamdulilah ya Awloh.. terima kasih… pikirku…
“Kenapa Bu?” tanyanya membuyarkan lamunan singkatku.
“Eh.. oh.. Hmm.. Nggak apapa pak..” jawabku kikuk. Namun, sebelum Haris beneran beranjak pergi ke belakang, ada satu hal lagi terlintas di benakku. Satu pertanyaan pamungkas yang mudah-mudahan jawabannya bisa melegakan hatiku.
“Pak Haris..”
“Ya Bu Resti..”
“Saya boleh bertanya satu hal lagi Pak?”
“Silahkan Bu..”
Aku tersenyum. “Saya salut dengan keberanian bapak. Boleh saya tahu, darimana keberanian Bapak bermula.. maksud saya, Bapak bahkan jauh lebih berani dari selingkuhan saya di awal-awal pertemuan kami.. Apakah Bapak..”
“Bu Resti.. jawaban saya akan sedikit panjang, tapi mudah-mudahan jawaban saya bisa memuaskan hati ibu.. siap mendengarnya Bu Resti?”
Aku mengangguk. Lalu Haris kembali duduk, menyulut sebatang rokok dan mulai bicara. “Sebenarnya, kalau mau jujur, saya sedikit berbohong tadi.. maksud saya, saya sudah lama mengetahui soal perceraian Hendra dengan Bu Resti. Dan setelah saya tahu Hendra sudah resmi diceraikan dan dicampakkan oleh Ibu, saya segera memerintahkan beberapa anak buah saya untuk mencari tahu keberadaan dan keadaan Bu Resti.
Karena apa? Karena saya sudah jatuh hati dengan Ibu, sejak pertama kali saya melihat Ibu. Bahkan waktu ibu masih berstatus sebagai istri si Hendra, saya sempat berfikir untuk merebut Ibu dari Hendra. Tapi menurut saya, jalan seperti itu nggak baik.. dan setelah tahu soal perceraian ibu, saya yakin.. inilah caranya. Rupanya Awloh sudah menyiapkan dan menyediakan jalan yang terbaik buat saya.. Dalam hal ini, menyiapkan Bu Resti untuk saya. Mudah-mudahan saya bisa memuaskan ibu, sehingga ibu siap dan mau sebagai pengganti istri saya yang sudah nggak berfungsi..”
Aku tersenyum mendengar kata-kata si Haris. GR? Bangeettt!! Hihihihihihi…. “Ah Bapak.. jangan ngomong gitulah… saya kan jadi..”
“Hehehe.. saya tidak bermaksud apa-apa Bu.. saya hanya mencoba untuk jujur. Bisa saya lanjutkan cerita saya?” tanyanya. Aku cuma mengangguk-angguk. “Jadi.. adalah beberapa malam sebelum akhirnya saya memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Resti ini, saya sempat membayangkan, gimana rasanya menikmati Bu Resti. Apalagi saya sudah pernah lihat betapa montok dan berisinya Ibu. Dan esoknya, saya nekat bertanya sama Hendra.. Saya paksa dia untuk menceritakan dan menggambarkan setiap jengkal bentuk tubuh Bu Resti. Dia saya paksa untuk jujur. Dan jawabannya semakin membuat saya ingin memiliki Ibu.”
“Iih.. Bapak. Sampai segitunya mikirin saya?” Aku kembali tersenyum Pipiku terasa hangat. Dan mungkin sudah ada rona merah diatasnya. Karena jujur, aku tersanjung dengan kata-kata si Haris ini. Namun tak urung aku bertanya, “Emang Bapak nanya Hendra apa soal saya? Soal.. Mmhh.. tubuh saya?”
Dia tersenyum. “Yaa.. saya mau tahu.. gimana bentuk payudara Bu Resti.. kencang atau tidak, lekuk pinggul ibu.. bahkan saya juga bertanya tentang.. maaf ya Bu.. bagaimana bentuk dan rasa itunya Bu Resti..” jawabnya sambil menunjuk selangkanganku.. hihihii..
