8 tahun yang lalu…
“Jadi… Mama baik-baik saja? Sungguh? Felisa sangat senang mendengarnya. Mama jangan terlalu banyak pikiran, Felisa janji akan sekolah dengan benar. Mama akan melihat nilai raporku yang bagus!” ujarku kepada Mama melalui telfon.
“Iyaa sayaang, kamu jangan patah semangat yaa. Mama baik-baik saja kok, hanya saja Mama belum bisa pulang ke rumah. Nanti malam papamu akan jemput kamu di rumah. Dia akan bawa kamu menemui Mama setelah pulang kerja,” jawabnya kepadaku.
Aku mengangguk dengan penuh kepercayaan, bahwa Mama pasti bisa sembuh. “Iyaa Ma, sampai bertemu nanti malam yaa. Aku mau bawa mobil ke sana, tapi aku belum punya sim. Papa melarang aku bawa mobil terlalu jauh, cukup sampai ke sekolah saja katanya.”
“Iyaa jangan bawa mobil ke sini sendirian. Iyaudah kamu pulang yaa, jangan lupa makan siang sayang. Kak William sudah datang di sini menemani Mama, sampai bertemu nanti malam yaa.”
Mama menutup telfon, sementara aku saat itu terdiam di parkiran mobil. Aku menghela nafas panjang, merasa kesal dengan ayah kandungku. Dia membiarkan kami hidup kelaparan selama bertahun-tahun. Telat makan dan makan 1 kali sehari, adalah hal biasa bagi kami.
Namun untuk aku yang masih kecil, hal ini mungkin tidak terlalu masalah. Namun untuk Mama ini malah membuatnya menderita tukak lambung. Bahkan sampai ada beberapa bagian lambungnya yang berlubang.
Dan ketika mama sudah sakit, ayah malah menceraikan mama begitu saja. Panggilanku dulu kepada mama adalah ibu. Namun semenjak menikah dengan papa Alex. Panggilan aku ke orang tua diganti dari ayah ibu menjadi papa mama.
Itu sebabnya aku memanggil ibu sebagai mama, sedangkan ayah kandungku tetap aku panggil dengan sebutan ayah. Sekarang ayah kandungku entah berada dimana, yang penting mama sudah bersama orang yang tepat sekarang.
“Heeeyy! Felisa, kenapa lu bengong aja di sini?”
Aku seketika kaget, ketika ada seorang laki-laki dari belakang menepuk kedua pundakku dengan sangat keras. Aku membalikkan badan, dan langsung memarahi teman SMA yang selalu saja jahil kepadaku.5553Please respect copyright.PENANAwPaYK2HeXe
5553Please respect copyright.PENANAL9L2mQJ3nh
“Faarizz! Gak bisakah lu kalo nyapa gue dengan cara baik-baik! Gilaa! Gue lagi banyak pikiran, lu malah main ngagetin gue begitu aja!” bentakku kepada Fariz saking kesalnya. Dia selalu saja bertingkah jahil dan iseng banget setiap harinya.
Bahkan Fariz candaannya juga kadang mesum banget. Tapi karena aku dan Fariz udah temenan sejak kelas 1 SMP. Jadinya aku udah terbiasa dan menerima tingkahnya itu. Meskipun menyebalkan, jasa Fariz kepada keluargaku sangat besar.
Lebih tepatnya jasa Fariz saat mama belum menikah dengan papa Alex. Dulu rumahku dan Fariz berdekatan, iyaa kami bertetangga. Fariz sangat sering mengambil makanannya diam- diam untuk diberikan kepadaku dan mamaku.
Karena dia tau aku dalam kondisi yang sangat membutuhkan makan. Itu sebabnya aku selalu bisa menerima tingkah buruknya itu. Meskipun di sisi lain, aku juga memiliki perasaan sayang kepadanya. Hanya saja kami berdua masih main gengsi-gengsian.
“Hahaha lu mah jadi cewe kagetan banget sih. Anterin gua pulang dong! Gua kehabisan ongkos nih buat naik angkot. Gilee sekarang lu kemana-mana udah naik mobil sendiri. Mana mobil lu cakep banget lagi,” jawabnya yang minta untuk diantar pulang.
Aku memejamkan mata dan kembali menghela nafas, sudah berapa kali hari ini aku menghela nafas panjang. “Iyaudah buruan naik! Gue mau jengukin nyokap gue jam 6 sore. Jadi gue harus pulang lebih awal dari biasanya.”
