Lucie tersenyum dingin dibalik topeng putih polos yang menutupi seluruh wajahnya. Ia menggeleng pelan dibalik tudung jubah berwarna coklat gelap yang menutupi kepalanya.
“Aku mengkhianati Samsara?” Lucie merasa kalimat itu adalah candaan paling konyol yang pernah ia dengar.
“Kurasa kau sudah lupa mengenai aturan batas berburu, Lycan.” Lucie berkata dengan santai.
Lycan mengernyit. Bukannya ia lupa, tapi ia tidak pernah tahu ada aturan seperti itu.
“Pulang dan tanyakan pada Lady. Apa yang sudah dilanggar dari perjanjian antara aku dan dia.” Lucie semakin tenang dengan melipat santai kedua tangannya.
“Lady melanggar janji? Jangan konyol, Lucie! Lady sendiri adalah peraturan. Ucapannya adalah perintah. Jangan terlalu sombong dengan mengatakan Lady melanggar janji denganmu!” Lycan merasa tersinggung ketika sosok yang paling ia hormati difitnah.
Lucie malah menghela napas. Ia menggeleng untuk kedua kalinya. “Sudahlah, Lycan. Melanggar tetap melanggar.” Lucie tidak ingin memperpanjang perdebatan.
“Perjanjian apa yang kau buat dengan Lady, Lucie?” Latief berinisiatif menanyakan isi perjanjian.
“Kaum Naga dan juga Tanah Agra. Hanya aku yang boleh menghancurkan mereka,” tegas Lucie tanpa keraguan sedikit pun dibalik ucapannya.
Tawa Hanruo sontak pecah memenuhi seluruh colosseum. “Ayolah, Lucie. Sesekali berbagi lahan buruan tidaklah buruk. Misalnya dia….” Hanruo menyambar secara acak salah satu Kaum Naga.
Freya Natalia Grey yang terpilih.
“Peringatan pertama. Lepaskan atau aku tidak segan melubangi kepalamu.” Entah sejak kapan senjata Silva di tangan Lucie telah berubah menjadi sebuah senapan laras panjang. Ujung moncong senapan mengarah pada kepala Hanruo.
Tidak senang menerima ancaman Lucie, Hanruo malah semakin mengeratkan cekikan pada leher kurus Freya. Wanita itu meronta tak berdaya sementara oksigen semakin sulit memasuki rongga paru-parunya.
Satu tembakan tanpa ragu dilepas Lucie namun tidak pada kepala Hanruo, melainkan pada tangan yang mencekik Freya.
Sosok bertubuh setengah raksasa itu refleks melepaskan Freya dan mundur beberapa langkah sambil meringis kesakitan. Telapak tangannya tampak berlubang dan mengeluarkan darah. “Lucie!!!” Hanruo menerjang mengamuk.
Lucie bergeming di tempat. Silva di tangannya merespon cepat menjadi sebilah pedang. Ketika Hanruo sudah sangat dekat dan kepalan tinju sebesar bola basket sudah di depan wajah, Lucie tiba-tiba membuat satu gerakan kecil. Ia hanya perlu menurunkan posisinya sedikit seraya mengelak ke sisi kiri.
Satu sayatan yang sangat dalam sukses membelah di sepanjang lengan kekar Hanruo. Asam berkonsentrasi tinggi yang terkandung dalam darah Hanruo sontak menyembur keluar menodai topeng dan jubah Lucie.
Jubah coklat Lucie berlubang sedangkan topengnya tampak baik-baik saja.
“Curang sekali kalian menggunakan trik rendahan macam ini.” Lucie melayangkan protes. Cara bicaranya tak lagi seserius sebelumnya.
“Tapi bagimu bukanlah masalah besar.” Latief tidak ingin berpangku tangan. Botol-botol kaca berisi cairan mencurigakan dilempar ke arah Lucie dan pecah tepat di sekitar kaki lelaki bertopeng putih polos itu.
Cairan yang berbaur dengan udara berubah menjadi kepulan asap tebal berwarna-warni senada dengan cairan. Dengan pandangan yang tertutupi seutuhnya oleh gas racun, Hanruo memanfaatkan celah ini untuk kembali menyerang Lucie.
