17 tahun kemudian di provinsi Yi Lu.
Provinsi ini terletak disebelah barat daya dari Alice Nebula, di mana Alice Nebula sendiri merupakan pusat Beta Urora sekaligus kota yang disebut-sebut sebagai pertahanan terakhir Kaum daratan terhadap kekuatan Samsara.
Yi Lu ditulis dalam aksara cina yang artinya ‘Satu Jalan’. Dari penulisan nama saja sudah sangat menggambarkan identitas provinsi itu. Nuansa chinatown yang kental serta satu buah jalan utama membentang membelah provinsi tersebut. Sungguh, jangan bayangkan Yi Lu sebagai provinsi luas dengan beberapa kota besar di dalamnya. Yi Lu hanyalah provinsi kecil dengan hanya memiliki satu kota saja. Hanya satu kota!
Siang itu jalan utama Yi Lu terlihat sangat ramai. Bukan padat karena macet atau kendaraan bermotor, melainkan padat oleh penduduk provinsi itu sendiri. Wajar saja, karena hari ini Yi Lu sedang mengadakan Festival Malam Panjang.
3 orang asing baru saja tiba di provinsi Yi Lu. 2 orang wanita dan 1 orang pria. Mereka tampak lelah dan penuh debu. Mobil mereka tertahan di gerbang masuk jalan utama dam terpaksa harus berjalan kaki masuk ke kota.
Mata ketiga tamu asing ini menyapu cermat jalan utama dengan sangat hati-hati. Di sisi kiri-kanan jalan utama tampak dipenuhi stand-stand jualan penduduk setempat. Setelah memastikan keadaan aman, ketiganya pun meneruskan langkah.
“Terlalu ramai….” gerutu salah satu wanita yang memiliki tatapan paling tajam dan paling tak bersahabat. Iris matanya berwarna merah dan tampak membara bagai magma. Ia terlihat gusar. Gerak-geriknya menunjukkan bahwa dirinya sungguh sangat tidak nyaman di tengah kerumunan orang-orang yang tidak satu Kaum dengannya.
“Apa perlu kutanya ada festival apa di sini?” Sang lelaki bertanya pada wanita itu. Suaranya terdengar pelan dan sedikit ragu-ragu.
“Ya.” Jawaban yang didapat sang lelaki malah berasal dari wanita yang satu lagi. Sontak saja ia bergegas menghampiri stand terdekat dan menanyakan beberapa pertanyaan.
Sementara itu, wanita yang memberikan jawaban tadi terus berjalan seolah ada sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatiannya di depan sana.
“Kak Alvi, aku sudah tanya. Rupanya hari ini ada Festival Malam Panjang. Festival tahunan dan penduduk akan menghabiskan semalam suntuk untuk berpesta dan bersenang-senang.” Sang lelaki berlari kecil menghampiri dua temannya.
Wanita yang dipanggil kak Alvi itu sepertinya tidak mendengar ucapan sang lelaki. Perhatiannya terfokus seutuhnya pada panggung di depan matanya. Di atas panggung tampak beberapa orang yang sedang mempersiapkan segala sesuatu sebagai puncak festival nanti. Empat orang terlihat sedang menghiasi panggung, dua orang mengatur sounding dan ada tiga yang bertugas mengatur posisi cahaya lampu sorot.
Di antara begitu banyak kesibukan, mata Alvi hanya tertuju pada satu sosok. Seorang laki-laki. Rambutnya acak-acakan dan sedang duduk di sebuah kursi di tengah panggung. Penampilan lelaki itu sangat-tidak-banget kalau boleh dibilang. Kaos pink bergambar kepala beruang besar di depan dadanya lalu dilapisi baju tradisional china motif bunga-bunga merah, kuning, biru yang sengaja tidak diikat rapi.
“Apa dia yakin akan tampil dengan penampilan seperti itu?’ komentar wanita yang satu lagi dengan ekspresi merendahkan. Belum sempat ia melanjutkan komentar pedasnya ketika sebuah suara merdu telah menyusup ke telinga.
Melodi itu berasal dari seruling array yang mirip sekali dengan alat musik tradisional china—dizi. Tak heran, karena sekarang mereka sedang berada di chinatown.
