Ruangan sempit dengan tembok yang dipenuhi bercak-bercak kotor. Entah noda darah atau mungkin noda kotoran yang sengaja di oleskan ke tembok oleh penghuni sebelumnya membuat ruangan tersebut tampak kumuh walaupun semua furniture yang dipakai berwarna putih namun tampaknya justru terlihat lebih mengerikan. Jauh dari kata bersih.
Sebuah novel dan juga kitab suci tersimpan dengan rapih di atas kayu yang dibuat menyerupai rak dinding kabinet.
Denand terdiam memperhatikan televisi yang terpampang di luar jeruji pribadinya. Dia baru saja di pindahkan ke ruangan yang lebih privat dan pribadi. Tidak ada ekspresi apapun yang keluar dari wajahnya ketika dia dengan seksama menonton sebuah berita mengenai kasus bunuh diri adiknya sendiri.
Sebenarnya jauh dari lubuk hatinya, Denand tidak pernah merasa bersalah sama sekali atas kegagalan yang di capai oleh adiknya tersebut. Toh, dia sudah menduga jika Kresna tidak akan menang walaupun keadaan Denand tidak masuk penjara sekalipun.
Dia juga berasumsi jika alasan adiknya tersebut menyerang anaknya adalah karena dendam Kresna pada dirinya. Pada siapa lagi dia akan meluapkan amarahnya jika bukan pada Monica?
Pandangannya ditutupi oleh tubuh seorang pria berseragam.
Seseorang datang mengunjunginya.
Denand masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup besar yang di sekat kaca besar. Dia bersama dengan tahanan lainnya bertemu dengan seorang tamu.
Tamu yang tidak pernah di sangka olehnya. Seorang pria paruh baya. Semerbak wangi daun mint tercium masuk ke dalam hidung Denand.
"Berkunjung untuk mengucapkan selamat tinggal?" Tanya Denand sembari tersenyum.
Pria dihadapannya tertawa ringan.
"Benar. Anda akan segera terbang ke langit dengan sayap dan hidup bebas."
"Yah.. Saya harap saya bisa terbebas dari api neraka."
Lantas mereka menertawakan ucapan Denand tersebut.
"Well~ Kurasa Anda memang sudah seharusnya keluar dari tempat kumuh ini. Dan saya rasa sudah tidak ada yang harus dipikirkan diluar sana. Anda sudah tidak memiliki siapapun." Pria tersebut berkata dengan arogan tanpa belah kasihan.
Ia menghisap cerutunya membuat asap mengepul masuk ke dalam matanya dan membuatnya sedikit perih.
Denand tidak mengatakan apapun dia hanya menatap pria paruh baya dengan pakaian rapih berjas dan selandang rajut berwarna maroon yang sama sekali tidak cocok untuknya. Pria yang usianya sudah mencapai 70 tahun tersebut tersenyum melihat bawahannya yang kini mendekam di penjara.
Mau bagaimana lagi Denand adalah pengalihan isu terbaik untuk memengaruhi masyarakat mengenai berita yang beredar di kanal media sosial perihal bisnis gelap yang sudah mulai tercium di beberapa wilayah. Belum lagi para influencer sok tahu yang mencoba membedah para mafia di negara tercinta ini.
Lelaki muda di hadapannya sama sekali tidak keberatan untuk dijadikan sebagai tumbal. Bahkan dengan lapang dada Denand menerima hukuman mati yang sudah diberikan oleh Hakim.
Denand memang hidup untuk mati melindungi Crimson Dominic. Sang pemimpin sindikat kejahatan terorganisir yang berdiri di Kota Belia. Dia adalah pria 70 tahun yang berdiri dengan tegak dan gagah karena semasa mudanya hidup tanpa tidak berkelahi sehari pun sehingga membuat tubuhnya terus berolahraga.
Dominic menjadi bagian dari kejahatan saat usia 21 tahun bergabung bersama sang kakek untuk menjatuhkan ayahnya sendiri. Setelah kematian ayahnya Dominic menjadi penguasa bersama sang kakek. Namun tak lama kakeknya meninggal dunia dan dia menjadi bos termuda di kalangan kelompok-kelompok mafia yang ada.