“Terus setelah si Hendra menjawab, apa yang ada di pikiran Bapak?” tanyaku lagi dengan nada manja dan genit. Ya.. dengan sedikit malu-malu laahh.. hihihihi…
“Saya semakin yakin untuk mendekati Ibu..” jawabnya. “Intinya gini Bu Resti, saya sudah nekat. Saya bilang ke Hendra, waktunya dia sudah selesai.. riwayatnya di dalam hidup Ibu Resti sudah habis. Sekarang saatnya saya yang akan memiliki Ibu.. Dan saya bilang ke dia, inshaallah saya harus bisa menikmati dulu tubuh Bu Resti, sebelum saya memutuskan Ibu untuk saya jadikan istri saya.. entah siri, istri yang kedua, atau langsung jadi pengganti sah istri saya..”
Aahh… pipiku tambah merona merah mendengar cerita si Haris, antara malu, bangga, GR.. hihihi.. Haris memang jauh lebih nekat dan jauh lebih berani dari Norman. Mungkin karena dia punya kuasa.. punya uang.. jadi dia dapat bebas berlaku apa aja.
Namun tiba-tiba, aku dikagetkan oleh selangkanganku.. aku merasakan ada kedutan-kedutan yang nikmat dari dalam memek kesayanganku ini. Namun tak urung aku ngomong ke Haris, dengan nada bicara yang, jadinya, amat sangat manja, “Ah Bapak.. bikin saya melayang aja.. hihihi…”
“Lho? Kenapa begitu? Saya kan sedang tidak merayu ibu..”
Aku tersenyum manja. “Cerita Bapak cukup membuat saya merasa seperti sedang dirayu lho pak.. Bapak Keren.. Bapak Hebat dan berani.. Jujur ya pak.. keberanian dan kenekatan Bapak bisa membuat saja jadi…”
Haris tersenyum. “Cerita saya belum selesai.. saya lanjutkan ya Bu Resti..” potong si Haris. Kembali aku mengangguk-angguk. “Lalu saya paksa Hendra bercerita lebih jauh tentang Ibu..” lanjutnya, “..semuanya, sampai akhirnya si Hendra bercerita soal dugaannya akan perselingkuhan Ibu dengan Norman.. Iya Bu.. saya sudah tahu tentang Norman. Dan saya berusaha mencari tahu tentang keberadaan orang yang katanya preman itu. Saya kirim beberapa anak buah saya untuk mengumpulkan informasi. Dan akhirnya, saya diberi tahu kalau dia sedang bekerja di perusahaan salah satu rekanan saya. Lalu saya hubungi rekanan saya itu untuk segera mencari Norman dan ‘memproses’nya..”
“Sebentar pak..” potongku dengan nada kaget, “..maksud bapak dengan ‘memproses’?”
“Intinya, dia tidak akan ada lagi di kehidupan Bu Resti.. selamanya..”
“Jadi maksud Bapak, dia sudah..”
“Iya.. saya harap Bu Resti tidak akan merasa butuh lagi sama orang itu.. apalagi mencari beritanya.. cukup dari saya saja yang memberi tahu..”
999Please respect copyright.PENANA6V7RvqqzJp
Jujur saja, aku kaget setengah mati dengan cerita si Haris ini. Berarti Norman sudah.. ah.. Gila! Aku tidak bisa membayangkannya. Aku marah.. aku mau muntah mendengarnya.. ingin sekali aku hajar muka si Haris ini.. Tapi herannya, dengan sadar, aku malah terkejut dengan apa yang dikatakan hati dan pikiranku.. aku heran dengan diriku sendiri. Ternyata, sebagian besar diriku melarangku berbuat nekat. Rasa kaget dan amarah yang teramat sangat tadi, seperti diingatkan oleh otakku akan kebutuhan hidupku.. kebutuhanku akan uang, kebutuhan hidup Syafina.. tiba-tiba saja, nuraniku mengatakan kalau aku sendirilah yang menginginkan akan adanya perubahan hidup. Aku sendirilah yang minta sama Awloh akan hadirnya orang yang bisa merubah keadaan ekonomiku. Dan ketika Awloh sudah menyediakannya di hadapanku, aku akan mengusirnya cuma karena Norman? Gila.. kata batinku.. Ingat Resti, ini kemauanmu.. apalah artinya keberadaan seorang Norman bila di bandingkan dengan duit yang melimpah, tersedianya susu dan kebutuhan untuk Syafina.
