Di dalam kelas keadaan berisik karena seluruh siswa tengah bersiap-siap untuk pulang. Sebagian dari mereka masih harus belajar sampai jam 9 malam. Itu yang dilakukan oleh Teo. Anak itu menyimpan pulpennya di sela-sela rambutnya yang keriting.
Kaki kanannya bergetar memperhatikan Reza yang sedang memasukkan beberapa buku.
"Kok lu gak pernah ikut kelas tambahan sih?" Tanyanya iri.
Teo merentangkan kedua tangannya di atas meja. Jemari telunjuknya bergerak-gerak di punggung Reza.
"Gue gak bodoh, tuh." Jawabnya sangat ringan.
Untung saja emosi Teo tidak mudah mendidih.
Reza berpamitan, kaki jenjangnya melangkah keluar dari kelas.
Sembari menggunakan ranselnya, mata turquoise itu tertuju pada seorang gadis berambut panjang.
Gadis yang melangkah bersama dengan seorang siswi teman satu sekelasnya.
Reza tidak memanggil Monica.
Dia membiarkan gadis itu berinteraksi dengan teman-temannya. Lagi pula sepertinya Monica sudah memulai kehidupan yang baru, yang lebih damai. Itu sedikit membuat Reza senang karena di akhir-akhir masa sekolah Monica, gadis itu sedikit nya bisa menikmati masa sekolah yang baik.
Walaupun dirinya merasa ada yang aneh dengan Monica.
Hari ini lelaki itu cukup khawatir. Mengapa Monica berinteraksi dengan Kansa secara sembunyi-sembunyi?. Apa yang disembunyikannya sampai harus saling berbisik.
Reza menyadari bahwa Dimas tidak masuk sekolah, lantas kemana perginya anak baseball menyebalkan itu?
Jalannya melambat saat seorang lelaki menyusul langkah kaki Reza. Lelaki berambut cokelat tersebut mendekati Monica. Kedua tangannya membawa tumpukan buku.
Reza mengernyitkan keningnya. Sepertinya Kansa berencana untuk bolos kelas tambahan.
Reza masih bergeming. Rasanya ada yang mengganjal perasaannya. Dia hendak mengepalkan tangannya namun ia menahan diri. Pikirannya tidak seperti tubuhnya. Reza gagal mengontrol pikirannya sendiri.
'Lagi-lagi anak itu nempel ke Monica.' Dalam hatinya mendumal.
'Aneh kalo tiba-tiba Kansa sering ngobrol sama Monica. Pasti ada sesuatu yang berkaitan sama Dimas.'
Reza memperhatikan gerak-gerik Monica yang sangat hati-hati membuat lelaki itu semakin penasaran.
Saat keluar dari gerbang Sarah satu-satunya yang memisahkan diri. Anak itu masuk ke dalam mobil sedan c-class sementara Kansa masih berjalan bersama dengan Monica.
Reza menahan diri untuk tidak menyingkirkan Kansa. Walau sebenarnya dirinya sudah sangat gemas ingin mendorong Kansa agar tidak dekat-dekat pada Monica.
Cuaca sore jauh lebih cerah dari pada pagi tadi yang diguyur oleh hujan.
Monica mengecek ponselnya, ia pikir Reza akan menghubunginya namun ternyata tidak.
Kansa menegur Monica mengatakan bahwa busnya sudah datang.
Gadis itu mengangguk lalu menyusul Kansa yang sudah masuk terlebih dahulu.
Ada perasaan bersalah di dada Monica. Ia merasa bersalah karena tidak menunggu Reza saat jam sekolah usai.
Reza melajukan motornya dengan kecepatan stabil. Ia tidak harus terburu-buru karena mobil yang di kejar olehnya tidak melaju dengan kencang. Setelah cukup dekat ia mengambil jalur mobil tersebut lalu menutupi jalannya. Membuat seseorang yang ada di dalam kesal. Supir melipir ke sisi jalan lalu menghentikan mobilnya sejenak.
Begitupun yang dilakukan Reza. Ia turun dari mobil dan langsung mengetuk kaca jendela mobil penumpang.
Dimas terbangun dari tidurnya, ia meraih kain yang menempel di kening dan juga perutnya.
ooOoo
Kain itu sudah kering menimbulkan aroma yang mengganggu.
Dimas tahu bahwa dirinya berada di kediaman Monica.
Mata abunya menatap plafon. Ia terlempar pada sore hari kemarin.
Perdebatannya dengan Kenta membuat Dimas sakit hati. Apalagi ia diusir dan Karin yang dipertahankan oleh papanya.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun menjadi seorang anak yang penurut demi dibanggakan pada seluruh manusia yang dikenal papa nya, bocah itu akhirnya berontak juga. Selama ini Dimas menjadi pembangkang di sekolah dan menaati peraturan di rumah. Itu adalah suatu hal yang buruk, yang bahkan seharusnya Dimas menjadi anak baik dimana pun keberadaannya.
Di dalam hatinya Dimas tidak suka di atur oleh papa nya. Tapi ia tidak punya cukup keberanian untuk menentang keinginan Kenta. Terlebih mama nya selalu meminta hal yang sama.
Papanya itu terobsesi menjadikan Dimas sebagai panutan siapapun. Maka dari itu seharusnya Dimas tidak membuat dirinya tercela. Dia harus menjadi anak yang sempurna.