Dominic mengeluarkan ponselnya lalu memperlihatkan kertas elektronik pada Denand. Lelaki itu membaca dengan sekilas.
"Saya harap saya tidak akan pernah mengunjungi tempat ini lagi. Terimakasih sudah berkerja untukku selama ini. Anda adalah yang ( bawahan ) terbaik yang pernah saya miliki. Mungkin jika Tuhan berkehendak kami akan bertemu di neraka."
Pertemuan antara Denand dan Dominic tidak membuat haru sama sekali bahkan kata-katanya terdengar lebih tidak peduli. Dan mungkin seharusnya Dominic tidak membuang-buang waktunya hanya untuk bertemu dengan Denand untuk yang terakhir kali.
Tak berapa lama setelah kepergian Dominic. Mantan pengacaranya menghampiri Denand di penjara. Tampaknya narapidana yang satu itu sangat sibuk hari ini.
Sama seperti yang di lakukan oleh Dominic, pengacara tidak kompeten tersebut datang untuk mengatakan selamat tinggal dan menyampaikan berita.
"Anak semata wayang anda tampaknya sangat terguncang dengan keadaan yang terjadi." Ujarnya membuat Denand agak kesal.
"Apa yang ingin anda sampaikan?" Denand tidak mau basa-basi.
"Monica dinyatakan mengidap gangguan jiwa."
ooOoo
Reza tidak sempat mengunjungi Monica karena keterbatasan waktu yang dimiliki olehnya saat ini.
Ketika selesai mengerjakan ujian esai remaja itu hendak pergi ke rumah sakit jiwa namun Ubud menahannya. Ubud sedikit marah pada Reza karena seharusnya Reza lebih memprioritaskan Remora dibandingkan Monica yang dianggap oleh Ubud sebagai beban dan parasite di kehidupan Reza.
Sulit bagi Reza memutuskan hal tersebut karena baginya keduanya sama pentingnya. Mata turquoise itu melihat ke arah sisi kiri, Jo. Dia juga harus melindungi bocah lelaki yang selalu membuat masalah itu. Hingga akhirnya Reza memilih, dia memilih untuk pergi ke perbatasan menemui seseorang yang sudah mengiriminya email.
Setidaknya Monica berada di tempat yang aman.
"Gue minta tolong buat jagain Monica di rumah sakit." Gumamnya memerintah salah satu anggota Remora.
Lelaki itu mengangguk lalu bergegas pergi ke rumah sakit tempat di mana Monica dirawat.
Hal kecil tersebut sedikit mengganggu Ubud, dia tidak suka ketika ketuanya membagi prioritasnya dengan perempuan pembawa sial seperti Monica. Ubud benar-benar tidak menyukai gadis itu.
Setelah berpamitan dengan anggota yang lain, keduanya pergi menggunakan mobil masing-masing.
G-Class hitam melaju memimpin yang dikendarai oleh Ubud sementara Reza berada tepat dibelakang mobil offroader tersebut. Reza mengendarai mobil yang ukurannya lebih kecil dari G-Class yaitu Genesis Turbo bahkan tidak terlihat jika ada mobil Reza ketika di lihat dari depan apalagi keduanya menggunakan mobil berwarna hitam yang terus melaju menghindari jalanan utama dan juga pemukiman.
Memasuki jalanan yang sisi kanan dan kirinya adalah pepohonan menjulang tinggi. Hanya sesekali mereka melihat kendaraan lain dari arah berlawanan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Perbatasan Kota Belia dan Kota Jengga terdapat di jalanan Kereta Api yang di mana rel tersebut sudah tidak beroperasi lagi karena Kota Jengga hampir di tinggalkan oleh ratusan masyarakat akibat sebuah gunung berapi yang meletus pada tahun 20XX. Yang tersisa hanyalah beberapa keluarga yang memang tidak memiliki tujuan lain selain berada di Kota tersebut. Bahkan gunung berapi tersebut kembali aktif hingga saat ini.
Akibat dari semburan lava dan juga gas vulkanik para masyarakat yang selamat berbondong-bondong pindah ke Kota Belia yang letaknya tidak cukup jauh. Hanya memerlukan waktu sekitar 3 Jam untuk sampai di Kota Belia yang memiliki kesetaraan sosial. Namun Migrasi yang dilakukan tersebut juga memberikan dampak bagi Kota Belia yang sekarang ini sudah mulai terlihat perubahannya.
