Wujud asli Tanah Agra merupakan sebuah tanah yang bergerak melayang di udara. Namun akibat serangan Kaum Arina, Tanah Agra jatuh dan kandas di daratan Beta Urora. Kini tanah suci itu tampak seperti bongkahan batu berukuran super raksasa yang menghalangi akses satu-satunya menuju utara.
Tanah terbesar dan terluas berada di tengah dan merupakan pusat. Di sana berdiri megah kastil agung Kaum Naga. Kediaman beberapa keluarga Kaum Naga ada di kaki kastil sementara sisaya tersebar di empat tanah terpisah yang terhubung oleh sulur tebal raksasa yang sangat kokoh. Sulur itu merupakan jalur penghubung yang berwujud tangga lentur yang panjang.
Kontes True-Warrior dilaksanakan di kastil agung Kaum Naga. Di dalam kemegahan kastil, terdapat semacam colosseum. Luas dan besarnya mampu menampung hingga ribuan Kaum Naga dalam wujud naga sungguhan. Tempat duduk pun dibuat bertingkat untuk memudahkan penonton menyaksikan pertarungan.
Kontes sudah berlangsung sejak pagi tadi dan setiap Kaum Naga sudah dipastikan memiliki satu tiket untuk menantang di arena. Tiket itu berbentuk simbol tato tribal yang menjadi identitas unik seorang Kaum Naga. Simbol tato tribal bisa muncul dibagian tubuh mana saja dan terbentuk secara alami saat usia 2 sampai 3 tahun.
Sistem yang berlaku juga cukup sederhana. Menang adalah kunci utamanya. Kaum Naga penonton bisa langsung melompat turun ke arena jika ingin menantang petahana. Tidak ada batasan usia dan status. Semua Kaum Naga yang sudah memiliki simbol tato tribal boleh menggunakan hak mereka satu kali saja.
“Masih terlalu pagi, penantang dan petahana masih kstaria standar.” Julius tiba-tiba duduk di samping Alvi. “Bibi,” sapanya pada Freya yang duduk di sebelah Alvi.
“Kau tidak ikut?” tanya Alvi.
Julius menggeleng singkat. Ia bersandar ke belakang seraya menjawab, “Kalau sekarang terlalu membosankan. Orang-orang kuat biasa menunggu setidaknya hingga malam hari atau besok.”
“Mereka membiarkan ksatria standar menghabiskan jatah masing-masing sambil mencari bibit ksatria yang dianggap berpotensi. Kesenangan baru dimulai ketika salah satu dari empat keluarga bangsawan Kaum Naga turun. Itu pun harus keluarga inti.” Julius menjelaskan.
“Empat? Bukannya ada lima?” Alvi sedikit bingung.
“Vaiskyler tidak termasuk. Mana mungkin Tuan Arken turun ke arena. Kecuali Raka datang….” Julius sontak mengatup mulutnya rapat-rapat. Ia lupa Freya Natalia Grey, ibu kandung dari Raka Gilbert Vaiskyer duduk bersamanya.
Berarti yang tersisa adalah Ragnvald, Waldermar, Frostfall dan Kane.
“Tapi aku rasa pertandingan standar seperti ini tetap layak ditonton. Banyak teknik yang bisa dipelajari. Terutama penggunaan senjata,” ujar Alvi.
“Maksudmu Silva? Senjata itu juga termasuk standar. Sengaja dibuat seperti itu agar tidak terlalu luwes,” respon Julius.
“Silva berbeda dengan senjata-suci aku, Gina maupun Andra. Partikel kebebasannya dikurangi sangat banyak sehingga maksimal hanya bisa berubah menjadi dua wujud.” Julius menjelaskan.
“Milikku bisa aku ubah sesuka hati.” Julius memperlihatkan senjata-suci miliknya. Sebuah cincin di jari tengah. Benda berwarna biru aquamarine itu mulai berubah menjadi daun, bunga, kapal dalam botol dan banyak lagi.