Bahkan sekolah membungkam mulutnya untuk tidak mengatakan hal buruk perihal Dimas.
Dan anak itu sendiri yang membongkar sikapnya.
Menindas Monica secara terang-terangan namun seluruh siswa disana menjadikan mata mereka buta ketika tindakan kekerasan itu berlangsung beberapa bulan terakhir.
Karena mereka juga memang menginginkannya. Menginginkan sebuah hiburan di tengah-tengah penatnya pelajaran sekolah.
Dan kala itu Monica adalah sasaran paling empuk untuk menjadi objek hiburan.
Walaupun kenyataannya tidak semua orang menikmati hiburan yang di buat Dimas.
Dimas bangkit dari tidurnya. Beringsut duduk menyentuh kepalanya yang masih pusing.
Ia merasa bahwa seharusnya Monica tidak menolongnya. Jika begini Dimas merasa bahwa Monica sedang berusaha bersikap baik agar dirinya tidak mengganggu lagi gadis itu.
Tangannya meraih jaket lalu mulai berjalan keluar kamar.
Dirinya terdiam di depan pintu utama.
"Berapa pinnya?" Gumamnya menghembuskan napas yang jangan panjang.
Dimas terjebak di Apartemen Monica.
Mata Hooded nya tertuju ke kamar mandi. Di dalam ia melepas pakaiannya lalu sedikit berbalik dan melihat pantulan punggungnya yang di penuhi dengan plaster berwarna-warni.
Dia terkekeh ringan. Tidak habis pikir dengan perbuatan Monica.
Lancang sekali gadis itu menyentuh luka-lukanya, bahkan dengan berani menutupinya dengan plester-plester norak.
Tangannya mulai meraih satu persatu plester, ia menarik, melepas benda tersebut. Sesekali meringis karena nyeri. Bulu-bulu halus yang terdapat di punggungnya ikut tercabut.
Ketika sedang sibuk dengan plester-plester, kupingnya mendengar suara nyaring. Suara dari kunci pin yang sedang ditekan.
Refleks lelaki itu keluar dari kamar mandi lalu terdiam syok karena Monica datang bersama dengan Kansa.
Monica mengerjap-ngerjapkan matanya. Gadis itu tidak menyiapkan diri untuk melihat tubuh Dimas yang telanjang dada.
Tubuh nya sangat atletis bahkan sepertinya Dimas cocok sekali menjadi seorang perwira.
Mata nya bertemu dengan mata Dimas lantas langsung menundukkan kepala merasa malu karena sudah melihat tubuh remaja tersebut.
"Lu udah baikan, Dim?" Kansa langsung menyambar tubuh Dimas.
Ia meng-scan seluruh tubuh Dimas dari kepala sampai kaki. Dan benar saja yang dikatakan oleh Monica bahwa ada banyak sekali luka di punggungnya.
Kansa mulai bertanya dan mengomeli Dimas karena lelaki itu tidak bercerita apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Sementara Dimas menatap perempuan di hadapannya. Gadis yang sedang menundukkan kepalanya. Dimas benar-benar marah pada Monica. Kenapa lagi-lagi dia dengan lancang memberitahu keadaan dirinya pada Kansa.
Dimas menghiraukan Kansa lalu pergi melewati Monica membuat hembusan angin dingin menerpa tubuh gadis tersebut. Hembusan angin yang sama seperti sebelumnya. Sebuah hembusan kebencian.
Dimas menekan pin Apartemennya lalu masuk. Karena tidak mau dikunci dari luar buru-buru Kansa menyusulnya.
Monica ditinggalkan sendirian. Tanpa sepatah kata apapun dari Dimas.
'Apa aku bikin kesalahan?'
Monica sulit memahami reaksi Dimas. Ia tidak mengerti mengapa Dimas terlihat begitu sangat marah padanya.
Di dalam ruangan Apartemen yang sedikit berantakan berbeda dengan ruangan milik Monica yang rapih dan segar.
Apartemen Dimas cenderung gelap dan tidak tertata.
Kansa masih mengomel bahkan rasanya lelaki itu sudah keterlaluan membuat Dimas marah.
"Anj*ng berisik! Mending lu balik, gue muak ketemu sama lu!"
Kansa tersentak mendengar ucapan Dimas. Dia tidak percaya jika Dimas akan semarah itu padanya hanya karena dirinya mengomel.
Beberapa saat Kansa bergeming.
"Okey gue balik. Gue minta maaf kalo udah keterlaluan sama lu. Cepet sembuh Dim." Langkah selanjutnya adalah meninggalkan Dimas terlebih dahulu.
Mungkin Dimas memang memerlukan kesendirian untuk beberapa waktu. Sehingga Kansa mengerti.
Tidak seharusnya juga dirinya mengomel pada Dimas yang sedang dalam keadaan sulit. Mengingat luka di punggung temannya itu cukup parah dan mungkin karena luka itu juga emosi Dimas terguncang.
Kansa keluar dari gedung dengan perasaan yang gundah. Ia terbawa perasaan dengan nada bicara Dimas yang seolah tidak membutuhkannya.
Persahabatan keduanya sangatlah baik bahkan melebihi dari teman. Sehingga Kansa sakit hati mendengar Dimas muak bertemu dengannya.
Namun lagi-lagi Kansa mengerti. Dia mengerti, mengerti jika Dimas sedang dalam emosional yang buruk.
Bersambung ...
ns 15.158.61.45da2