Norman nggak ada artinya apa-apa, sayang.. Batinku menjelaskan semua keadaan ini. Tapi bagaimana dengan kebutuhanku akan keperkasaan laki-laki untuk pelampiasan birahiku? Aah, Resti.. batinku berkata lagi.. kamu tadi kan sudah lihat betapa besarnya zakar si Haris ini. Ditambah dia sudah bernafsu benar dengan tubuhmu.. manfaatkan yang ada ya sayang.. Aku terdiam seribu bahasa dengan kecamuk didalam hatiku. Tapi secara sadar aku mengakui.. hal inilah yang aku mau. Aku sendiri yang menginginkan perubahan. Akhirnya, aku mencoba menerima kenyataan ini, maksudku, aku merasa sepertinya aku tidak akan kenapa-kenapa dengan tidak hadirnya lagi Norman di dalam hidupku, Aku akan baik-baik saja, karena sepertinya, penggantinya sudah datang.. dan jauuhh lebih baik..
“Jadi Bu Resti..” Ujar Haris menghentikan pikiranku yang berlari kemana-mana.
“Ya Pak..” jawabku lemah dengan suara sedikit bergetar.
“Intinya.. kisah Ibu dengan Norman harus ibu akhiri sampai disini. Dan.. hmm.. kebetulan, saya juga tahu soal keberadaan ibunya. Bila Bu Resti berkenan, saya akan usahakan dia juga di ‘urus’ dengan baik oleh rekanan saya. Gimana menurut Ibu?”
“Maksud Bapak?” tanyaku bingung.
“Ibunya si Norman.. kita ‘bereskan’ sekalian aja ya?”
“Iya Pak Haris.. terserah Bapak aja..” jawabku pasrah. Anjing! Pikirku.. Haris adalah orang yang benar-benar nekat dan menakutkan. Jauh lebih nekat dari Norman. Jujur dari dalam hatiku, Aku salut dengan orang ini, justru aku yang sepertinya akan dan harus tunduk dengan orang ini.. Dan dengan kesadaran itu, aku merasa ada cairan nikmat yang mengalir lembut dari dalam selangkanganku. Aku mulai terangsang hebat dengan keberadaan Haris.
“Bu Resti..” ujar Haris lagi dengan tenangnya.
“Ya Pak..” jawabku semakin pasrah.
“Saya ke kamar mandi dulu ya..”
“Eh.. Iya pak.. silahkan…” jawabku singkat. Aku sadar, aku mengucapkan itu dengan nada mendesah yang manja sekali.
Lalu tak lama kemudian, dia melengos ke kamar mandi. Aku cuma bisa terdiam sambil, secara sadar, mengelus-elus kemaluanku sendiri. Aahh.. yang sabar ya sayang.. kataku kepada memekku yang mulai basah.. Kontolnya Norman memang gak akan pernah lagi masuk-masuk kedalam kamu sayang.. tapi gak lama lagi kamu bakal dapet gantinya.. Aaiihh.. kamu bakal di masukkin kontol gedenya Pak Haris.. Uuhh..
999Please respect copyright.PENANAvzOY2nKW6e
Namun jujur saja, ada air mata yang menetes saat itu.. sedih karena gak akan bertemu Kontolnya Norman lagi untuk selama-lamanya, namun pada saat yang bersamaan, senang dan bahagia karena Awloh dengan cepat, menyediakan kontol besar penggantinya.. Alhamdulilah Ya Awloohhh… terima kasih.. ucapku dalam hati sambil menyulut sebatang rokok A-Mild kegemaranku.
