Perintah Lady dilaksanakan tiga hari kemudian. Bunny dan Lucie berpencar menyusup ke Alice Nebula. Masing-masing mereka memegang daftar nama tersendiri. Tidak ada yang tahu pembunuh diam-diam yang mereka lakukan sejak tengah malam hingga dini hari. Tampaknya kedamaian selama 5 tahun benar-benar membuat Alice Nebula lupa akan musuh-musuh mereka dan terlena hidup di balik dinding baja yang mereka bangun.
Satu hunjaman mengakhiri hidup seorang menteri dalam negri Alice Nebula. Di dekat mayat lelaki tua berperut buncit itu tergeletak mayat istri serta dua orang anak yang masih sangat kecil.
Lucie mengeluarkan secarik kertas dan mencoret nama Hillsnow. Tersisa dua target lagi. “Goukana dan Kane….” Ia membaca dua nama yang belum dicoret.
Goukana adalah keluarga dari jendral tertinggi tim elite Alice Nebula. Lucie dan Bunny membagi perburuan keluarga ini menjadi dua; Ginji Goukana, sang kepala keluarga yang sedang disibukkan oleh kerusuhan yang Bunny ciptakan. Sementara tugas Lucie adalah membunuh sisa anggota keluarga Ginji Goukana.
Rumah keluarga Goukana bukanlah rumah mewah. Mereka tinggal di perumahan khusus karyawan Nebula Tower. Satu keluarga terdiri atas istri dan seorang anak yang masih berusia 7 tahun.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Lucie memilih memencet bel rumah dan Sasha Muller, istri Ginji Goukana langsung membuka pintu. Ekspresi wanita berkacamata itu sontak berubah menjadi curiga saat melihat tamu bertopeng putih polos.
Tanpa berkata apa-apa Lucie memaksa masuk dengan cara mendorong Sasha. Pintu tertutup dan langsung terkunci secara otomatis. Lucie membiarkan Sasha berlari gesit masuk ke dalam rumah dan meraih telepon. Secepat-cepatnya wanita itu menekan nomor telepon, tetap saja kalah dari senjata rantai milik Lucie.
Senjata berupa untaian rantai hitam yang bisa memanjang dan memendek dengan ujung berupa segitiga lancip berwarna kuning keemasan itu menembus badan telepon. Alat komunikasi itu rusak dalam hitungan detik.
Sasha tidak kehilangan akal. Ia perlahan-lahan mundur ke belakang seraya berusaha meraba pistol yang tersimpan di kolong meja. Sementara itu, senjata rantai Lucie mulai bergerak menarik diri dari telepon dan melingkar mengeliling penggunanya. Ujung lancip terangkat tertuju pada sang istri dan menambah kesan intimidasi. Rantai itu tampak seperti hidup.
“Jangan mendekat.” Sasha mengangkat tinggi pistol yang berhasil ia raih. Jempolnya telah menarik pelatuk.
“Ibu, ada apa? Kenapa berisik sekali.” Seorang anak berusia 7 tahun berjalan keluar kamar dengan mata ngantuk. Dia adalah putri bungsu Ginji Goukana.
Melihat anaknya keluar kamar, Sasha Muller buru-buru mendekap tubuh kecil putrinya. Pistol tak lupa diacungkan kembali pada Lucie.
Lucie tidak berusaha mencegat. Ia membiarkan wanita itu berpindah dan dirinya mengawasi dalam bisu. “Kalau kau memberitahu aku di mana Kane, aku bisa melepaskan putrimu.” Lucie memberi penawaran.
“Julius Aditya Kane? Jangan konyol, kau tidak bisa menemukan dia makanya bisa memberi penawaran seperti ini.” Sasha bukanlah orang bodoh.
Lucie duduk nyaman di sandaran sofa di ruang tamu. Bersamaan dengan itu, senjata rantai kembali meliuk gesit merebut pistol dari tangan Sasha. Peluru jatuh berdetingan ketika sang rantai merebut badan pistol.
“Jangan mempersulit keadaan. Beritahu aku dimana Kane dan aku segera pergi.” Lucie berkata santai.
“Jangan mimpi!” Sasha tetap bungkam sambil memeluk putrinya semakin erat.
Menanggapi penolakan Sasha, senjata rantai sontak merebut putri Ginji Goukana dan menjauhkannya dari Sasha. Sebuah lilitan kuat di tangan kiri sang putri sedangkan ujung mata rantai telah menembus bahu anak malang itu.
Jeritan kesakitan memenuhi seisi rumah. Sedangkan Sasha menatap syok pada cipratan darah anaknya. Hatinya mulai gentar.
“Di mana Kane?” Lucie mengulang pertanyaan dengan intonasi datar.
Sasha masih bersikeras.
“Berikutnya adalah kaki….” Lucie dengan gampang menentukan titik target berikutnya. Ia ingin melihat siapa yang lebih keras kepala. Dirinya atau Sasha Muller.
Rantai menembus bahu putri Ginji Goukana dan berpindah menuju kaki. Kali ini yang direngut adalah kedua kaki. Tepatnya dibagian lutut.
“Cukup! Cukup!” Sasha Muller akhirnya menyerah. “Julius Aditya Kane bersama Alvi Veenessa Endley pergi ke Tanah Agra. Dua bersaudara Waldermar juga ikut.”
“Ada apa di sana?” Lucie bertanya penasaran.
“Katanya ada semacam kontes dan semua Kaum Naga dikumpulkan. Me—mereka sudah berangkat sejak dua hari lalu.” Sasha membeberkan semuanya.
“Tanah Agra….” Lucie mengulang nama tempat yang tidak asing di telinganya. Tanah suci Kaum Naga. Rumah bagi makhluk raksasa penguasa langit. Namun semenjak diserang Kaum Arina, tanah itu telah kehilangan seluruh kekuatannya. Tanah Agra lumpuh dan karam di atas daratan Beta Urora.
“Terima kasih.” Lucie bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Sepintas ia telihat seperti menepati ucapannya. Tapi di belakang, senjata rantai telah mencabik-cabik Sasha Muller serta putrinya.
Rantai menyusul Lucie di depan pintu rumah yang sudah terbuka lebar. “Kau sedikit kotor,” celetuk Lucie saat melihat badan rantai yang semua hitam telah berubah menjadi merah pekat.
Sang rantai seakan merespon ucapan Lucie. Detik berikutnya, permukaan rantai menyerap noda darah tersebut. Setelah itu senjata berubah wujud menjadi sebuah gelang rantai tipis yang melingkari pergelangan tangan kanan Lucie.
Lucie merapikan jubah. Tudung dinaikkan menutupi kepalanya sebelum ia meninggalkan kediaman Goukana. Dengan demikian, yang tersisa dari daftar buruan Lucie hanyalah Julius Aditya Kane. Sepertinya mau tidak mau ia harus berkunjung ke Tanah Agra.
ns 15.158.61.20da2