Chapter 11: My Nephew
“AKU TIDAK PEDULI. SAMPAI AKU MATIPUN, AKU TIDAK AKAN MENGAKUINYA! BAHKAN WALAU HARUS MASUK NERAKA SEKALIPUN.”
Perkataan itu sanggup membuat Eun Kyo menjatuhkan gelas yang sedang dipegangnya. Ia menatap ke arah pecahan itu dengan tatapan kosong sedangkan pihak yang menjadi lawan bicaranya di seberang berusaha menahan nafas yang memburu. Hatinya terkoyak, sungguh perasaannya terluka ketika mendapati keponakannya saling membenci dan memusuhi seperti ini. Bahkan lebih parah lagi.
Mereka siap saling membunuh satu sama lain.
Eun Kyo tersadar dari lamunannya dan mulai berkata dengan panik. “Sana! Tunggu dengarkan-
Tut.
Belum siap ia berbicara sambungan itu diputuskan secara sepihak. Eun Kyo menatap layar ponselnya yang hitam dengan wajah sendu. Ia tidak menyangka kenapa hubungan ini semakin lama semakin retak dan dalam. Eun Kyo sudah berusaha sebisa mungkin untuk bersikap baik dan adil. Ia ingin bersikap sebagai pelindung bagi ketiga keponakannya namun jika sudah begini siapa yang akan ia lindungi?
Mungkin bagi Sana dan Yong Bin mereka dapat berbuat apa pun yang mereka inginkan dengan suka hati dan ria tanpa takut dikekang ataupun diawasi oleh nenek mereka. Tetapi.. Yong-gi berbeda. Gadis itu selalu sendirian sejak kejadian yang menyakitkan itu. Luka lama yang tidak akan sembuh-sembuh. Gadis berambut hitam itu berjalan sendiri di jalanan penuh duri. Ia sudah dibuang namun gerak-geriknya tetap dibatasi dan diawasi seolah memberikan hukuman paling menyakitkan bagi seorang Jung Yong-gi.
Gadis kecil itu sudah tumbuh menjadi mayat hidup.
Eun Kyo seringkali mendengar kabar bahkan melihat sendiri bagaimana gadis itu terkadang penuh luka di sekujur tubuhnya atau seringkali melakukan tindakan berandal untuk melampiaskan kekesalannya kepada orang yang terlebih dulu menganggu gadis itu. Gadis itu sering kabur ke mana pun sehingga butuh waktu yang lama untuk menemukannya.
Tetapi syukurlah gadis kecil itu tumbuh menjadi remaja yang kuat sehingga melihat ia terkadang menampakkan diri atau sekedar mendengar kabar bahwa dia di Korea dalam keadaan selamat sudah membuat Eun Kyo sangat lega.
Sekarang di saat aturannya Yong-gi menjalankan kehidupan SMA dengan normal setelah terpaksa dikirim untuk melakukan pertukaran belajar, ibunya –nenek Yong-gi- malah membuat acara pertunangan sepihak. Eun Kyo tidak dapat melawan perkataan ibunya hingga ia berusaha membawa Yong-gi dengan mengancamnya perihal ibunya agar gadis itu menurut.
Sebenarnya Yong-gi selalu menurut tetapi tetap saja tidak ada yang mengerti dirinya.
Seringkali Eun Kyo bersyukur bahwa kakaknya telah memberikan aset tersendiri untuk Yong-gi begitupula keluarga besar yang masih mengakui Yong-gi secara tertulis sebagai bagian dari keluarga mereka.
Mungkin tidak karena Eun Kyo sering mendengar Yong-gi berdecih saat diminta menangani aset-aset yang diwariskan kepadanya.
“Untuk apa aku memilikinya? Bagiku lebih baik mereka benar-benar membuangku agar aku tidak perlu menjadi tawanan lagi setidaknya saat aku mati aku tidak perlu berada di bawah bayang-bayang mereka.”
“Kenapa kau tega berkata seperti itu? Orang tuamu tentu tidak menginginkan hal seperti itu terjadi,” ucap Eun Kyo saat itu dengan wajah marah.
Yong-gi tersenyum sarkastik. “Tetapi mereka sudah mati. Mati berarti benar-benar mati.”
