Sebuah fiksi yang dirancang oleh penulis itu sendiri. Alur yang dituangkan didalam cerita murni ide penulis. Jika ada kesamaan dalam nama, tempat hanyalah kebetulan. Dilarang keras untuk membawa perasaan terhadap kejadian yang tidak masuk akal. Selamat membaca. -M
Ubud menghentikan mobilnya di tempat parkiran motel. Mobil Reza sudah terparkir lebih dulu.
Hal pertama yang dilakukan olehnya adalah menghembuskan napas. Cuaca menjadi lebih cukup dingin membuat asap mengepul dari setiap hembusan napasnya.
Kakinya melangkah mendekati dispenser bahan bakar.
Ia mengisi bensin dengan perasaan yang gelisah dan was-was.
Napasnya semakin berat dan matanya selalu menelisik waspada pada sekitar.
Sementara Reza, dia duduk dengan santai di salah satu meja restoran yang terdapat di motel.
Tangan kanannya menyentuh touchpad laptop. Black phone yang sudah Reza dapatkan, ia sambungkan ke laptopnya.
Reza dengan serius mengecek semua data dan file yang ada di ponsel hitam itu.
Ia tampak tidak terganggu dengan kejadian mencekam yang beberapa jam lalu terjadi. Sikapnya sangat tenang seolah kejadian tersebut tidak pernah terjadi.
"Gimana kalo kita ketauan karena terlibat pembunuhan polisi?" Ubud berbisik dengan raut wajah yang pucat.
"Gue rasa ini bukan pertama kali lu terlibat sama pembunuhan seseorang." Kata Reza memandangi temannya itu sebentar setelahnya ia menggeser sedikit kotak rokoknya ke arah ubud.
"Tenangin diri lu." Gumam Reza lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
Setiap file ia cek bahkan melakukan double cek dan membaca satu persatu setiap isi yang ada di dalam file.
Ubud menghisap rokoknya sembari memperhatikan Reza yang sibuk dengan laptop. Ubud sudah membuat rencana, sepulangnya dari sini ia akan mengambil sedikit bubuk meth untuk meredakan rasa gelisah nya. Karena hanya dengan itu Ubud akan merasa membaik.
Dia sangat takut di tangkap oleh polisi dan membusuk di penjara.
Ubud sudah merencanakan hidupnya dengan sempurna. Ia sudah mengumpulkan separuh uangnya dari hasil upah menjual meth untuk membeli rumah dan membangun kelompok gelapnya sendiri.
Dia tidak akan lagi bergantung pada Reza dan 'perusahaan'.
Namun rasa gelisah nya saat ini benar-benar tidak bisa ia tutupi. Kakinya bergetar hebat mengganggu konsentrasi Reza.
"Sebaiknya lu pergi tidur." Ujar Reza sinis.
Bohong sekali jika Reza tidak ketakutan. Dia juga sebenarnya tidak bisa melupakan kejadian tersebut.
Apalagi ketika mengingat Kenta adalah ayah dari sahabatnya dahulu yaitu Dimas.
Reza mencemaskan Dimas. Takut jika Dimas mengetahui bahwa dirinya terlibat dalam pembunuhan sang ayah. Reza masih selalu berpikir bahwa hubungannya dengan Dimas bisa kembali membaik tetapi sepertinya hal tersebut benar-benar tidak pisa di perbaiki.
Reza sudah tidak bisa bertemu dengan Dimas sebagai sahabatnya tetapi bisa bertemu dengan Dimas sebagai musuh atau seorang rival.
Kini tubuhnya sudah berbaring di atas ranjang. Matanya menatap plafon motel.
Apakah mitra rahasianya sudah mengurus mobil polisi milik Kenta? Bagaimana jika ternyata mitra rahasianya itu menjebak Reza dan Ubud? Bagaimana jika sebenarnya mitra rahasianya tersebut sama sekali tidak memihak dirinya?
Reza tahu bahwa sebenarnya dia dan mitra rahasianya itu sudah sering bertemu hanya saja hubungan mereka tidak lah baik.
Tetapi lelaki yang menjadi mitra rahasianya itu sudah menyelamatkan nyawanya sebanyak dua kali.
