Drrr… sesuatu bergetar dari saku celana Rihan. Sebuah pesan yang tak lain dan tak bukan dari Julius muncul di layar ponsel.
“Mereka bilang ingin mencarimu sampai ke Yi Lu. Meski kau bisa terus menerus bersembunyi, tapi kurasa Alvi tetap kukuh mencari sampai ia benar-benar bisa berterima kasih padamu. Terserah kau mau menampakkan diri di depannya sekarang, nanti atau selamanya bermain petak umpet. PS: Dia akan terus menghantuimu :)”
Rihan menatap pesan itu sangat lama sebelum memasukkannya kembali ke saku. Ia melanjutkan langkahnya menyeberangi jembatan penyeberangan orang yang baru ditempuh setengah. Setiap langkah terasa amat sangat berat. Tanpa sadar Rihan memukul kuat pagar besi di samping kirinya.
*****
Rihan tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Kertas dokumen berserakan di atas meja sementara tangannya menggaruk kepala dengan gelisah. Ia sedikit menyesali keputusannya.
Alvi Veenessa Endley tampak berjalan mendekat. Wanita itu tetap memasang senyum terbaik meski tahu dirinya akan menerima penolakan dari seorang Rihan Daniel. Tapi ia harus lakukan demi satu kata ‘terima kasih’.
“Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini.” Rihan memasang wajah cerah lengkap dengan intonasi terkejut. Kenyataannya ia sendiri memang sengaja duduk di pastry di pinggir trotoar.
Alvi berinisiatif duduk di depan Rihan seraya mengangguk satu kali.
“Bagaimana lukamu? Sudah sembuh?” Pertanyaan wajib yang harus Rihan tanyakan sebagai bagian dari basa-basi.
“Sudah sembuh. Terima kasih.” Alvi menjawab singkat dan kemudian hening beberapa saat.
“Lalu…?” Rihan melirik singkat pada Alvi. Ia menunggu wanita itu berbicara lebih lanjut.
“Aku… Aku datang untuk berterima kasih. Mengobati lukaku sewaktu di Yi Lu dan batu nullified.” Alvi tampak kesulitan merangkai kalimat. Kata-katanya terdengar sangat kaku.
“Ya, sama-sama.” Rihan membalas singkat. Hal yang ingin Alvi ucapkan dan hal yang terpaksa Rihan dengar, telah terwujud. Rihan berharap semua ini segera berakhir dan Alvi segera pergi.
“Kalau tidak keberatan, sebagai tanda terima kasih, aku… aku ingin mengundangmu makan malam—” kalimat itu sangat sulit keluar dari mulut Alvi.
Rihan membereskan kertas-kertas yang berantakan di atas meja. “Tidak perlu, tidak perlu. Aku senang membantu orang. Jangan terlalu formal seperti mengundang makan malam bersama. Kita tidak sedekat itu.” Rihan menolak dengan cepat.
Ia menundukkan kepala dan buru-buru memasukkan semua kertas dokumen ke dalam tas selempang. Pikirannya mendadak resah. Tidak sedekat itu… ia dan Alvi memang tidak sedekat itu… Sial! Kenapa ia jadi sangat memikirkan satu kalimat itu?
“Tapi….” Alvi hendak mengatakan sesuatu dan lebih dulu dicegat Rihan dengan bangkit berdiri.
Dengan satu senyum hambar, Rihan berkata pelan. “Sampai jumpa.”
“Ryan, tunggu!” teriak Alvi.
Langkah Rihan terhenti. Lelaki itu mematung tanpa berbalik ataupun bersuara. Ia berdiri diam di tempat sangat lama sembari mengutuk kakinya sendiri. Kenapa ia harus berhenti di saat krusial seperti ini.
“Kalau kau masih marah karena kami mendobrak masuk rumahmu dan mengancammu, aku minta maaf. Kalau kau kesal karena waktu itu aku dorong hingga terjatuh, aku juga minta maaf. Lalu, kalau kau merasa terganggu atas kehadiranku, aku… aku benar-benar minta maaf.” Alvi tiba-tiba berteriak hingga orang-orang yang berlalu lalang mulai mengawasi mereka.
Rihan membalikkan tubuhnya dan bertukar pandang dengan Alvi. Entah kenapa wanita itu terlihat begitu frustrasi. Padahal mereka baru saja kenal.
“Waktu itu, aku tidak ingin kau mati. Menyentuhku dengan kondisi batu nullified yang telah kosong hanya akan membahayakan dirimu. Kau orang yang sangat baik. Aku sungguh tidak ingin ada korban lain karena kekuatanku.” Alvi melanjutkan dengan intonasi putus asa.
Rihan membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Namun detik berikutnya niat tersebut diurungkan.
“Aku tidak punya banyak teman. Selain Andra, Gina dan Julius, kau-lah orang luar pertama yang mau menolongku. Mau mendengar ceritaku. Aku tahu kehadiranku membuatmu tak nyaman. Aku… aku hanya ingin berteman denganmu.” Alvi sudah tidak tahu lagi harus berkata apa.
“Tapi di satu sisi kau takut kekuatanmu melukai orang-orang terdekatmu.” Rihan akhirnya berbicara.
“Apa kau pernah berpikir mengendalikannya? Atau kau terlalu takut untuk sekedar mencoba? Kekuatanmu adalah milikmu seorang. Kau tidak bisa selamanya bergantung pada batu nullified.” Rihan melanjutkan dengan suara yang sangat berbeda dari biasanya.
Rihan memperbaiki posisi tas selempangnya. Setelah sekian tahun, kau masih saja tidak berubah… “Aku benci melihatmu lemah seperti sekarang.” Tanpa sadar Rihan mengutarakan bagian akhir dari keseluruhan isi pikirannya.
Melihat Alvi yang membisu, Rihan tidak berkata lebih banyak. Ia berbalik pergi.
Tiba-tiba sebuah pukul terasa menghantam kuat pipi kiri Rihan. Dunia seakan berputar cepat dan Rihan pun terjungkal, terpental beberapa meter jauhnya. Lalu satu pukulan lain kembali mendarat di pipi kanannya bersamaan dengan tarikan kasar pada kerah kaos bergambar kepala beruang. Rihan tidak berdaya menghadapi pukulan itu.
“Apa salahnya dengan terlihat lemah?” Suara Gina hampir memecah gendang telinga Rihan yang masih berusaha memahami situasi.
“Alvi sudah berusaha keras untuk tetap tegar dan kuat! Dia selalu berjuang dan terus berjuang seorang diri! Baik sewaktu di Samsara maupun setelah keluar dari neraka itu! Kau tahu apa tentangnya? Tahu apa tentang penderitaannya? Tahu apa tentang pengorbanannya demi sekedar bertemu denganmu? Apa salahnya jika dia terlihat lemah di hadapan seorang teman?” ujar Gina tak lagi mampu menahan kemarahan.
Rihan tertegun dalam kekagetan.
“Kak Alvi tidak biasanya bersikukuh mencari seseorang hanya untuk sekedar berterima kasih. Biasanya dia cenderung tidak peduli. Aku tidak tahu sepenting apa dirimu bagi kak Alvi. Tapi sikapmu tadi terlalu egois.” Andra menimpal dengan suara tenang di belakang Gina.
Jadi salahku? Rihan memandang bingung pada dua bersaudara Waldermar.
ns 15.158.61.51da2