Aku masuk ke dalam mobil, dan beberapa saat kemudian Fariz juga ikut masuk ke mobil bersamaku. “Nyokap lu masih belum membaik Sa?” tanyanya yang menanyakan kondisi mamaku.
“I-Iyaa begitu lah. Belum membaik sampai sekarang.”
“Pantes lu sering bengong akhir-akhir ini. Biasanya seorang Felisa itu selalu cerewet, bawel, dan setia. Iyaudah gua doain nyokap lu cepet sembuh,” jawabnya yang tersenyum begitu manis kepadaku.
“Hahaha sok perhatian banget lu sama gue, anjing!”
“Nyehh, dikasih perhatian malah kaya gitu. Gua aja kalo dikasih perhatian sama lu nerima kok. Janganlah duit sampai merubah sikap dan perilaku lu, Sa,” keluhnya yang melihat sikapku akhir-akhir ini memang sangat kasar kepadanya.
Namun aku memilih untuk diam dan tidak menjawab perkataannya. Aku tau bahwa aku salah telah berkata kasar kepadanya. Aku kemudian menyalakan mesin mobil, lalu mengantarnya pulang ke rumah.5553Please respect copyright.PENANAl08FAZdIZM
5553Please respect copyright.PENANA2rDz0NbHwE
Setelah mengantar Fariz pulang, aku langsung tancap gas menuju ke rumah. Saat itu situasi rumah sangat sepi, hanya ada beberapa pembantu dan supir di rumah. Aku berjalan naik ke lantai dua, sesampainya di atas, aku melihat papa yang sedang duduk di ruang keluarga.
“Loh? Papa gak kerja kah? Kok tumben jam segini Papa udah di rumah?” tanyaku yang merasa kaget, karena gak pernah papa jam segini ada di rumah.
Aku saat itu salim kepada papa yang sedang membaca koran. Papa terlihat tersenyum manis kepadaku kala itu. Usianya yang masih 41 tahun, masih menunjukkan wajahnya yang sangat tampan dan gagah.
Kulitnya begitu putih bersih, sorot matanya yang terlihat ramah, serta senyumannya yang begitu manis. “Iyaa, Papa kan mau nganterin kamu ke rumah sakit. Kondisi Mama tambah parah hari ini. Jadi Papa memutuskan untuk pulang lebih cepat.”
Papa tiba-tiba menarik tubuhku, hingga tubuhku terduduk di atas pangkuannya dengan posisi membelakanginya, “Ohh… i-iyaa Pa. Felisa mandi dan siap-siap dulu yaa, nanti setelah Felisa mandi kita berangkat. Kita mau berangkat sekarang Pa?”
Papa memeluk tubuhku dari belakang, aku yang saat itu hanya menggunakan celana dalam. Aku merasakan ada gundukan besar dan keras menyentuh selangkanganku. Sambil dalam posisi seperti ini, dia mengajakku berbincang.
“Kita berangkatnya nanti saja sekitar jam 5 sore. Sekarang kamu istirahat dulu aja Felisa. Kamu sekarang sudah semakin cantik yaa? Udah punya pacar belum di sekolah?” tanya Papa yang kedua tangannya mulai mengelus kedua lenganku.
“A-Aku belum punya pacar Pa. Aku belum berani pacara, soalnya Papa kan melarang aku pacaran dulu. Makasih banyak Pa untuk pujiannya,” jawabku yang sudah mulai merasa curiga kepada papa. Namun saat itu dia membuat aku terbawa suasana dengan perlahan.
Papa mencium rambut panjangku yang panjangnya sampai sepunggung tengah. Hembusan nafasnya mengenai belakang telinga dan leherku. Saat itu aku hanya terdiam, leherku memang begitu sensitif jika terkena nafas lawan jenis.
Rasanya sangat geli dan membuat aku agak merinding. “Jadi kamu memang anak yang sangat penurut yaa? Kamu sudah cantik seperti mamamu, sifat penurut dan penyayangnya juga menurun ke kamu. Papa seneng banget punya anak seperti kamu.”
Tiba-tiba papa mulai menciumi leher belakangku, dia menciumi leher belakang sampai ke telinga belakangku. Tubuhku seketika bergidik, rasanya sangat geli tidak tertahankan. “Paa… Kok Papa cium leher aku kaya gini sih? Aku kegelian Pa, Papa mah jahil banget iihhh.”
ns 15.158.61.20da2