Meski memiliki gaya pakaian yang sangat-tidak-banget, tapi di luar dugaan, lelaki di atas panggung itu mampu memainkan seruling dizi di tangannya dengan sangat baik. Suara yang begitu sejuk langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar panggung. Sayangnya baru satu baris lagu dimainkan ketika sebuah bayangan mendadak melompat dan mengacaukan panggung tersebut.
Sekitar tiga hingga empat ekor anjing liar berbulu hitam terlihat menyerang orang-orang di atas panggung. Termasuk lelaki yang sedang memainkan seruling itu. Di tengah kekagetan dan tak sempat bereaksi, sebuah api berwarna hitam mendadak muncul dan membakar habis anjing-anjing gila tersebut hingga tak bersisa. Bahkan tulang sekalipun!
Segalanya terjadi begitu cepat hingga orang-orang mulai ragu dengan apa yang baru saja mereka lihat. Anjing liar yang lenyap digantikan api hitam. Apa ini semacam trik sulap untuk pertunjukan puncak nanti malam?
“Sial, mereka sudah mengejar sampai sejauh ini.” Regina Waldermar, si wanita dengan tatapan tajam mengumpat kesal.
“Anjing pemburu… seharusnya kita sudah menghapus jejak kita sewaktu di Rami.” Raphael Andra Waldermar, si lelaki berkomentar.
“Sudahlah Gina, Andra, Ayo kita pergi sebelum anjing-anjing lain mulai berkumpul.” Alvi mengajak kedua temannya bergegas meninggalkan jalan utama.
*****
Lampu dinyalakan dan menerangi ruang tamu kecil berukuran 4x5 meter. Interior seadanya terlihat jelas di sebelah kiri. Dua buah sofa yang disusun membentuk huruf L lengkap dengan meja tamu. Lalu sedikit di belakangnya terdapat dapur minimalis. Dua buah kamar ada di sisi kanan di mana yang satu adalah kamar tidur dan satunya lagi digunakan sebagai ruang kerja.
Rihan Daniel meletakkan seruling dizi miliknya di atas meja. Benda dengan perpaduan warna hitam dominan dan garis-garis kuning itu menggelinding dua kali di atas meja bersamaan dengan hempasan kuat pada sofa.
Rihan memejamkan matanya sementara punggung telapak tangannya diletakkan di dahi. Ia menghela napas lelah. Satu hari ini benar-benar sangat sial baginya. Diserang anjing liar yang entah datang dari mana, puncak festival yang kacau akibat permainannya menjadi buruk. Pokoknya hari ini tidak ada yang benar-benar berjalan mulus!
...dan hari kacau ini sepertinya belum selesai mempermainkan seorang Rihan Daniel. Tiba-tiba saja dari arah pintu belakang terdengar suara gaduh. Biasanya ia mengacuhkan suara-suara semacam itu. Paling hanya orang mabuk yang sedang muntah.
Tapi hari ini berbeda, Rihan benar-benar sangat ingin memaki seseorang. Siapapun itu!
Dengan hati menggebu-gebu penuh kekesalan, Rihan bangkit menghampiri pintu belakang rumahnya. Ia telah membuka mulut bersiap-siap memaki ketika sekelebat cahaya melesat cepat ke arahnya. Rihan menggeser sedikit posisinya sebelum sebuah benda dingin yang sangat berbahaya menempel di lehernya.
“Diam! Jangan bersuara atau kubunuh kau!” tegas sebuah suara di dekat telinga Rihan.
Rihan menelan ludah kering.
“Andra, cepat bawa masuk!” Kali ini suara itu tertuju pada dua sosok yang bersembunyi tak jauh dari pintu belakang. Salah satunya tampak terluka parah. Perutnya mengeluarkan sangat banyak darah. Sedangkan lelaki yang bernama Andra membopong temannya masuk ke dalam rumah.
Rihan tidak bisa berbuat banyak karena pisau masih menempel erat di lehernya. Ia hanya bisa diam mengawasi kucuran darah yang mengotori lantai rumahnya.
Setelah memastikan keadaan di luar aman, Regina Waldermar menarik Rihan masuk ke dalam dan menutup serta mengunci pintu di belakangnya.
Dengan kondisi di bawah ancaman, Rihan menunduk patuh saat didorong Gina ke ruang tamu. Di sana sudah ada Andra dan Alvi yang tak sadarkan diri di sofa.