“Senjata-suci sebenarnya adalah senjata unik yang dirancang agar sesuai dengan kepribadian penggunanya. Misalnya Gina senang memakai panah, Andra memakai tombak. Tapi di luar itu, Gina sebenarnya cukup mahir bermain pedang. Sedangkan teknik golok Andra juga tidak buruk.” Julius berkata panjang lebar.
“Senjata kami mampu mengikuti keinginan kami dan berubah ditengah pertarungan. Tapi Silva berbeda. Silva ditujukan untuk ksatria standar yang masih belum bisa mengontrol hati dan pikiran. Jika senjata-suci semacam milikku ini diberikan pada mereka, maka akibatnya senjata-suci akan terus menerus berubah bentuk dan bisa jadi membahayakan pengguna atau orang sekitar,” lanjut Julius.
“Silva adalah senjata-suci bagi pemula. Selain pedang dan tombak, senjata itu tidak akan bisa berubah menjadi wujud lain.” Julius tiba-tiba terdiam sejenak. “Menurut catatan kuno. Silva sebenarnya bisa diubah ke wujud lain tapi sangat sulit karena keterbatasan partikel kebebasan. Sampai sekarang pun belum ada yang bisa membuktikan teori itu.”
“Jika ada, mungkin orang itu sudah menjadi ksatria terkuat Kaum Naga. Nyatanya kita malah semakin terpuruk,” lanjut Julius sambili tertawa panjang.
Pertarungan di arena colosseum berlanjut semakin seru. Kedua Silva beraduan ganas di tengah-tengah arena, yang satu berupa pedang sementara satunya lagi berupa tombak. Sang Kaum Naga pengguna tombak tampak mendominasi pertarungan. Ia berhasil mendorong lawannya hingga ke tepi lingkaran arena. Well, mungkin karena bentuk senjata yang lebih panjang sehingga ia bisa menjaga jarak dari lawannya.
Alvi tampak sangat serius menyaksikan pertarungan, sedangkan Julius sudah pergi entah kemana. Kelihatannya lelaki itu sedikit bosan.
Kaum Naga pengguna pedang belum menyerah. Meski tahu dirinya terpojok, ia tidak kehabisan akal. Di saat lawannya memanjangkan tombaknya ke arah dirinya, ia memanfaatkan satu celah kecil ini untuk berguling ke depan menuju lawannya. Satu gulingan itu berhasil membawanya ke belakang punggung sang pengguna tombak. Dengan pedang di tangan, ia langsung mendaratkan senjata itu ke leher lawannya.
Pertandingan berakhir dengan tepuk tangan meriah.
“Jadi seperti itu….” Alvi tanpa sadar bergumam seorang diri.
“Tombak adalah senjata jarak menengah hingga jauh. Secara teori dia unggul dihampir segala aspek, baik dari segi menyerang maupun bertahan. Tapi semuanya kembali ke teknik penggunanya.” Seseorang tiba-tiba berbicara. Tidak tahu sejak kapan pria itu duduk di tempat Julius.
“Dibanding pedang, entah kenapa tombak lebih diminati. Mungkin karena daya serangnya lebih kuat dan lebih bisa melukai lawan. Tapi tombak bukanlah senjata yang mudah dikuasai. Makanya senjata pemula yang diajarkan pada ksatria Kaum Naga adalah pedang. Tapi mereka terlalu terburu-buru ingin segera mempelajari tombak. Dasar anak muda….” Pria asing itu mulai menggerutu.
“Bagaimana denganmu? Kalau kau berani berkomentar, apa artinya kau jauh lebih kuat dari mereka?” Alvi bertanya sekaligus sedikit menguji sang pria asing.
Pria itu sedikit mendongak menatap langit. Ia berpikir sangat lama. “Seimbang harusnya… dengan anggota inti dari lima… umm, harusnya empat keluarga bangsawan Kaum Naga,” ucapnya kemudian.
