Raka Gilbert Vaiskyler, beberapa tahun lalu nama itu sempat dikenal sebagai seorang pahlawan. Pria itu adalah putra kedua dari Ares Kennrich Vaiskyler, pemimpin Kaum Naga dan dialah yang memimpin operasi penyerangan terhadap Samsara. Bersama Julius Aditya Kane, Raka membebaskan Alvi Veenessa Endley sekaligus meruntuhkan kejayaan Samsara.
Semua itu dilakukan dengan sangat sempurna.
Lelaki berparas tenang—yang sejujurnya lebih condong ke lemah lembut—itu digadang-gadang akan mewarisi kepemimpinan ayahnya. Namun semenjak kejatuhan Samsara, Raka perlahan-lahan berubah. Mimpi buruk yang tiada henti membuatnya menjadi gila. Puncaknya adalah menghilangnya dia dari Tanah Agra.
Hingga suatu hari Kaum Naga berhasil menemukan dia menjadi gelandangan di sudut kota pelabuhan Bargescrow. Selama setahun terakhir entah sudah berapa banyak Kaum Naga yang diutus untuk memabwanya kembali. Tapi hasilnya nihil. Raka sudah tidak lagi mengenali Kaum-nya, keluarga, bahkan teman seperjuangannya sendiri. Dia telah seutuhnya menjadi orang berbeda.
Di bawah panas terik matahari yang hampir mencapai 39 derajat celcius, Raka melangkah gontai menelusuri trotoar di pinggir kota pelabuhan Bargescrow. Meski berada di dekat lautan, angin yang bertiup adalah angin panas yang sama sekali tidak menyejukan udara.
Keringat tampak bercucuran dari dahi hingga membasahi rambut panjangnya yang terkesan kusam, berantakan dan kotor. Pakaiannya juga sudah robek kecil di beberapa tempat, warnanya juga sudah bukan lagi warna asli karena tertutupi debu dan noda hitam. Kakinya hitam dengan kulit tumit yang keras nan kering akibat berjalan di atas aspal tanpa menggunakan alas kaki.
Meski berpenampilan demikian, namun sinar di balik sepasang bola mata coklatnya tidak redup. Sepasang mata itu berkilau penuh pancaran wibawa dan rasa optimis. Tapi kenapa sosok dengan pancaran mata seperti dia bisa menjadi orang gila?
Kaki Raka berhenti. Tanpa mempedulikan pandangan hina bercampur jijik dari orang-orang di sekitar, ia mengambil tempat duduk favoritnya; yakni di persimpangan trotoar dengan jalan—tak terlalu luas—yang terhubung ke jembatan utama dermaga. Tempat itu adalah pusat dari seluruh hasil laut di Beta Urora ini.
Apa yang Raka lakukan setelah duduk di sana? Well, tidak ada. Ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya di sana sambil membenamkan wajahnya diantara lipatan tangan di atas lutut. Jika beruntung, akan ada orang baik yang memberinya makanan, air minum atau uang. Jika tidak, maka ia terpaksa tidak makan atau mungkin mengais tempat sampah di belakang restoran. Biasanya banyak sisa makanan yang mereka buang.
“Tuan Gilbert.” Seorang Kaum Naga berjongkok di dekat Raka sambil meletakkan sebungkuk roti dan air mineral.
Tidak ada jawaban dari Raka.
“Tuan, ayo kita kembali. Tuan Arken dan ibumu sangat mencemaskanmu. Tanah Agra juga sangat membutuhkanmu.” Kaum Naga itu masih berusaha mengajak Raka bicara.
Raka masih bergeming.
“Sudahlah Frostfall, tidak ada gunanya. Dia sudah tak mengenal kita.” Salah seorang Kaum Naga yang menemani rekannya berkomentar.
William Frostfall menghela napas panjang. “Bukan berarti rasa hormatku padanya akan berkurang, Ragnvald.”
“Tuan Gilbert, kontes True-Warrior akan diadakan 3 hari lagi. Walau Samsara telah runtuh, tapi Kaum Arina masih saja suka menyerang. Semula jumlahnya kecil, namun belakangan ini prajurit mereka seolah berlipat ganda. Serangan pun semakin intens. Aku tidak tahu sampai kapan kami bisa bertahan.” William masih terus bercerita.
“Rasa aneh, semenjak anda lari dan dinyatakan menjadi gila, Kaum Naga seakan kehilangan kekuatannya. Tuan Arken berserta kepala keluarga lainnya berencana mencari ksatria terkuat dan berharap mampu mengangkat kembali moral para naga,” ujarnya.
“Tapi bagiku, anda tetap yang terkuat. Tidak ada yang bisa mengganti posisi anda sebagai komando terkuat diantara ksatria Kaum Naga. Jika anda masih memiliki tekad untuk melindungi Tanah Agra, keluarga anda serta kami… datang dan bertarunglah. Beri kami keberanian untuk kembali berjuang.” William bangkit berdiri.
Kedua Kaum Naga itu menanti selama beberapa menit sebelum membungkuk dalam-dalam dan beranjak pergi.
Raka mengangkat kepalanya. Matanya tampak sayu seperti habis bangun tidur. “Frekuensinya berubah….” gumamnya sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju jembatan pelabuhan.
Di tengah jembatan, tiba-tiba bahunya menabrak seseorang.
“Hei! Pakai mata kalau jalan!” Seorang pria berteriak memaki.
Raka tiba-tiba tertawa keras lalu berbalik menjulurkan lidah ke arah pria itu.
Sang pria menggeram marah. Saat ia maju selangkah hendak menghajar Raka, rekannya lebih dulu menahan.
“Owen, kita di sini bukan untuk membuat keributan,” ujar rekannya.
Pria yang dipanggil Owen langsung mengurungkan niatnya seakan menyimpan ketakutan tersendiri pada rekannya. “Dasar gila!” umpat Owen kesal ketika melihat Raka yang sedang tertawa keras sambil melambaikan tangan dan menjulurkan lidah ke setiap orang yang ditemui.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan pada orang yang sudah gila. Dulu adalah pahlawan, tapi sekarang dia sudah tak bernilai. Bukankah begitu, Lucie?” Lelaki itu melirik ke belakang, pada sosok bertopeng putih polos dengan satu lubang mata di bagian kiri.
“Bunuh saja kalau sudah tidak bernilai. Beta Urora tidak butuh orang cacat macam dia,” ucap Lucie dengan nada tajam.
Sang lelaki tertawa lepas. “Tidak, tidak. Simpan staminamu untuk pesta nanti. Lady sudah mempersiapkan hal yang jauh lebih menarik.”
ns 15.158.61.20da2