Alvi menghembus napas lelah setelah bertarung hanya beberapa menit. Normalnya ia tidak semudah ini lelah. Tapi berkat gas beracun yang dikeluarkan Owen, staminanya semakin cepat terkuras. Tidak hanya ia sendiri saja yang cepat lelah. Kaum Naga yang terjebak di dalam coloseum juga mengalami hal serupa.
“Selamat tinggal subjek 4-42-1. Alvi Veenessa Endley.” Lycan tersenyum menang dari persembunyian di tengah pertarungan di dalam colosseum.
Sebuah pisau kecil melesat menuju titik buta Alvi dan sebelum wanita itu sadar, seseorang telah mementalkan senjata tajam itu. Alvi berbalik dan mendapati pria asing tadi siang muncul memunggungnya.
“Kau—” Lycan tidak menyangka ada orang yang bisa membaca serangan pisau setipis kertas itu.
“5 tahun aku melacak jejakmu serta sisa prajurit terkuat Samsara. Aku sangat berterima kasih kau tidak langsung membunuhku sewaktu berpapasan di kota pelabuhan Bargescrow.” Gelandangan gila yang sering ditemui Lycan menunjukkan kewarasannya kembali.
“Raka Gilbert,” geram Lycan menyesali keputusan bodohnya itu.
Raka menyibak rambut panjangnya ke belakang sebelum mengikatnya menjadi ekor kuda. Wajah yang sangat dikenal Kaum Naga dan juga Alvi terlihat jelas.
“Raka….” Alvi bergumam nyaris tidak mempercayai matanya sendiri.
Raka mengubah senjata-suci menjadi dua buah pedang kembar yang digenggam pada masing-masing tangan. Kehadiran senjata-suci itu semakin menguatkan identitasnya. Dia sungguh adalah Raka Gilbert Vaiskyler. Putra Arken serta sosok penting dibalik keruntuhan Samsara.
Raka memposisikan pedang kanan di bahu, sementara pedang kiri dibuat sejajar di depan dada. Setelah itu ia melompat menerjang kepada Lycan yang jauh di atas bangku penonton. Kilau dari dua senjata yang beraduan terlihat di bangku penonton teratas. Raka tampak mendominasi, namun Lycan sendiri tidak terlihat akan kalah.
Senjata sebesar ukuran tubuh Lycan diayun sekuat tenaga kepada Raka. Jika memilih menangkis, maka tenaga Raka tidak akan cukup untuk menahan besarnya stamina Lycan. Raka mengambil satu langkah ringan ke belakang dan ujung mata pedang besar Lycan melewati secara horizontal persis di depan wajahnya.
Ketika senjata Lycan menghantam dinding di sisi kanan, Raka langsung mendorong tubuhnya ke arah musuh. Jarak diantara mereka sedikit terlalu jauh dan pedang kembar Raka tidak cukup panjang menjangkau sang lawan.
Meski tahu fakta itu, Lycan tetap berinisiatif mundur jauh. Mata pedang besarnya bergesekan dengan permukaan dinding hingga menciptakan satu garis melintang yang cukup panjang dan dalam.
Raka tentu saja tidak akan membiarkan lawannya mundur dengan mudah. Ia melempar salah satu pedangnya dan Lycan refleks memiringkan kepala mengelak.
“Sayang sekali,” komentar Lycan menyayangkan serangan sia-sia Raka.
Namun satu hal yang tidak diduga Lycan adalah sosok Raka sudah tidak lagi berada di depan matanya. Ke mana lelaki itu pergi? Lycan mencari-cari setengah panik.
TRANGG!!! Bunyi senjata beraduan dari belakang Lycan menyadarkan lelaki bertubuh besar itu akan posisi lawannya.
“Jangan lengah, Lycan. Lawanmu sekarang adalah orang yang dulu menghancurkan Samsara.” Si nomor 2, Sebut-Saja-Melati, menangkis serangan Raka untuk Lycan.
“Aku mungkin tidak ingat wajahnya. Tapi pedang kembar itu tidak akan pernah bisa aku lupakan. Pedang itulah yang melukai Lady,” geram Melati dalam murka.
Raka Gilbert Vaiskyler menatap secara bergantian pada kedua prajurit terkuat Samsara. Kedua pedangnya digenggam sangat erat seolah ia sedang bertarung dengan kemarahannya sendiri.
“Nomor 5, Latief dan nomor 9, Hanruo sudah membereskan yang di luar. Sebentar lagi mereka akan menyusul masuk.” Sebut-Saja-Melati memberitahu.
“Aku akan berhati-hati. Kau bantu aku bereskan subjek 4-42-1.” Lycan terpaksa menyerahkan tugasnya pada si nomor 2.