“Harus tunggu setidaknya sampai tengah malam baru bisa melihat hal menarik. Teknik tingkat tinggi dan keunikan gaya bertarung dari tiap keluarga. Pada saat itu bukan lagi soal menang-kalah. Tapi soal mempertaruhkan status keluargamu. Dipertahankan, diangkat atau malah jatuh.”
“Kau sepertinya tahu banyak.” Alvi merespon pria itu.
Sang pria misterius bangkit berdiri. Dibalik rambut panjang nan berantakan yang menutupi hampir seluruh wajah, seulas senyum familiar terlihat. “Tentu saja. Aku juga pernah menjadi bagian dari mereka,” jawabnya sebelum beranjak pergi.
*****
Apa yang dikatakan Julius atau pun pria asing itu benar. Menjelang malam, suasana pertarungan di colosseum semakin memanas. Tiap keluarga bangsawan Kaum Naga mulai menurunkan ksatria terbaik mereka.
Tiba-tiba sebuah kilat melesat cepat dari bangku penonton menembus dada kedua ksatria yang sedang bertarung di arena colosseum secara bersamaan. Dua ksatria itu langsung ambruk bersimbah darah.
Arken refleks bangkit berdiri. Ini bukan pertandingan saling membunuh. Siapa yang berani melanggar aturan?
“Wah, wah, wah… lihat apa yang sedang mereka lakukan di sini.” Owen, prajurit terkuat Samsara nomor 10 berbicara dengan suara nyaring dari bangku penonton.
Seluruh perhatian colosseum sontak tertuju pada tamu tak diundang itu.
“Tak menyangka kami bisa masuk sampai sedalam ini?” Owen seolah mampu membaca kebingungan para kepala keluarga yang duduk jauh di seberang colosseum.
“Yang di luar tidak bisa masuk, dan yang di dalam tidak bisa keluar. Menyerah saja kalau kalian sedang berusaha berkomunikasi dengan mereka yang di Raffendel.” Daus berkata dari sudut lain colosseum.
Memang benar, komunikasi pikiran keluar colosseum tidak mendapat respon apa pun.
“Bagaimana kalau kita lanjutkan saja pertarungan di sini? Lawannya adalah aku.” Owen menghilang dari posisinya dan muncul kembali di tengah-tengah arena colloseum. Sebuah senjata berbentuk bulan sabit tergenggam di kedua tangannya.
“Biar cepat, bagaimana jika dua sekaligus?” Daus si nomor 3 tidak ingin menjadi penonton.
Regina Waldermar dan Rafael Andra Waldermar serentak menerima tantangan itu.
“Kita tidak bisa keluar. Tempat ini sepertinya sudah disegel oleh mereka.” Pesan melalui komunikasi pikiran antar Kaum Naga disampaikan oleh salah seorang Kaum Naga yang berinisiatif keluar.
“Dilihat dari jumlah, kita seharusnya bisa menang mudah.” Kepala keluarga Frostfall, William Frostfal memberi ide.
“Tidak, biarkan Gina dan Andra menguji mereka.” Arken tidak ingin meremehkan musuhnya.
Gina yang pertama kali menyerang. Senjata-sucinya berubah menjadi sebuah panah dan ditembakkan ke arah Owen.
Owen menghindari anak panah Gina dengan mudah. Namun serangan itu hanyalah umpan karena sebuah mata tombak telah menantinya di posisi ia mengelak.
Andra seolah tahu ke mana Owen akan berpindah.
“Tidak buruk,” puji Owen meski menerima satu luka gores di lehernya. “Tapi jangan lupa lawan kalian bukan hanya aku seorang.”
Dari sisi lain Daus melayangkan satu tinju kepada Andra. Refleks bagus dari Andra sehingga lelaki Kaum Naga itu berhasil menangkis dengan badan tombak. Walau begitu, tenaga Daus terlampau besar untuk ditahan.
