Rihan cukup bersyukur, semenjak kejadian waktu itu, dirinya tak lagi diganggu. Hidupnya seolah kembali normal seperti saat di provinsi Yi Lu. Kecuali Julius yang sesekali mencarinya. Selain itu semua sudah kembali tenang seperti sedia kala.
“Apa ucapanku waktu itu melukai perasaannya…?” Rihan mulai mempertanyakan dirinya sendiri.
Aneh, seharusnya Rihan merasa senang karena akhirnya dia bisa terbebas dari tiga orang itu. Tapi entah kenapa hatinya tidak bisa tenang. “Apa aku minta maaf saja?” Rihan mengetuk jarinya tiga kali di atas meja sambil mempertimbangkan ide tersebut.
Setelah meneguk habis kopi di cangkir, Rihan bangkit berdiri dan memutuskan untuk mencari Alvi. Panas terik di siang itu seolah memanggang ruas trotoar di depan café. Rihan terus berjalan di sepanjang trotoar yang sepi akan pejalan kaki. Tiba-tiba angin tak wajar berhembus dari sisi kiri. Rihan refleks mengambil satu langkah mundur dan benar saja! Sesosok makhluk buruk rupa berwajah kodok terlempar melewatinya dan menghantam tiang listrik di perbatasan trotar dan jalan raya.
Makhluk yang berpenampilan layaknya ksatria berbaju jirah itu bangkit berdiri dengan kedua kaki. Selaput tipis terlihat diantara jemari tangan dan kaki. Meski baru saja menerima serangan yang cukup kuat, makhluk yang merupakan bagian dari kaum Arina itu tidak bersikap defensif. Gumpalan lendir—air liur—ditembak dari mulut sang Kaum Arina.
Api berwarna hitam sontak menyambut cairan menjijikan itu. Keduanya bertabrakan persis di persimpangan trotoar dengan jalan kecil yang terhubung. Dengan memanfaatkan momen ini, sang Kaum Arina memanjangkan lidahnya ke arah Rihan.
Rihan bergeming melihat serangan tertuju padanya. Untungnya dari arah atas, sebuah anak panah melesat menembus lidah sang Kaum Arina. Kemudian sebuah kilau cahaya menyusul memotong putus lidah lunak berlendir yang nyaris menggapai Rihan.
“Daniel, kau tidak apa-apa?” Raphael Andra Waldermar muncul diantara Rihan dan sang Kaum Arina berwajah kodok.
“Y—Ya….” Rihan tampak terlalu kaget untuk sekedar menjawab. Kakinya refleks bergerak mundur sebagai wujud rasa takut. Sementara matanya tidak bisa lepas dari prajurit Kaum Arina.
“Mereka akan semakin banyak. Kau cari tempat bersembunyi dulu.” Andra berkata sambil mengayunkan tombak putih di tangannya. Ornamen unik di badan tombak memberi kesan indah serupa dengan busur panah milik Regina Waldermar.
“Aku menemukannya….” Sang Kaum Arina melakukan komunikasi terhadap sesama Kaum.
Dalam hitungan detik saja sekitar tiga prajurit Kaum Arina telah datang. Semula wujud mereka berupa genangan cairan yang bergerak dengan kecepatan tinggi. Setelah tiba, raga asli mereka berwujud kodok mulai bangkit dari balik genangan layaknya membentuk sesuatu dari tanah liat.
Kaum Arina bisa dengan mudah mengubah wujud mereka menjadi bentuk cairan atau pun raga asli. Ini adalah cara paling efektif dalam menyusup ke wilayah musuh dan memata-matai aktivitas di dalam sana. Karena itu jugalah Alice Nebula selalu dalam keadaan waspada.
“Sial, mengganggu saja.” Gina melepaskan satu anak panah ke arah Kaum Arina yang mengendap-endap di atap bangunan tempatnya berada.
Setelah itu ia kembali mengawasi situasi trotoar yang mulai terkepung.
“Andra, mundur ke tempat Alvi. Aku akan membuka jalan.” Gina berkata melalui komunikasi pikiran. Itu adalah kemampuan unik yang hanya dimiliki Kaum Naga.