Sebut-Saja-Melati mengangguk iya. Ia melompat turun ke bangku tengah. Jemarinya menjentik seolah sedang mengendalikan. Sesuatu yang tak terlihat bergerak dalam pola acak ke arah Alvi yang mulai disibukkan oleh prajurit Kaum Arina.
Kali ini Alvi tidak lengah. Tangannya bergerak gesit menyambut benang-benang teramat tipis yang terhubung ke jemari Melati. Api kematian berkobar ganas dan merambat cepat menuju Melati.
Melati dengan tenang memetik benang tersebut. Getaran yang dihasilkan melenyapkan api kematian begitu saja. Petikan kedua membuat benang menjadi berlipat ganda. Lalu petikan ketiga pilinan benang telah mengepung Alvi.
Alvi bisa melihat jalinan benang-benang tipis di sekelilingnya. Ia coba mengerahkan api kematian yang lebih besar. Tapi api yang seharusnya bisa membakar habis apa saja itu tidak berkutik melawan benang milik Melati.
Situasi serupa juga pernah ia alami sewaktu melawan sang kostum kelinci di Alice Nebula. Apakah Samsara berhasil menemukan cara menundukkan api kematian?
Melati melakukan petikan keempat sekaligus petikan terakhir.
“Alvi!” Freya dan Arken bersama-sama melompat memposisikan diri sebagai tameng pelindung Alvi.
Sedikit terlambat, namun api beku Arken setidaknya berhasil menghentikan benang milik Melati. Sayangnya baik Freya maupun Arken sama-sama menerima luka gores yang cukup dalam ketika menerobos masuk ke dalam jalinan benang.
“Kau baik-baik saja, nak?” Freya lebih mencemaskan Alvi dibanding dirinya.
“Bibi, paman… aku….” Alvi tidak tahu harus berkata apa. Seumur hidup ia belum pernah melihat paman dan bibinya berlumuran darah seperti ini.
“Tidak apa-apa. Kami ada untukmu.” Freya memeluk Alvi berusaha menenangkan anak itu.
“Tuan.” Henry Aditya Kane tersengal-sengal ketika menghampiri Arken. Dilihat dari kondisinya, kepala keluarga lain juga sudah mencapai batas.
“Apa kita sama sekali tidak bisa menerobos keluar?” Arken bertanya.
“Dengan kondisi seperti ini, kurasa… mustahil.” Henry menyayangkan.
Raka sendiri mulai terdesak oleh Lycan. Kakinya mendarat sempurna tak jauh dari Alvi dan juga ayah-ibunya. Ia sendiri juga hampir mencapai batas.
“Aku akan membuka jalan,” ujarnya seperti tahu pembicaraan di sana.
“Raka….”
“Nak….”
Arken dan Freya sama-sama memanggil anaknya itu.
“Ayah, ibu, aku… minta maaf….” Raka berkata singkat tanpa berani menatap wajah kedua orangtuanya. Satu kalimat itu membuat mereka yang dengar sadar bahwa Raka Gilbert Vaiskyler tidak pernah menjadi gila. Dia selalu sekuat tenaga dan tidak pernah mengecawakan siapapun.
“Akan aku jelaskan setelah keluar nanti,” sambungnya.
Tapi tentu saja Lycan dan Sebut-Saja-Melati tidak membiarkan Raka berbuat sesuai keinginan. Keduanya serempak menyerang Raka dan terjadinya pertarungan dua lawan satu. Semakin lama mereka mengulur Raka di dalam sini, maka mereka akan semakin diuntungkan.
Raka jelas sangat sadar akan hal ini. Ia tidak bisa terus-terusan bertarung sambil memikirkan cara menghemat tenaga. Setelah menghindar beberapa kali, akhirnya Raka memutuskan maju dengan kekuatan penuh.
Teknik beserta gaya bertarung Raka berubah total. Pedang kembar disatukan di bagian pangkal gagang dan membentuk senjata baru berupa tombak bermata dua. Tombak diputar, dimainkan dengan sangat terampil hingga mampu mementalkan ayunan pedang besar Lycan dengan mudah.
Di saat Lycan kehilangan sedikit keseimbangan, Raka memanfaatkan celah kecil ini untuk menerobos ke pertahanan belakang Lycan.
Target pertama Raka adalah si prajurit nomor 2. Sebenarnya tidak sulit berhadapan dengan Melati. Selama bisa membaca pergerakan jari tangan, maka arah benang bisa dengan mudah diikuti. Cukup berhati-hati saja dan jangan sampai terjerat.