Andra terseret mundur.
Dengan jarak sedekat ini, Daus tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia adalah petarung jarak dekat yang memusatkan tenaga sendiri di kedua tinjunya. Daus menambah kecepatan pukulan hingga nyaris tak menyisakan celah bagi Andra untuk menyerang balik.
Sama halnya dengan Gina melawan Owen. Owen terus maju setiap kali Gina berusaha menciptakan jarak. Dengan kedua bersaudara Waldermar yang semakin terpisah jauh, para kepala keluarga mulai gelisah. Namun Arken tetap tenang dan percaya pada kedua anaknya.
Regina Waldermar akhirnya terpojok. Di saat Owen mengira ia akan menjadi orang pertama yang mencabut nyawa salah satu angggota inti keluarga bangsawan Kaum Naga, Gina telah menarik busur panahnya.
“Percuma saja, panahmu itu bisa kuhindari dengan mudah.” Owen membuktikan omongannya. Untuk kedua kalinya ia berhasil menghindari anak panah Gina.
Namun target Gina yang sebenarnya bukanlah Owen, melainkan Daus yang berada di satu garis lurus yang sama dengan arah panahnya.
Bersamaan dengan itu, Andra mengelak terampil ke kiri dan langsung berbalik memunggungi Daus. Senjata-suci tombak berubah menjadi sebuah senapan laras panjang dan ditembak ke posisi Owen mengelak.
Anak panah menembus dahi Daus sedangkan peluru bersarang di punggung Owen. Untuk melengkap serangan Andra, senjata-suci panah Gina berubah menjadi sebuah pedang claymore dan menyabet gesit leher Owen hingga terputus.
Anehnya bukan darah yang menyembur keluar, melainkan ledakan gas mencurigakan berwarna hijau. Gas itu dengan cepat menyebar ke seluruh arena pertandingan dan mulai merambat ke bangku penonton.
Gina yang berada paling dekat langsung jatuh berlutut sambil terbatuk beberapa kali. Andra juga merasa tubuhnya mendadak menjadi lemas.
“Kak!” Andra hendak menghampiri Gina ketika sebuah tinju terasa menghantam punggung hingga menembus ke dada. Andra berbalik dan mendapati Daus masih dapat bergerak meski anak panah telah bersarang kepala.
“Aww… kejam sekali kalian,” celetuk Daus seraya mencabut anak panah. Lubang di dahinya perlahan-lahan menutup kembali bagai partikel air yang menyatu.
“Aku Daus, prajurit terbaik Samsara nomor 3 dan juga yang terbaik di Kaum Arina. Serangan fisik semacam ini sama sekali tidak bisa melukaiku.” Daus berkata dengan angkuh. Ia melupakan fakta bahwa kepala keluarga bangsawan Kaum Naga juga berada di satu tempat yang sama dengannya.
“Kebetulan sekali, apiku sangat cocok melawan unsur air sepertimu.” Henry Aditya Kane, ayah kandung dari Julius Aditya Kane muncul persis di sebelah Daus. Tangannya mencengkeram kuat lengan Daus yang menembus dada Andra.
Api berwarna merah menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh Daus. Sama halnya dengan kematian Owen, tubuh Daus juga meledak menjadi pecahan tetes-tetes air yang membasahi seluruh colosseum.
Air itu bukanlah air biasa atau pun air beracun. Dari setiap titik air yang menyebar, satu demi satu prajurit Kaum Arina berwajah kodok bermunculan. Mereka berpakaian jirah besi lengkap dengan pedang dan perisai di masing-masing tangan. Artinya, yang dilawan oleh Kaum Naga sekarang sudah bukan lagi dua prajurit terkuat Samsara, melainkan pasukan Kaum Arina yang terus-menerus keluar.
161Please respect copyright.PENANANItZFUXifU