Raut Wajah Rihan langsung berubah drastis ketika Raphael Andra Waldermar mencegatnya di tengah jalan. Ia refleks menghembus napas kesal dan memutuskan mengabaikan Andra. Saat ini dirinya sedang tidak ingin bertemu dengan dia atau dua temannya itu.
“Tunggu. Apapun yang terjadi, hari ini kau harus ikut kami ke Alice Nebula.” Andra menahan pundak Rihan. Ketegasan tersirat dibalik ucapannya.
“Aku tidak mau.” Rihan menepis kasar tangan Andra. Ia kembali melangkah namun lagi-lagi Andra menahan.
“Maaf. Terpaksa aku melakukannya.” Andra menepuk kuat tengkuk Rihan hingga lelaki itu pingsan seketika.
Gina bergegas keluar dari mobil yang terparkir di pinggir jalan dan membantu Andra mengangkat Rihan masuk ke dalam. Tak lupa mereka mengikat kedua tangan serta kaki Rihan.
“Kuharap kak Alvi tidak marah.” Andra berkomentar saat melihat Alvi yang sedang tidur di bangku belakang.
“Ini demi kebaikan dia juga. Musuh semakin banyak dan Alvi harus bisa kembali bertarung tanpa mencemaskan kekuatannya,” balas Gina.
Mobil SUV hitam mulai melaju kencang meninggalkan Yi Lu menuju Alice Nebula. Jarak antar provinsi Yi Lu dan Alice Nebula tergolong jauh dan harus menempuh 5 hingga 6 jam perjalanan. Mungkin bisa lebih cepat karena Andra benar-benar memacu mobil tersebut.
“Demi dia, kalian nekad melakukan apa saja.” Ucapan Rihan mengusik keheningan mobil yang sudah berlangsung selama 4 jam.
“Maaf.” Hanya satu kata itu yang bisa keluar dari mulut Andra.
Rihan memperbaiki posisi duduknya. Ia mengusap secara bergantian kedua pergelangan tangan.
“Kau—” Andra setengah terkejut setengah harus fokus ke jalan. Matanya berulang kali mencuri pandang pada kedua tangan Rihan yang seharusnya terikat di belakang. Bagaimana cara dia melepaskan ikatan? Andra bertanya-tanya dalam hati.
“Tenanglah. Aku tidak akan lari.” Rihan mulai sibuk melepas ikatan di kakinya. Ia sangat sadar, lari sekarang adalah tindakan sia-sia. Hidupnya akan terus dikejar oleh bayang-bayang mereka bertiga. Lagipula mereka hampir tiba di Alice Nebula yang ditandai dengan terlihatnya gedung-gedung tinggi pencakar langit di depan sana. Jadi untuk apa tetap keras kepala?
Entah kenapa ucapan itu membuat Andra merasa sedikit lebih rileks. Ia bisa lebih fokus memacu mobilnya.
“Waldermar, apa dia selalu seperti ini setiap kali menggunakan kekuatannya?” Rihan tiba-tiba bertanya.
“Tidak selalu. Kak Alvi bisa cukup nyaman mengggunakan api kematian dengan catatan kekuatan korosif bisa ditekan. Selama ini yang menekan adalah batu yang menyimpan kekuatan nullified.” Andra menjawab.
“Semenakutkan itu kekuatan korosif?” tanya Rihan lagi.
“Kau tidak tahu, Daniel. Kekuatan korosif adalah senjata bermata dua. Ia bisa membunuh musuh secara instan, tapi juga bisa merengut nyawa penggunanya. Ayah—maksudku, pemimpin Kaum Naga melarang kak Alvi menggunakan kekuatan itu.” Andra menjelaskan.
“Lalu, kenapa tidak disegel saja?” Rihan mulai menggunakan kemampuan interogasi untuk mencari tahu lebih banyak.
“Dulu sempat dilakukan. Sehari setelah kekuatan korosif disegel, kak Alvi malah demam tinggi selama seminggu penuh dan tidak ada tanda-tanda akan turun. Tapi ketika segel dilepas, demamnya malah turun hanya dalam satu malam saja.” Andra melayani dengan sabar.
“Merepotkan,” komantar Rihan secara tak sadar.
“Apa boleh buat. Selama ada ketakutan di hati kak Alvi, maka ia tidak akan bisa menaklukkan kekuatan korosif. Trauma itu… sulit untuk pulih.” Andra berkata.
Mobil akhirnya masuk ke Alice Nebula dan langsung berbelok ke markas besar Alice Nebula yaitu Nebula Tower. Sebuah gedung pencakar langit tertinggi di seluruh daratan Beta Urora. Konon katanya di dalam sana terdapat satu ruang dimensi yang menyediakan arena pertanding luas dan mampu menampung hingga ratusan ribu penonton.