Sekejap tinju Hanruo mengenai sesuatu yang keras dan disertai hembusan angin kencang yang menerpa habis gas-gas beracun itu. Hanruo memicingkan matanya saat mendapati sesuatu semacam tameng menghalau diantara dirinya dan Lucie. Tinjunya jelas membentur kuat benda tersebut namun tameng itu sama sekali tidak tergores.
Dari balik tameng, Lucie menampakkan diri. Bilah pedang yang sama tampak dicabut keluar dari pegangan tameng yang menyerupai tongkat.
Hanruo pikir Lucie akan mengayunkan pedang itu. Tapi dugaannya salah. Itu hanyalah trik murahan yang Lucie pakai untuk mengelabuinya. Serangan yang asli malah sudah tertuju sejak tadi.
Hanruo tidak bisa mengelak dan DOR! Satu tembakan dilepas oleh senapan laras panjang yang sejak awal disamarkan menjadi titik pusat tameng. Selanjutnya permukaan tameng yang terbuka lebar mengucung ke depan membentuk sebuah mata tombak kerucut.
Lucie maju selangkah ke depan dan mengayunkan senjata-setengah-jadi itu. Ujung mata tombak hanya berhasil memberi satu goresan tipis di dada Hanruo. Lucie sudah menduga hal itu dan ia tidak tergesa-gesa. Secepat ia mengubah tameng menjadi mata tombak, secepat itu jugalah pedang di tangan satunya lagi diubah menjadi sebatang besi yang kemudian disambungkan ke pangkal pegangan tombak. Kini bentuk Silva menjadi lebih ideal untuk disebut sebagai sebuah tombak.
Keahlian Lucie dalam memainkan tombaknya sungguh membuat Kaum Naga tercengang. Cara dia menyabet kulit daging Hanruo. Cara dia memutar senjata itu dengan kedua tangan. Lalu langkah kakinya setiap kali berpindah dari depan, ke samping lalu ke balik punggung Hanruo. Semua itu tampak sangat sempurna.
Hanya butuh beberapa detik saja sampai akhirnya Hanruo mematung diam dalam posisi berdiri. Prajurit terkuat Samsara nomor 9 itu mungkin tidak sadar atas kematiannya sendiri. Jika ditelusuri dari dada hingga bagian paha Hanruo, setidaknya ada lebih dari 50 sayatan panjang-pendek yang mencabik-cabik tubuh gempal sosok setengah raksasa itu. Jumlah sayatan tentu saja tidak termasuk yang tipis dan tidak kelihatan fatal.
Posisi terakhir Lucie ketika menyudahi serangannya adalah posisi memunggungi Kaum Naga. Entah disengaja atau tidak, lelaki itu tampak tenang-tenang saja memberikan punggungnya pada Kaum yang menganggap dia sebagai musuh.
Senjata-suci Silva berubah lagi, dan kali ini menjadi wujud tameng. Tapi Lucie malah mengangkatnya menjadi sebuah payung guna menghalau tetesan darah yang mengandung asam milik Hanruo dari atas kepala. Sedangkan, semburan dari depan tak dapat dicegat dan dibiarkan mengotori jubahnya.
Cipratan darah Hanruo menyadarkan kembali Kaum Naga yang sedang ternganga takjub. Dalam sejarah Tanah Agra, belum pernah ada ksatria Kaumm Naga yang bisa bertarung atau menguasai Silva sampai tahap setinggi itu.
Kaum Naga sempat panik ketika darah-asam Hanruo mengenai kulit tangan atau pun wajah mereka. Tapi anehnya tidak ada efek asam mematikan atau racun atau efek aneh lainnya layaknya kematian 3 prajurit terkuat Samsara sebelumnya.
“Kali ini kubiarkan kau menang, Lucie. Suatu hari nanti, pengkhianati macam kau pasti akan kubunuh!” Lycan mundur, begitu pula dengan sisa pasukan Kaum Arina.
Lucie terlalu optimis. Di saat ia menurunkan Silva, detik itu juga senjata rantai miliknya merespon serangan mendadak dari balik punggung.
Kekagetan langsung tergambar di wajah Arken dan juga Freya. Mungkin tidak banyak mengenali senjata-suci itu. Tapi sebagai orang tua, mereka tidak mungkin lupa akan senjata-suci milik putra mereka.
167Please respect copyright.PENANAERvuSzhzCJ