Tepat jam setengah sebelas malam mereka menghentikan mobilnya beberapa meter dari jalur rel Kereta Api.
Reza menyusul Ubud yang sudah keluar dari mobilnya.
Lelaki dengan rambut undercut tersebut menyalakan rokok, dia berniat untuk membuat tubuhnya sedikit santai. Tidak bisa bohong, sebenarnya Ubud sedikit takut jika dirinya dan Reza di jebak oleh orang suruhan The Kings.
Lampu mobil Ubud dibiarkan menyala untuk menerangi sekitar yang gelap.
Reza memperhatikan tembok benteng yang sudah jebol, sepertinya tembok tersebut sengaja dirusak. Reza bisa melihat remang-remang lampu dari kejauhan dan menyimpulkan jika cahaya lampu tersebut bersumber dari sebuah rumah.
Angin berhembus kencang membuat api rokok padam. Tepat ketika Ubud menyalakan korek api sebuah langkah kaki terdengar. Ubud mengira jika suara tersebut berasal dari belakang sementara Reza mendengarnya dari sisi kiri tempatnya berdiri.
Keduanya saling bertatapan menyadari jika sepertinya mereka tengah di kepung.
Keadaan menjadi sangat tegang ketika Ubud bahkan tidak jadi menyalakan rokok, Reza mengecek ponselnya. Tadi dia sempat mengirim email, mengabari seseorang yang masih misterius itu jika dirinya sudah tiba di perbatasan.
Sunyi, membuat desiran angin terdengar sangat jelas di telinga.
Ubud mengeluarkan pist*lnya dari saku dalam jaket. Ia menelisik ke sisi kanan sementara Reza dengan tangan kosong memperhatikan sisi kiri.
Jelas sekali jika ada yang bersembunyi di balik pepohonan.
Tiba-tiba saja ponsel Reza berdering.
Tanpa berpikir panjang lebar Reza langsung mengangkat panggilan dari orang tidak dikenal tersebut.
"Gue cuma butuh ponsel itu sekarang." Kata Reza langsung to the point.
Suara tertawa dari seorang laki-laki terdengar di dalam handphone Reza.
"Tenang! Gue pasti menepati janji, akan ada seorang perempuan yang muncul dari balik pohon. Dia membawa ponsel terkutuk itu. Jadi suruh temen lu buat turunin pist*l."
Reza mengangguk pada Ubud. Perlahan Ubud menurunkan kedua tangannya.
"Buang pist*l itu." Perintah lelaki tersebut dan lagi-lagi Reza menyuruh Ubud untuk menurut.
Ubud melempar benda tersebut ke sembarang arah.
Lantas seperti yang di katakan oleh lelaki di dalam telpon jika ada seorang perempuan yang muncul dari balik pohon. Dia adalah seorang anak kecil yang terlihat lusuh.
Reza tidak bisa mengatakan apapun ketika mengetahui jika suruhan lelaki misterius itu adalah seorang bocah perempuan. Tidak. Ini bukan saatnya bagi Reza untuk merasa iba. Dia mengulurkan tangannya meminta anak tersebut menyerahkan blackphone.
Bocah kecil itu merogoh saku pakaiannya lalu hendak menyerahkan blackphone namun tiba-tiba saja seseorang muncul dari semak-semak, seorang pria yang sedang menodongkan sebuah pistol kea rah Ubud dan juga Reza. Sontak Reza langsung menarik tubuh bocah itu untuk menyembunyikannya di balik tubuhnya yang besar.
Ubud mencari keberadaan pistolnya dan seketika dia ingat jika tadi dia melempar pistolnya ke dalam bawah mobil.
"Tolol!!" Pekiknya kesal.
"Angkat tangan!" Perintah polisi itu.
Ubud mengikuti perintahnya namun di dalam benaknya dia sedang memikirkan cara untuk kembali mengambil pistolnya dan membunuh polisi di hadapannya.
"Rezan, om pikir kamu tidak terjerumus terlalu dalam."
