Rihan Daniel merasa sangat risih diikuti terus oleh tiga orang selama seminggu penuh. Alvi, Gina dan Andra selalu menempeli dirinya bagaikan anak ayam membuntuti induknya. Seandainya saja tidak ada tugas penyelidikan yang harus ia selesaikan, mungkin Rihan tidak akan sungkan menghabiskan waktu berdebat panjang dengan mereka.
“Kekuatan nullified-mu sangat kami butuhkan. Tolong bantu kami,” ucap Andra di hari itu.
“Kalau kau menolak, kami tidak punya pilihan selain terus mengikutimu hingga kau setuju.” Kurang lebih seperti itulah ucapan dua bersaudara Waldermar.
Rihan salah perhitungan. Rupanya dibuntuti adalah hal yang sangat menyebalkan!
Di sisi lain, Alvi Veenessa Endley sendiri tidak berbicara banyak. Sejak kejadian pengeboman, wanita itu terlihat jauh lebih pendiam. Wajahnya juga sedikit pucat. Apa dia masih sakit?
“Sial….” Rihan menendang kesal kaleng minuman kosong yang tergeletak di depan gerbang pabrik gula yang sudah terbengkalai dua tahun.
Ia mendongakkan kepalanya mengamati pabrik di sisi kiri. Meski hari masih siang, namun aura yang dikeluarkan oleh bangunan tua itu terkesan angker.
Ini adalah tempat penyelidikan Rihan selanjutnya.
Kasus penculikan anak-anak yang terjadi belakangan ini menjadi topik hangat di provinsi Yi Lu. Dalam satu minggu terakhir sudah ada empat kasus dan dalam satu bulan ini sudah ada sekitar 15 kasus. Dilihat dari jumlah, kejadian ini bukan kasus penculikan yang tergolong wajar.
Jika Rihan telusuri, awal mula kasus penculikan atau kejadian semacam anak yang hilang secara misterius, yang paling mencurigakan adalah kasus dua tahun lalu. Dimana anak tunggal dari bos pemilik pabrik gula ini menghilang tanpa jejak.
Rihan tidak yakin apakah dua kasus ini saling berhubungan. Tapi tidak ada salahnya mencari tahu dari kasus paling awal.
Udara pengap bercampur debu tebal menyambut ketika Rihan mencoba mendobrak masuk melalui jendela. Gina ikut melompat masuk dan kemudian disusul Alvi dan Andra.
Rihan berjalan pelan mengitar lantai satu pabrik. Mesin-mesin berukuran raksasa terlihat usang. Peralatan tergeletak di atas meja panjang. Hasil olahan mesin serta sampah-sampah olahan dibiarkan begitu saja. Tampaknya pabrik ini ditutup dengan sangat tergesa-gesa. Semua barang ditinggal begitu saja seolah sang pemilik buru-buru hendak pergi dari sini.
“Darah….” Suara dari belakang mengejutkan Rihan.
“Di mulut mesin juga ada. Alat-alat di meja panjang serta hasil olahan.” Alvi berbicara dengan suara pelan.
Rihan meneliti benda-benda yang disebut tanpa menyentuh benda-benda tersebut secara langsung. Sebenarnya tidak hanya di sana. Di lantai dan tangga besi juga ada. Keseluruhan pemandangan di sini terkesan sangat janggal.
“Kecelakaan?” Gina berkomentar setelah tidak menemukan kesimpulan lain selain kecelakaan kerja.
“Diatur agar terlihat seperti itu. Tapi bisa jadi bukan.” Andra membalas sambil diam-diam melempar pandangan pada Rihan. Ia menanti respon lelaki itu, tapi Rihan tampak tidak peduli pada mereka.