Setelah Haris balik dari kamar mandi, tiba-tiba dia bilang kalau dia harus segera balik ke kantor. Ada pesan singkat yang masuk ke hapenya. Ada beberapa surat dan dokumen yang harus dia urus dan tanda tangani.
“Jadi begitu ya Bu.. saya harus balik ke kantor dulu.. anak buah saya sudah menunggu..”
Anak buah, pikirku. Orang ini memang beneran harus di takuti.. dan mulai timbul rasa kagum dan banggaku akan Haris ini. “Iya Pak Bos..” jawabku.
“Jangan panggil saya Bos. Bu Resti tetap panggil saya Haris saja ya.. Ngomong-ngomong Ibu juga merokok?” tanyanya karena melihatku sedang klepas-klepus, aku hanya menjawab dengan anggukan. “Bagus..” lanjut Haris. “O iya…” ujarnya lagi, “..tadi Bu Resti kenapa? Kok bengong pas saya mau kamar mandi?”
Aku merasa kalau aku sudah gak butuh lagi basa-basi. Sudah nggak ada pagar lagi antara aku dan Pak Haris. Jadi, demi ‘kenalan lebih dalam lagi’, dan dalam rangka prosesku ‘melupakan’ Norman, aku kan mulai bicara apa adanya aja dengan Bos ganteng ini. “Nggak apapa Pak Haris..” Jawabku sambil suaraku sedikit aku manja-manjakan. “Agak kaget aja tadi pas Bapak bangun..”
“Kaget kenapa Bu Resti?”
Aku bangun dari tempat duduk, lalu berjalan pelan ke arah dia berdiri. Setelah posisi kami benar-benar dekat, aku sudah nekat, aku sapukan tanganku di selangkangan Pak Haris. “Ininya Bapak, tadi saya lihat juga ikut bangun rupanya.. dan sepertinya besar sekali..” kemudian aku sedikit menggenggam batang besar yang masih terasa BESAR itu. “..aiih.. masih terasa keras, Pak.. saya jadi penasaran kepengen lihat..”
“Oh begitu..” Ujarnya dengan tenang. “Kalau boleh, nanti malam saya kesini lagi ya Bu Resti.. saya akan bolehkan Bu Resti untuk melihatnya.. Itupun kalau Ibu masih penasaran kepingin lihat.. dan sudah tidak lagi memikirkan Norman..” Aku gak mau menjawab. Aku langsung peluk Pak Haris, dan langsung aku kulum bibir bawahnya. Ah.. Haris rupanya jago juga. Dengan gak kalah liar, dia langsung memeluk tubuhku, meremas kedua bongkahan pantatku dan membalas kulumanku dengan lebih liar lagi.
Tak berapa lama kemudian, disaat lidah kami saling berpagut, dengan tiba-tiba dia melepaskan pelukannya. “Saya harus balik ke kantor dulu ya Bu Resti. Nanti malam kita lanjutkan lagi.. ok? Setuju ya?”
Gila, tegas sekali orang ini. Wibawanya cukup membuatku tunduk dan takluk. “Siap Pak. Saya akan nurut sama perintah Bapak..” ujarku singkat, yang dengan herannya, dengan nada kepasrahan penuh, walaupun ini kentang banget.. tanggung banget!!
“Bagus!” katanya singkat. “Nanti malam Bu Resti mau dibawain apa?”
Aku tersenyum. Sekali lagi dengan nada pasrah dan tunduk, aku menjawab.. “Bapak bawa kontolnya Bapak aja saya sudah senang kok.. tapi yang sudah ngaceng yaa…“
“Bagus!” katanya lagi. “Buat anaknya mau dibawain apa?”
“Samain aja Pak..” Jawabku.
“Masa buat anaknya di bawain barang yang sama juga? Pamalik dong Bu Resti..”
“Nggak apa-apa Pak Haris.. samain aja..” kataku sedikit genit.
“Maksudnya gimana? Kok disamain?”