Andra, Gina dan Rihan sama-sama keluar dari mobil. “Aku akan membawa Daniel ke tempat Sasha,” ujar Andra.
“Kalau gitu aku bawa Alvi ke rumah sakit.” Gina pindah ke depan mengambil alih kemudi mobil.
Lobi utama Nebula Tower lebih kosong dari dugaan Rihan. Selain satu orang resepsionis dan dua orang satpam, di dalam sini nyaris tidak terlihat siapapun. Andra membawa Rihan menuju lift dan mereka naik hingga lantai 53.
Bilik-bilik pintu tampak saling berhadapan ketika pintu lift terbuka. Aneh, seharusnya Nebula Tower adalah gedung perkantoran. Tapi kenapa Rihan merasa lebih mirip apartemen dibanding kantor?
Andra mengetuk pintu paling ujung sebanyak tiga kali. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung membuka pintu seolah ketukan barusan hanyalah sebuah formalitas belaka.
“Sebulan… Lebih cepat dari perkiraanku, Waldermar,” celetuk Sasha saat melihat Andra membawa masuk Rihan ke ruangan kecil berukuran 3x3.
Sasha Muller adalah sosok wanita ramah, berkacamata bulat besar dengan bingkai tipis. Jika boleh dideskripsikan secara singkat. Penampilannya serta bola kristal di antara kedua tangan membuat orang-orang yang melihatnya pasti mengira dia adalah seorang peramal, pembaca masa depan atau semacamnya.
“Kalau lebih lama lagi, kurasa akan jatuh korban jiwa,” balas Andra dengan senyum samar di bibirnya.
“Kalian sudah bekerja keras. Jangan lupa laporan tertulis pada ketua,” ucap Sasha.
“Terima kasih. Daniel kuserahkan padamu. Aku mohon pamit.” Andra membungkuk singkat lalu bergegas keluar.
Setelah itu Sasha Muller berpaling pada Rihan. Ia mencermati gerak-gerik lelaki di hadapannya. Lagi, baju yang dipakai Rihan mendapatkan respon negative yang teramat sangat. Apa yang salah dari kaos bergambar kepala beruang? Rihan sungguh tidak paham!
“Silakan batu ini dengan kekuatan nullified-mu.” Sasha berkata sembari menyerahkan sesuatu seperti kerikil putih.
“Caranya?” Rihan bertanya bingung. Ia tentu saja tidak tahu caranya.
“Teorinya adalah melakukan transfer energi dalam dirimu ke objek yang ada di genggaman tanganmu. Sisanya kau bisa cari tahu sendiri.” Sasha kembali fokus pada bola kristal dihadapannya. Wanita itu tak mengacuhkan Rihan yang masih penuh tanda tanya.
Menit berganti jam dan Rihan masih bergelut dengan kerikil di tangannya. Tidak ada yang berubah dari kerikil itu kecuali permukaannya yang sudah basah oleh keringat Rihan.
“Sasha, satu jam yang lalu aku mendapati laporan dari tim di reruntuhan Samsara. Bisakah kau melacak keberadaan orang-orang ini?” Seseorang tiba-tiba masuk dan menyerahkan sebuah amplop coklat besar.
Seorang laki-laki. Rambutnya coklat kemerahan, usia kurang lebih seumuran Rihan dan penampilannya sangat nyaman dipandang mata. Seragam resmi prajurit Nebula Tower yang merupakan perpaduan kemeja putih dan jas khusus untuk tim elite.
“Oh, ini orang yang ditemukan Andra?” tanyanya sambil berpaling pada Rihan.
“Ya. Sangat disayangkan kekuatan nullified jatuh di tangan orang tak berkharisma macam dia. Aku mash berharap dia sedikit berwibawa sepertimu, Julius,” ujar Sasha sangat jujur.
Ucapan Sasha sedikit menusuk perasaan Rihan.
Julius tertawa kecil. “Sasha, jangan menilai buku dari sampulnya. Kau boleh menilaiku sesuka hatimu. Tapi jangan melukai perasaan sobat ini.” Julius menepuk bahu Rihan sambil terus tertawa.
“Ya, kuharap isinya seratus kali lebih bagus dibanding sampulnya,” komentar Sasha sembari membuka amplop yang baru ia terima.
“Well, memang sedikit terlalu jelek. Baju bergambar kepala beruang sangat tidak cocok dengan karakter seorang pria, teman.” Julius masih terus tertawa seakan tawarnya tidak akan bisa berhenti.