Rihan menaiki tangga besi menuju puncak mesin raksasa. Hawa di atas sana lebih pengap. Firasat buruk mendadak merasuki benak Rihan. Namun ketika ia melihat ke bawah dan menyapu cepat sekeliling pabrik, tidak ada yang mencurigakan. Rihan mulai mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengirim pesan pada seseorang. Tidak lama balasan diterima. Sampai beberapa menit ke depan, ia sibuk dengan ponselnya di tangannya.
“Ayo, pergi….” Rihan buru-buru menuruni tangga dan berjalan cepat menuju jendela tempat ia masuk barusan.
“Ada apa?” Gina kebingungan.
“Ini sudah bukan kasus yang bisa ditangani detektif.” Rihan menjelaskan tanpa memberi keterangan secara menyeluruh. Ia rasa bukan keharusan memberi tahu semua hal.
Malangnya, tepat di saat Rihan menapak kaki di halaman luar, bunyi tembakan mengelegar dan peluru menyerempet lengan kanan Rihan. Rihan berusaha merayap ke sisi lain bangunan. Suara gonggongan anjing yang tak asing tertangkap oleh telinga Alvi, Gina dan Andra. Itu adalah anjing pemburu Samsara. Hewan yang paling mereka hindari selama ini.
Walau demikian, Alvi tetap bersikeras menolong Rihan. Kakinya telah menginjak pinggir jendela ketika Gina dan Andra sama-sama menahannya. Dua bersaudara Waldermar itu setengah menyeret Alvi masuk kembali ke dalam pabrik.
“Lihatlah siapa yang ada di sini. Apa yang tuan detektif lakukan di pabrik gula ini?” Suara seseorang terdengar dari halaman luar.
Rihan bangkit berdiri sambil tersenyum lebar. Tangan kirinya menjauh dari lengan kanan. Darah hanya mengalir tipis. Peluru barusan tidak berhasil melukainya. “Hanya melihat-lihat. Tapi anda kurang rapi membersihkan tempat ini, tuan pemilik pabrik gula.”
Raut pria sang pemilik pabrik gula berubah menjadi gelap. “Bunuh dia,” perintahnya dan dua bayangan misterius langsung melompat keluar dari belakang.
Rihan bergegas lari sebelum dirinya mati konyol. Sedangkan dua penyerang malah menerjang masuk ke pabrik. Target mereka bukanlah Rihan, melainkan Alvi Veenessa Endley yang ada di dalam sana.
Ledakan menyusul di dalam pabrik tepat di saat Alvi menapakkan kaki di halaman samping. Ia berhasil keluar melalui jendela lain. “Gina! Andra!” Dua temannya masih di dalam.
“Bukan saatnya mencemaskan orang lain.” Seseorang melompat dari atas seraya mengayunkan sebuah pisau berlumuran racaun.
Api hitam sontak berkobar ganas dan menjadi penghalau atas serangan mendadak barusan. Mendapati serangannya gagal, sang musuh memilih melompat mundur dan melepaskan pisau yang mulai dilahap api milik Alvi.
“Kita jumpa lagi subjek Samsara nomor 4-42-1.” Musuh bertopeng gas mask menyapa Alvi.
“Kau lagi….” gumam Alvi menatap sengit sosok musuh dihadapannya.
“Aku Justin.” Sang musuh memperkenalkan diri sembari mengeluarkan pisau lain. Tapi belum sempat ia menyerang ketika sebuah anak panah lebih dulu melesat.
Justin mengambil satu langkah mundur mengelak panah tersebut. Pandangannya sontak dilempar kepada kepulan asap tebal dari balik jendela pabrik. Dari sana Regina Waldermar melompat keluar. Tangan wanita itu menggenggam busur panah dan senjata itu tampak berubah bentuk menjadi sebuah pedang claymore saat Gina menghunus pada Justin.
TRANGG!!! Pisau dan pedang beraduan sesaat sebelum keduanya saling mendorong lawan masing-masing. Gina mundur ke dekat Alvi sementara Justin mundur sedikit lebih jauh dari posisi semula.