“Iya.. samain aja..” jawabku. Lalu aku peluk Haris sambil berbisik di telinganya. “..maksud saya, bawain aja kontol ngacengnya Bapak, buat di kenalin ke memek sempit bundanya Syafina.. Sekalian nanti dia saya kasih tahu, kalau laki-laki yang lagi nyobain dan ngerasain memek bundanya adalah calon ayahnya. O Iya.. nama calon anaknya Bapak, Sya.. Fi.. Na.. di ingat-ingat ya Pak.. nanti saya kenalkan..”
“Baik Bu Resti.. saya akan bawakan barang yang ibu minta.” Lalu dia juga balik memelukku dan berbisik di telingaku. “Kalau Bu Resti siap menjadikan anaknya sebagai calon anak saya, berarti Bu Resti juga harus siap saya hamili supaya saya punya anak.. gimana Bu Resti?”
“Siap Pak Haris..” jawabku sambil mengecup pipinya. “Makanya nanti malam, barang pesanan saya dibawa ya Pak…”
“Inshaallah..” jawab Haris singkat.
“Tapi Pak..”
“Tapi apa Bu Resti?”
“Saya pikir-pikir, daripada nanti malam, lebih baik sekarang ajalah Bapak mengenalkan kontol Bapak ke memek saya. Masa kontol bapak sekarang gak mau dikenalin dulu ke memek calon istrinya.. saya nggak mau Bapak kecewa..”
“Nanti malam saja ya Bu Resti.. dan saya sudah yakin, Bundanya Syafina pasti enak..”
“Iih Bapak..” godaku dengan nada manja. “Apanya Pak yang enak?” tanyaku lagi dengan genit sambil mengerlingkan mata kananku.
“Bibir Bu Resti lembut sekali.. pasti bibir bawahnya gak jauh berbeda..”
“Ih.. Pak Haris sok tahu..”
“Inshaalah saya nggak salah..”
“Alhamdulilah.. kalau bapak yakin..”
“Tapii.. sebelum saya pergi, saya mau lihat aja ya, apa yang ada di balik baju Bu Resti? Saya sempat merasakan tadi kalau sepertinya Bu Resti nggak pakai apa-apa di dalamnya, Saya cuma mau meyakinkan diri saya saja. Pasti boleh ya… sekalian mau saya foto..”
Aku agak malu sebenernya, tapi sudahlah.. aku sudah berjanji pada diriku untuk tunduk pada Haris ini. Makanya dengan kesadaran itu, aku segera menyingkap bagian bawah dasterku dan langsung memperlihatkan kemaluanku. Dan Haris, dengan tak kalah cepatnya, mengabadikannya dengan kamera hapenya. Terlihat senyum puas di bibirnya.. “Bagus!” Katanya singkat. “Lubang pipis Bu Resti beneran bagus.. dan sempit, sesuai dengan gambaran bekas suami ibu.. bagus.. bagus… wajahnya jangan di tutup dong Bu Resti.. buka lagi atasnya.. saya mau foto tetek ibu..”
Aku sudah mulai dikuasai oleh birahi. Ada nada memerintah yang cukup halus dari suara si Haris ini. Walaupun tidak sama dengan suara bentakan-bentakan kasar dari si Norman, namun suara Haris yang tenang ini, mempunyai nada hipnotis yang jauh lebih kuat dari Norman. Makanya, segera aku singkapkan dasterku lagi lebih keatas, sehingga kedua toket ranumku mulai terlihat oleh Haris. Dan kembali ada senyum puas di ujung bibirnya.
Lalu dia mulai meraba dan mengelus-elus selangkanganku. “Sudah boleh ya kalau nanti malam ini saya coba?”
“Cobainnya pakai apa Pak Haris? Tanyaku balik dengan nada genit sekali.
“Bu Resti maunya saya coba pakai apa?”
“Pakai apa aja Pak.. saya mau aja.. dan saya pasti bolehin kok..”
“Misalnya?” tanyanya lagi sambil tangannya terus meraba memekku.. bahkan mulai meremas kedua toketku bergantian.