Yong-gi yang saat itu berumur 14 tahun berkata hal sepahit itu dengan wajah sendu. Eun Kyo menahan tangisnya. “Tapi kau punya Bibi.”
“Biarkan aku sendiri Bibi.” Gadis itu berkata sebelum meninggalkan tempat itu meninggalkan Eun Kyo seorang.
**
“Astaga Nona. Biarkan aku bereskan pecahan kaca itu.”
Perkataan salah seorang pelayannya membuat Eun Kyo terkejut hingga ia hampir saja menginjak beling di depannya jika ia tidak punya reflek yang bagus. Pelayan itu memintanya untuk keluar sebentar agar tidak mengenai atasannya dan Eun Kyo menerima permintaan itu dalam diam. Ia melangkah keluar dan mendapati kaki tangannya menatap Eun Kyo dengan wajah penuh arti.
“Nona, saya sudah mengecek di bandara dan saya mendapatkan informasi bahwa Nona Yong-gi pergi ke Belgia.”
Eun Kyo menatap potret lukisan keluarganya dengan pandangan serius hingga pandangan tertuju pada satu objek.
Lelaki itu kembali melanjutkan perkataan setelah yakin bahwa atasannya tidak berniat untuk bertanya. “Apa saya harus mencarinya sekarang juga Nona?” kata lelaki itu lamat-lamat.
“Tidak. Jangan. Belum. Biarkan keadaannya menjadi tenang dulu baru aku akan memintamu untuk mencari keponakanku. Sekarang pergilah.”
“Baik Nona, saya permisi dulu.”
Selama beberapa saat Eun Kyo hanya berdiri di depan potret itu dengan pandangan menerawang. Ingatannya berputar-putar ke masa lalu walau kepalanya pusing saat peristiwa itu terjadi berurutan hingga membuat Eun Kyo terpaksa membungkukkan badannya sedikit. Wajahnya berusaha menelan kenyataan pahit itu dengan lapang dada walau ia masih belum menerima takdir ini.
Takdir yang begitu menyakitkan seolah dari situlah akar permasalahan yang tak berujung ini terjadi.
Kalau saja kejadian itu tidak merenggut banyak nyawa.
Kalau saja aku tidak terlalu sibuk mementingkan urusan pribadi.
Kalau saja aku lebih peka dan sensitif.
Kalau saja aku lebih berani.
Kalau saja aku mampu merangkul Jung Yong-gi.
Eun Kyo mengangkat wajahnya dan menelusuri potret itu dengan jarinya hingga berhenti di wajah seseorang.
Eun Kyo tersenyum pedih. “Kalau saja Unni tidak pergi bersama Oppa meninggalkan mereka.....”
Mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.
**
Paginya Eun Kyo berjalan tergesa-gesa hingga akhirnya tujuannya pun telah di depan mata. Ia menatap pintu itu lama karena ia membutuhkan keberanian yang cukup untuk menemui seseorang di balik pintu ini. Eun Kyo membalikkan tubuhnya cepat tetapi ia berhenti lagi. Ia dilema. Apakah harus menemui orang itu atau tidak.
Tapi ia membutuhkan bantuan orang itu.
Ketukan yang sangat pelan itu membuat Eun Kyo ragu apakah seseorang di dalam sana mendengarnya atau tidak. Ia tidak ingin memencet bel. Menurutnya dengan mengetuk pintu dengan pelan ini bisa saja menjadi semacam lotre, jika orang itu membukakan pintunya berarti keputusannya tepat tetapi jika tidak maka Eun Kyo tidak akan ragu untuk segera menganjakkan kaki dari sini.
Lima belas detik berlalu dan Eun Kyo yakin keputusannya salah maka dari itu ia berbalik dan berjalan lambat. Sesuatu menahan kakinya untuk melangkah cepat-cepat.
“Eh? Bukannya ada seseorang yang mengetuk pintu?”
Sepatu tinggi Eun Kyo menghasilkan goresan di lantai saking terkejutnya wanita itu saat mendengar suaranya. Ia berbalik dengan langkah cepat dan membuat pemilik pintu itu terkejut bukan main.
“Bisa kita bicara sebentar?”
ns 15.158.61.46da2