Sama halnya dengan kematian Owen dan Daus. Ketika Raka membelah dada Sebut-Saja-Melati, sesuatu menjijikkan yang mirip tentakel berdiameter kecil menyeruak keluar menyambar melilit tangan serta pinggang Raka.
Spontan saja Raka memisahkan tombak bermata dua menjadi pedang kembar. Dengan satu tangan yang masih bebas ia memotong tentakel itu dan melompat jauh ke tengah colosseum. Sial! Raka melupakan satu hal krusial ini!
Tentakel merespon cepat mengejar Raka. Sementara cairan darah yang keluar dari tubuh Melati mengalir turun ke tengah-tengah arena pertarungan. Dari balik genangan darah Melati, muncullah lapisan lunak berwarna merah muda dengan tentakel-tentakel halus yang menjalar keluar layaknya sulur.
Namun benda itu seolah bukan ancaman besar dihadapan sang pemimpin Kaum Naga. Arken menjentikkan jarinya dan api putih kebiruan langsung menyebar membekukan tentakel sekaligus raga utama Melati. Lalu Alvi menambahkan api kematian dan kombinasi itu berhasil membakar habis tentakel beserta tubuh Melati.
Di saat Kaum Naga mengira lawan yang tersisa tinggal Lycan seorang, dinding colosseum dihantam kuat hingga berlubang besar. Sesosok makhluk bertubuh besar gempal, berjirah lengkap menghujam palu raksasanya ke tanah. “Lycan, kau baik-baik saja di dalam?” Hanruo, si prajurit terkuat Samsara nomor 9 menyapa dengan intonasi menyindir.
Di samping Hanruo berdirilah sosok lain denga tubuh kurus kecil namun memiliki wajah paling licik. Latief, si nomor 5 menyunggingkan senyum merendahkan sambil menyapu pelan seisi colosseum dengan mata sipitnya.
“Tak kusangka nomor 2 dan 3 bisa kalah di tempat seperti ini.” Latief menyayangkan namun tidak terlihat sedih sedikitpun.
“Kalian datang di saat yang tepat. Apa di luar sudah dibereskan semua?” Lycan sedikit lega melihat dua rekannya datang tepat waktu.
Hanruo dan Latief sama-sama masuk ke dalam colosseum. “Hampir selesai. Tinggal si nomor 4 saja yang sedang diurus Lucie,” jawab Hanruo.
“Lucie? Dia ada di sini?” Nama yang sama sekali tidak diduga Lycan. Bukankah Lucie sedang bersama Bunny di Alice Nebula? Kenapa dia bisa muncul di Tanah Agra?
“Benar, Lucie bilang, nomor 4 adalah target yang dikejar dari Alice Nebula.” Masih Hanruo yang membalas. “Kalau tidak salah ingat nomor 4 itu sebenarnya bernama asli Jul… Ka—apa?” Ia berpaling meminta bantuan Latief.
“Kane. Tepatnya Julius Aditya Kane.” Latief memiliki ingat yang lebih tajam.
Entah disengaja atau tidak, percakapan itu sepertinya sukses menciptakan ketegangan diantara Kaum Naga. Henry Aditya Kane dan Arken saling berpandangan. Mereka-lah yang paling syok sekaligus yang paling menolak mempercayai ucapan prajurit Samara itu.
Suara langkah lain terdengar memasuki colosseum. Langkah itu terdengar berat seolah sedang menyeret sesuatu. Pada detik itu juga, apa yang dilihat Kaum Naga dan juga Alvi sama sekali tidak bisa mereka lupakan.
Julius Aditya Kane diseret masuk dengan posisi menghadap ke pemukaan tanah. Kerah belakang kemejanya dicengkeram kuat oleh seseorang bertopeng putih polos dengan hanya satu lubang mata dibagian kiri saja.
Julius malang dibawa masuk hingga ke tengah arena dan dihempas begitu saja di dekat Kaum Naga. Tubuhnya tampak bersimbah darah dan sama sekali tak berdaya menerima perlakukan kasar itu. Ia bahkan tidak bisa bersuara sedikit pun meski dirinya merasa sangat kesakitan.
Henry Aditya Kane buru-buru memeriksa kondisi anaknya. Tulang rusuknya patah beberapa. Pendarahan organ dalam tapi syukurlah Julius masih bernapas… Dia masih hidup.
Di sisi lain, Lucie maju dengan langkah tenang tanpa mengacuhkan tatapan dendam bercampur marah dari Kaum Naga. Tangannya menggenggam Silva dengan sangat erat, sementara pandangannya lurus kepada Lycan.
“Jadi kecurigaanku benar. Kau mengkhianati Samsara, Lucie.”
194Please respect copyright.PENANAJtZR2v8cfc