Andra mengangguk dan ia mulai mengayun mahir senjata tombak untuk membersihkan prajurit Kaum Arina yang menghalangi jalan menuju jalan kecil tempat Alvi berada. Ia hanya butuh sekitar dua menit saja untuk bergabung kembali dengan Alvi.
Alvi sendiri tidak kesulitan meladeni prajurit Kaum Arina. Satu demi satu Kaum Arina terbakar api kematian berwarna hitam hingga tak bersisa. Tapi entah kenapa jumlah mereka tidak terasa berkurang.
“Tenang saja, mereka hanya prajurit level terendah. Sebenarnya tidak terlalu susah dilawan.” Andra berusaha membuka pembicaraan untuk mengalihkan fokus Rihan dari pemandangan buruk di tempat ini.
“Tapi, apa kakakmu, Gina, akan baik-baik saja? Mereka mulai bergerak ke atas.” Rihan menunjuk ke arah bercak-bercak air tak wajar di sepanjang dinding bangunan.
“Aku akan ke tempat kak Gina. Kau tetap di sini. Kak Alvi bisa melindungimu,” ucap Andra. Kemudian ia pun berlari memanjat naik melalui tangga berkerangka besi yang memang disedaikan di samping bangunan.
“Ryan, kita pergi dari sini.” Alvi tiba-tiba menarik tangan Rihan.
“Eh?” Rihan tidak mampu bereaksi dengan tepat. Kakinya masih menempel di tempat dan matanya masih tertuju pada Andra.
“Gina dan Andra bisa melindungi diri mereka. Kita tidak bisa selamanya menunggu mereka di sini. Ayo—” Alvi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena ia melihat serangan lain telah tertuju pada mereka.
Alvi mendorong pelan bahu Rihan dan dirinya juga mundur selangkah. Cairan lendir berbahaya melintas diantara mereka dan mengenai dinding bangunan toko.
“Jangan buang-buang waktu lagi. Ayo!” Suara Alvi terdengar tegas menyentak Rihan.
Rihan menuruti Alvi dan mengikuti dari belakang. Mereka berhasil keluar jalan kecil menuju jalan utama menuju Nebula Tower. Kaum Arina masih terus mengejar dan beberapa bahkan berhasil menghadang di depan. Tapi api kematian bereaksi lebih gesit dan melahap raga malang prajurit Kaum Arina di depan sana.
Langkah Rihan terhenti dan Alvi terpaksa ikut berhenti. “Ayo sedikit lagi kita sampai di Nebula Tower,” ajak Alvi berusaha menarik tangan Rihan.
Namun Rihan menggeleng pelan. “Aku sudah tidak kuat,” ucapnya sembari mengatur napas.
“Ahh… menjengkelkan. Mangsa jelas-jelas sudah di depan jebakan! Kenapa harus berhenti? Sungguh sangat menjengkelkan!” Sebuah suara menarik perhatian Rihan dan Alvi.
“Bagaimana kau bisa tahu? Atau hanya kebetulan?” Sesosok berkostum kelinci merah jambu muda muncul beberapa meter di depan.
Jalan tempat sang kelinci tampak berpinjak berpendar singkat lalu segerombolan Kaum Arina menampakkan diri mengepung Alvi dan Rihan.
Alvi bersiap-siap menyerang ketika bunyi gedebuk dari samping kanan mengusik perhatiannya. Sekejap saja kelopak mata Alvi melebar dan kemarahan terpancar jelas dari balik matanya.
Prajurit Kaum Arina melempar tubuh Gina dan Andra ke dekat Alvi.
Sang kelinci tertawa riang. “Tak aku sangka, sejak keruntuhan tanah suci, Kaum Naga rupanya masih tetap kuat. Sayangnya napas api yang selalu ingin aku lihat tidak terjadi. Sayang sekali, sayang sekali.”
“Oh ya, perkenalkan, aku Bunny. Satu dari—”
Bunny belum selesai berbicara ketika Alvi telah menyerangnya. Semuanya terjadi sangat cepat dan tahu-tahu saja tinju Alvi sudah sangat dekat dengan wajah Bunny.