“Alvi, kondisimu tidak memungkinkanmu bertarung. Larilah. Aku dan Andra akan menyusul,” ujar Gina. Pedang kembali berubah menjadi busur panah berwarna putih bersih dengan ukiran elegan yang semakin menambah kesan indah.
Gina melakukan satu tarikan penuh dan sebuah anak panah mulai terbentuk diantara pendaran energi putih.
“Tapi bagaimana dengan Ryan?” Di saat seperti ini Alvi masih saja mencemaskan lelaki yang sudah hilang entah kemana.
Gina melirik singkat dengan wajah tidak senang. “Persetan dengan dia! Lelaki itu lari tanpa peduli padamu. Untuk apa kau memikirkan dia?” geramnya penuh amarah. Secara tak sadar tangannya telah melepas anak panah.
Panah mendadak hilang di tengah jalan dan muncul kembali saat menancap di dada Justin. Satu lawan berhasil dikalahkan dengan mudah. Tersisa Master Peledak yang sedang dilawan Andra.
Walau demikian, masih ada satu orang lagi yang luput dari perhatian. Bos sekaligus pemilik pabrik gula. Pria itu tampaknya tidak ingin membiarkan Rihan lolos setelah mengetahui rahasia yang ia simpan di pabrik itu. Ia mengejar sang detektif hingga sejauh dua blok bangunan dari lokasi pabrik.
Sial! Setelah mengejar sampai sejauh ini, ia malah kehilangan jejak. Bahkan anjing-anjing pemburu ini pun gagal mencium bau seorang Rihan Daniel. “Apa mungkin dia bersembunyi di bawah sana?” Pandangan sang pemilik pabrik gula tertuju pada logam bundar yang menutup akses ke gorong-gorong bawah tanah.
Ia bersiap-siap mengangkat logam penutup gorong-gorong ketika sebuah suara mengusik konsentrasinya.
“Apa Samsara tidak pernah mengajarkanmu untuk selalu bersih dalam bertindak?” Tentu saja makna kata ‘bersih’ yang dimaksud adalah tanpa jejak. Tapi bisa juga diartikan ‘kebersihan diri’ mengingat sang pemilik pabrik hendak masuk ke gorong-gorong kotor nan busuk.
Pria pemilik pabrik gula mendongak kepala dan seketika matanya melebar penuh sorot tak percaya. “Ka—kau….” Jarinya menunjuk gentar pada lelaki misterius yang muncul di depan.
“Beritahu aku siapa yang memerintahmu.” Lelaki itu menginterogasi dari balik topeng putih polos dengan satu lubang di mata kiri.
“A—aku mendapat informasi dari pesan berantai, Tu—Tuan Lucie,” jawab sang pemilik pabrik.
“Beritahu mereka, mangsa ini adalah milik prajurit terkuat Samsara nomor 6. Kalian bisa berburu target lain,” ujar lelaki misterius lagi.
“Ta—Tapi tuan, selama ini sayembara dilakukan secara adil. Tak seorang pun yang berhak menopoli atas satu terget atau pun satu area. Ini sungguh tidak adil bagi kami yang ingin mendapat nilai tambah.” Pemilik pabrik gula melakukan pembelaan. Ia berharap pengertian.
“Ahh… kau benar. Aku nyaris lupa. Boleh saja. Kau ingin secara adil, bukan?” Sebuah rantai tiba-tiba memanjang dan balik punggung Lucie. Senjata rantai itu bergerak lincah dan meliuk penuh intimidasi. Dengan ujungnya yang runcing, senjata itu langsung menembus dahi sang pemilik pabrik gula tanpa belas kasihan.
Anjing-anjing pemburu sontak melolong ketakutan dan melarikan diri ke segala arah.
“Sepertinya pesta sudah dimulai.” Lucie tidak ingin ketinggalan dalam pesta Samsara.
ns 15.158.61.20da2