“Kalau sudah ketemu, tolong letakkan hasilnya di atas mejaku. Aku mau menjenguk Alvi sebentar. Dan kau….” Julius mendaratkan pandangan pada Rihan. Seketika mata biru azure-nya bertemu dengan mata coklat gelap Rihan.
“Jangan bertingkah, ya.” Julius menepuk bahu Rihan dua kali sebelum berjalan keluar dengan langkah cepat.
Mata Rihan mengikuti punggung Julius hingga bayangan laki-laki itu menghilang di balik pintu.
“Kalau batu ini sudah terisi penuh, apa aku boleh langsung pergi?” Rihan tiba-tiba bertanya pada Sasha.
“Ya, tentu saja boleh.” Sasha mengangguk tanpa pikir dua kali.
Sekejap saja hawa di seluruh ruangan 3x3 itu berubah menjadi sejuk. Gambar pada bola kristal pelacak jejak di depannya mendadak berkedip buram sepersekian detik sebelum kembali normal. Kerikil kecil yang semula berwarna putih kini berubah menjadi jingga cerah dan tergeletak di atas meja.
“Aku pergi sekarang. Terima kasih.” Rihan berkata dengan sangat terburu-buru sebelum keluar pintu dengan kecepatan penuh.
*****
Pintu lift tertutup dengan 2 orang pria di dalamnya. Tujuannya yaitu lantai dasar Nebula Tower. Angka pada layar lift mulai menunjukkan perhitungan mundur dari lantai 53.
“Rihan Daniel, apa pekerjaanmu sekarang?” Julius Aditya Kane bertanya dengan ekspresi datar di wajahnya.
“Detektif, tapi lebih bagian pengumpulan informasi.” Rihan menjawab pertanyaan basa-basi itu.
“Detektif ya… memang cocok sekali denganmu,” komentar Julius dengan bahu yang mulai gemetar.
Rihan menyadari gelagat aneh dari lelaki di sampingnya. Tangan Julius tampak terangkat menutup mulut seolah sedang berusaha menahan tawa yang sudah sejak tadi ditahan.
“Tapi… baju gambar kepala beruang… kenapa kau harus memilih pakaian seperti itu, teman? Baju selucu ini sangat tidak cocok kau pakai,” tukas Julius masih terus menahan tawa.
“Bisakah kau tidak mengomentariku? Batinku masih terasa dikhianati.” Rihan membalas dengan nada kesal.
Julius mengangkat kepalanya memandang Rihan. Tawa sudah sedikit lebih reda. “Apa? Kau kira aku yang membocorkan keberadaanmu?”
Rihan enggan menjawab.
“Bola kristal Sasha bisa melacak keberadaan orang-orang yang ingin ia cari. Tidak sampai spesifik ke alamat tempat tinggal. Paling hanya sampai batas kota atau provinsi.” Julius berusaha membela diri.
“Tapi aku kira kau pasti tahu, cepat atau lambat orang-orang kita akan mencarimu, Daniel,” tukasnya.
“Aku akan lebih senang kalau kalian tak lagi mengusik atau menemukanku. Lebih baik biarkan aku tetap dalam persembunyian,” ungkap Rihan dari lubuk hati terdalam.
“Walau yang mencarimu adalah Alvi Veenessa Endley?” Perkataan Julius terdengar memancing.
Rihan tersenyum pahit. “Siapa dia? Aku tidak kenal dan tidak mau tahu tentangnya. Batu nullified sudah terisi penuh dan antara aku dengan kalian sudah tidak ada kepentingan,” tegas Rihan.
Julius tersenyum ketika pintu lift kembali terbuka. Pada layar lift tertulis huruf G yang artinya Ground. “Sebegitu inginnya kau lari?” tanyanya sambil melangkah keluar lift.
“Aku tidak bodoh sampai-sampai harus pasrah menunggu mereka datang memotong kepalaku, Julius,” ketus Rihan dengan wajah dibuat sedatar mungkin agar orang-orang di lantai dasar Nebula Tower tidak mengetahui kedekatan hubungan mereka.
“Ya, ya, ya, aku tahu kau tidak bodoh. Strategi, analisa, logika, semuanya adalah keahlianmu. Kau jenius, sangat jenius. Jadi tidak ada salahnya jika aku berharap si jenius Daniel ini akan berhenti berlari dan mulai melangkah menantang dunia. Seperti dulu,” ujar Julius.
“Apa yang bisa aku tantang sekarang?” Rihan telah kehilangan seluruh minat atas permasalahan di Beta Urora. Ia hanya ingin hidup tenang dalam kesendirian tanpa ada yang tahu siapa ia sebenarnya.
Julius menghentikan langkah di teras depan Nebula Tower. “Dirimu sendiri,” ucapnya.
ns 15.158.61.8da2