Bunny terseret mundur cukup jauh. Kedua tangannya diposisikan menyilang dengan telapak tangan kanan menangkap tinju Alvi. Api berwarna hitam tampak berkobar ganas dari tinju Alvi namun anehnya api kematian tak mampu membakar kostum kelinci tersebut.
“Kau sudah jauh lebih kuat dari terakhir kali aku melihatmu, subjek 4-42-1.” Bunny berkomentar.
Alvi tak menggubris perkataan Bunny. Ia mengerahkan lebih banyak api kematian. Tapi tetap saja tidak mampu membakar kostum Bunny. Alvi semakin diselimuti amarah.
Dengan satu gerakan ringan, Bunny menarik Alvi ke arahnya dan ketika mereka sudah sangat dekat, sang kostum kelinci merah jambu itu menghindar ke samping. Tangan Alvi dilepas dan ia tertawa riang melihat Alvi sedikit hilang keseimbangan.
“Selanjutnya, apa kau cukup cepat melindungi teman-temanmu itu.” Bunny melompat gesit menuju Gina dan Andra. Sebuah benda berbentuk wortel—yang tampak berbahaya—dikeluarkan entah-darimana. Bunny mengangkat tinggi wortel di tangannya dan dihunjam sangat kuat ke bawah, persis ke arah Andra.
Darah menetes satu demi satu ke pipi Andra sementara Alvi terlihat menangkis senjata-wortel dengan tangan kosong. “Wow, kecepatanmu menakjubkan,” puji Bunny merasa sangat terhibur.
“Berikutnya….” Bunny mengubah target serangan ke Rihan.
Kali ini Alvi bisa dengan mudah mengikuti gerakan Bunny. Meski berpakaian seperti itu, Bunny sangatlah lincah. Beberapa kali ia bahkan melakukan gerakan menipu dan berhasil mencuri-curi menyayat lengan dan wajah Alvi. Luka yang diberi tidak dalam, hanya sebatas goresan. Namun seragan itu cukup efektif ketika hendak mengintimidasi lawan.
Terbukti Alvi mulai kehilangan fokus dan di saat wanita itu kehilangan jejak Bunny, sosok itu muncul kembali dari balik punggung Rihan. Senjata-wortel yang sudah berlumuran darah itu terayun dari bawah ke atas secara tegak lurus, dan BRUKK!!!
Rihan terlalu terkejut untuk sekedar bergerak dari posisinya. Matanya menatap gentar pada Alvi yang baru saja mendorong dirinya hingga jatuh telentang di atas jalan.
“Ryan, kau tidak terluka, kan?” Alvi bertanya setengah menahan sakit. Darah tampak menetes dari tusukan yang menembus pundak hingga ke depan bahu.
Bunny mencabut kasar senjata-wortel dan membuat darah Alvi bercipratan keluar sangat banyak.
“Kau benar… kukira aku sudah menjadi lebih kuat, tapi ternyata tidak….” Alvi berkata pelan sambil menatap sendu pada sepasang iris coklat Rihan.
“Maaf….” ucapnya lemah sebelum akhirnya ambruk di atas dada Rihan.
Tanpa sadar tangan Rihan telah terangkat menangkap erat Alvi. Saat itu ia tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan atau rasakan. Segalanya terasa bercampur aduk. “Kenapa malah kau yang minta maaf? Harusnya aku….”
Bunny tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membunuh target utama. “Perintah Lady adalah membunuh pemilik kekuatan nullified yang ditemukan kelompok Alvi Veenessa Endley di provinsi Yi Lu.”
Bunny kembali mengangkat senjatanya sangat tinggi dan mengira kesempatan emas ini bisa ia manfaatkan.
“Bunny! Hentikan!” Suara berat seorang berhasil menghentikan pergerakan Bunny dan bersamaan dengan itu sebuah senjata unik—berupa rantai dengan ujung segitiga lancip tajam—berhenti tepat beberapa milimeter dari tenggorokan Bunny.
Bunny tidak sadar akan kehadiran senjata itu. Ia mematung tak berani bergerak seraya menelan ludah dalam kengerian.
Dia ada di sini. Lucie ada di sini.
ns 15.158.61.20da2