“Bagaimana kondisi Alvi?” tanya Gina setengah cemas setengah gemetar. Sikapnya ini sangat bertolak belakang dengan yang ditujukan pada Rihan.
“Sayatan terlalu dalam. Darah tak berhenti keluar. Seandainya kita bisa menjahit… atau… atau menghentikan pendarahan….” Andra masih berusaha menekan luka sayat yang dimaksud dengan sebuah kain yang sudah berubah menjadi warna merah pekat.
Baik pandangan Rihan maupun Gina sama-sama tertuju pada luka di perut Alvi lalu beralih ke wajah wanita muda itu. Alvi terlihat sedang berusaha keras menahan rasa sakit.
“Err… maaf….” Rihan hendak mengatakan sesuatu. Tapi sebelum ia sempat berkata lebih banyak, pisau di lehernya telah menekan lebih dalam. Rihan sontak mengatup mulut rapat-rapat dan hanya menggerakkan telunjuknya ke lemari di dapur.
“Kak Gina, sepertinya dia punya obat.” Syukurlah, lelaki yang bernama Andra itu jauh lebih bijak dan mengerti maksud Rihan.
Rihan setengah berterima kasih di dalam hati.
Gina melemparkan tatapan tak bersahabat pada Rihan sebelum berkata, “Benarkah?”
“Y—Ya….” Rihan mengangguk pelan.
Gina tentu saja tak langsung percaya. Wanita itu berpikir sejenak sebelum akhirnya mendorong kasar pundak Rihan. “Awas kalau kau berani bertingkah,” ancamnya.
Dengan setengah meringis kesal setengah mengusap pundaknya, Rihan berjalan menuju lemari yang dimaksud. Ia mengeluarkan sebuah kotak putih bertuliskan P3K. Lalu ia menyodorkan pada Andra.
“Benang, jarum, perban,” ucapnya sepatah demi sepatah seolah kalimat utuh sudah dicabik-cabik oleh pisau yang masih melekat di lehernya.
Andra menerima kotak putih itu dengan senang hati. Tapi tak sampai satu detik ia kembali menoleh pada Gina. “Aku tidak bisa menjahit luka. Apa kakak bisa?” tanyanya.
Gina menggeleng cepat sebagai jawaban.
Andra bangkit berdiri dan menyerahkan kembali kotak putih itu pada Rihan. “Kau pasti bisa. Tidak mungkin menyimpan jarum dan benang kalau kau sendiri tidak bisa menjahit luka.”
Analisa sempurna! Poin tambahan untuk lelaki bernama Andra ini jikalau Rihan boleh berkomentar. Sayangnya ia tidak memiliki hak semacam itu.
Rihan melirik pada Gina serta pisau di lehernya. Ia seolah sedang menunggu izin.
Andra maju selangkah. Satu tangannya menjauhkan mata pisau dari leher Rihan sementara tangan yang lain masih menyodorkan kotak putih P3K. “Tolong….” ujarnya memohon.
Rihan menarik napas dalam. Ia menerima kotak tersebut lalu berlutut memeriksa cermat luka di bagian perut Alvi.
“Pindahkan dia ke atas meja.” Rihan berkata sembari menyingkirkan dizi dari atas meja.
Andra dan Gina langsung mengenali seruling itu karena bentuk dan warnanya yang unik. Benda itu sempat dimainkan sewaktu persiapan panggung festival siang tadi. Pantas saja sejak awal masuk tadi mereka merasa lelaki ini sangatlah tidak asing. Seandainya Rihan mengenakan kaos pink dengan gambar kepala beruang besar di dada, mungkin mereka bisa langsung mengenalinya.
“Kita harus bersihkan lukanya dulu.” Rihan kembali berkomentar. Tangannya bergerak gesit mengeluarkan antiseptik. Lalu mulai membersihkan luka Alvi.
Tubuh Alvi spontan memberi reaksi penolakan ketika menerima rasa perih di perutnya. Terutama saat jahitan pertama menembus kulit dan dagingnya.
“Tolong pegang dia.” Rihan sedikit memerintah. Ia tidak ingin jarumnya salah menusuk dan malah menimbulkan luka lain.
Andra dan Gina menurut patuh. Keduanya bergegas menahan tubuh Alvi dan proses menjahit pun berlangsung cepat.
ns 15.158.61.48da2