“Mau pakai jari.. lidah bapak.. boleh Pak. Apalagi pakai kontolnya Pak Haris. Boleh banget. Eh.. ngomong-ngomong, punya Bapak, kontol apa titit?” godaku sambil kembali meremas selangkangannya.
“Bu Resti sudah pegang. Menurut Ibu apa?”
Aku menjawab dengan tegas sambil tersenyum manja. “Alhamdulillah KONTOL, Pak…”
Aku dan Haris tertawa pelan. “Bu Resti.. saya harap jangan marah ya kalau saya bertanya sesuatu..” ujar Haris tiba-tiba.
“Tanya apa Bapak?”
“Kecewa dengan keputusan saya soal Norman?”
Aku merasa ini adalah babak baru dalam hidupku. Maksudku, kalau aku masih bersama Norman, iya.. nafsu birahiku akan selalu bisa terpuaskan oleh kontolnya. Tapi aku dan Syafina butuh makan.. butuh uang.. Makanya dengan kesadaran penuh, aku memutuskan untuk bisa melupakan Norman. Dan harus bisa, dengan waktu yang teramat singkat ini, menerima Haris sepenuhnya dalam babak baru kehidupanku, demi masa depanku dan Syafina yang jauh lebih baik. Makanya untuk merespon pertanyaan Haris tadi, aku sengaja menjawabnya dengan, “Hmm.. Norman siapa ya Pak?”
“Bagus!” Ujar Haris tegas. “Mulai sekarang, Bu Resti harus bisa menerima saya..”
“Siap Pak Haris… saya sudah bisa menerima Bapak sejak saya melihat KONTOL Bapak..”
“Bagus!! Dan saya siap memuaskan Bu Resti… semuanya..”
Aku tersenyum. “Saya siap jadi apapun yang bapak mau.. Bapak mau anggap saya perek bapak, sekedar tempat bapak buang peju.. apa aja.. pokonya saya siap.. bahkan saya siap kalau Bapak hanya menganggap saya sebagai anjingnya bapak..”
Haris tersenyum puas. “Kalau Bu Resti siap jadi itu semua, Berarti Bu Resti harus siap jadi ibu untuk anak saya kelak! Bu Resti siap jadi istri saya? Bu Resti harus siap untuk menggantikan posisi istri saya, melawan keluarga besar istri saya, melawan keinginan keluarga besar saya, membuat istri saya semakin merasa tidak berharga.. Ok?” Aku tak menjawab, aku peluk Pak Haris dengan nafsunya, aku lumat bibirnya, mulutnya, aku sedot lidahnya kedalam mulutku.
Dan tak lama setelah itu, dia pun beneran pamit. “Sampai nanti malam Bu Resti..”
“Sampai nanti malam Pak Haris.. jangan lupa dengan pesanan saya..”
“Inshaalah Bu Resti..”
999Please respect copyright.PENANAwrnLh0Mv6l
Aaahhh… aku menarik nafas dalam. Diluar dari kegiranganku mendapatkan Pak Haris, aku tak bisa bohong.. hatiku berdebar, antara sedih, kecewa, marah, senang.. tak tahulah aku.. yang aku tahu, aku kehilangan Norman. Pria berkontol besar itu sudah tak akan lagi ada di hidupku, memekku tak akan pernah merasakan lagi hujaman-hujaman kasar kontol hitam panjang miliknya.. namun aku sadar, aku lebih membutuhkan uang dibandingkan kontol.. maksudku, kalo sekedar kontol, aku masih dengan mudah dapat mencarinya. Aahh.. pikiranku mengelana kemana-mana, tanpa sadar, aku menggosok dengan lembut kelentitku, aku sange.. dan ketika aku memutuskan untuk bermasturbasi, masih ada nama Norman terucap di ujung bibir mungilku yang nakal ini..
999Please respect copyright.PENANAUZFte9vB5D
Bersambung...
999Please respect copyright.PENANADQczRX1oiD
Ikuti Kisah Liar Resti Berikutnya.. yang jauh lebih seru.. ok?!
NEXT!!
ns 15.158.61.23da2