Reza mengernyitkan dahinya, dia tidak memberi respon apapun terhadap Kenta.
Bagaimana bisa ayahnya Dimas berada di perbatasan ini? Apa yang sedang dilakukan olehnya disini? Apakah dia dengan sengaja membuntuti Reza dari kota sampai sini?.
"Lu kenal sama polisi itu?" Ubud bertanya dan Reza hanya mengangguk.
"Kami hanya sedang melakukan transaksi kecil." Jelas Reza membuat Ubud membelalakkan matanya.
"Transaksi?"
Selagi Reza mengobrol dengan polisi tersebut, Ubud berusaha menyuruh bocah disebelahnya untuk berlari. Hal itu Ubud lakukan agar perhatian polisi tersebut teralihkan dan benar saja ketika Ubud berhasil menyuruh bocah itu untuk melarikan diri. Kenta sesegera mungkin menekan trigger membuat suara nyaring yang sangat dasyat terdengar di kuping, bahkan Ubud langsung diam ditempat dalam keadaan setengah berjongkok karena kaget.
Matanya bertemu dengan mata Kenta, secepat mungkin Ubud meraih pistolnya dan langsung menodongkan benda tersebut tetapi sayang sekali Kenta jauh lebih cepat. Dia menekan kembali trigger, menendak Ubud terlebih dahulu.
Beruntung Reza menyelamatkannya hanya saja ketika kedua remaja itu kembali berdiri. Mereka baru menyadari jika Kenta sudah tersungkur di atas tanah bebatuan.
Reza terdiam di tempat, dia melihat dengan jelas tubuh pria di hadapannya tengah meregang nyawa. Keadaannya menjadi sangat runyam, benar-benar diluar dari rencana.
"Sial. Sebelum kalian balik, bantu gue buang jasadnya." Ujar seorang remaja yang tiba-tiba saja muncul.
Kali ini Reza benar-benar di buat terkejut. Dia mengenali lelaki yang saat ini sedang memegang sebuah pistol di tangan kirinya sementara tangan kanannya memegangi tubuh bocah perempuan yang dia letakkan di pundaknya.
Tanpa harus bertanya Reza sudah mengetahui jika pelaku penembakkan terhadap ayahnya Dimas adalah remaja tersebut.
Lelaki itu memasukkan pistolnya ke dalam saku lalu menyerahkan blackphone pada Reza.
"Kita mitra rahasia mulai sekarang." Gumam remaja itu tersenyum pada Reza.
Setelah menerima ponsel, Reza dan Ubud mengikuti perkataannya.
"Wah~ kalian benar-benar criminal professional ya." Katanya memuji ketika melihat Reza dan Ubud menggunakan sarung tangan saat mengangkat tubuh Kenta.
"Ah! Ada yang gue lupa. Turunin jasadnya."
Lagi-lagi mereka menuruti keinginannya. Lelaki itu meraih pisaunya lalu mencongkel perut Kenta yang sudah berlubang, dia mengorek-ngorek luka tersebut sampai peluru nya berhasil terjangkau.
Setelah itu ketiga remaja tersebut meletakkan jasad Kenta di atas rel kereta api yang masih beroperasi yaitu persimpangan rel kereta api menuju Ibu Kota.
"Biar anak buah gue yang urusin mobilnya." Ujarnya. Dibelakang Ubud sudah menempelkan pistolnya ke dekat kepala lelaki tersebut. "Lu bisa kita percayakan?"
Lelaki itu tersenyum sembari menatap Reza yang ada di hadapannya.
"Gue kenal siapa dia." Kata Reza. "Kita bisa percayakan semuannya padanya." Lanjutnya mengangguk meminta Ubud menurunkan pistolnya.
Dengan begitu, berbekalkan kepercayaannya terhadap ucapan Reza. Ubud menurut. Dia juga akan sepenuhnya percaya pada lelaki misterius yang sudah membunuh polisi demi melindungi dirinya dan sang ketua.
Yang terpenting baginya juga adalah blackphone. Setidaknya benda itu sudah ditemukan dan Plvtinum tidak akan menghancurkan Remora.
Bersambung.......
37Please respect copyright.PENANAqjwK6CU21C