Pertama adalah black phone, jika seandainya ponsel itu tidak di serahkan pada Reza mungkin saja dia sudah dieksekusi oleh The Kings. Dan yang kedua, lelaki itu melindunginya dari polisi yang bahkan bisa saja membuat keadaan semakin runyam jika Reza dibiarkan hidup dan ditahan di penjara. Mungkin saja Reza akan di siksa karena di paksa membuka mulut untuk membongkar para kelompok mafia.
Hal tersebut menjadi acuan bagi Reza untuk mempercayai mitra rahasianya.
Dan juga bukti-bukti transaksi yang ada di black phone tetap utuh. Sepertinya lelaki itu memang bisa di percaya.
Reza merogoh saku celananya, ia mengangkat tangannya memperhatikan flashdisk silver miliknya. Dia menaruh harapan pada flashdisk silver tersebut mungkin saja isi yang ada di benda itu akan berguna suatu hari nanti.
ooOoo
Dimas terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba. Seolah sudah ada alarm otomatis di tubuhnya yang selalu membangunkan Dimas pada pukul 2 dini hari.
Dimas melangkahkan kakinya ke dapur Apartemen. Ia membuka kulkas dan meraih botol air mineral, meneguknya dengan sekaligus hingga habis.
Dimas perlahan meregangkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia memekik ketika merasakan nyeri dari leher sebelah kanan. Dimas tidak bisa menengok ke arah kanan. Sepertinya remaja itu mengalami salah posisi tidur.
Paginya Dimas melakukan perjalanan menuju sekolah dengan pakaian bebas, Kansa langsung merangkul pundak Dimas dan refleks Dimas menoleh namun ia meringis kesakitan.
"Kenapa lu?" Tanya Kansa heran.
"Lu bisa gak pindah ke sebelah kiri aja, leher gue sakit banget soalnya kalo nengok ke kanan." Jelas Dimas membuat Kansa tertawa.
"Salah bantal ya lu." Katanya menuruti ucapan Dimas, Kansa pindah ke sebelah kiri. "Lu pasti mau ngambil barang yang ada di loker." Tebak Kansa.
Dimas mengangkat kedua alisnya, sebuah reaksi yang menyatakan 'ya'.
Sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam box, Kansa memperhatikan para siswi perempuan dari kelas lain.
"Gue harus ajak kencan salah satu dari mereka gak sih?"
Dimas mencabut foto yang menempel di loker, sebuah foto usang dirinya dengan seorang perempuan.
"Emang ada yang mau sama lu?" Pertanyaan yang sebenarnya adalah pernyataan itu membuat Kansa kesal.
Kansa memperhatikan wajahnya di cermin. "Gue juga ganteng kok kayak lu, kayak Reza tapi kenapa gak ada yang mau sama gue?"
"Mungkin lu harus botakin kepala dulu, setelah itu lu pasti dapet cewek." Lagi-lagi Dimas berbicara omong kosong.
Mereka kembali sibuk memasukan barang-barangnya ke box.
Hari ini ada cukup banyak siswa kelas 3 yang datang ke sekolah untuk mengambil barang-barang mereka di loker. Salah satunya adalah para gadis yang loker nya ada di sebelah Dimas. Mereka mengambil barang-barangnya sembari mengobrol seperti Dimas dan Kansa.
Hanya saja obrolan kedua gadis itu jauh lebih menarik dari pada obrolan omong kosong antara Dimas dan Kansa.
"Iya jadi Monica gak ikut ujian sekolah karena katanya pihak pengacara keluarga Monica udah mengajukan pengunduran diri Monica sebagai siswa di sekolah ini."
"Terus statusnya?"
"Ya.. dia gak lulus sekolah."
"Kasian banget dia. Akhirnya Monica beneran jadi gila."
"Hmm, terus katanya dia makin parah selama di rumah sakit jiwa."
Kansa kentara sekali sedang mendengarkan gosip para perempuan sementara Dimas seolah tak peduli walau kenyataannya dia sangat penasaran dengan kelanjutan cerita tentang Monica yang masuk rumah sakit jiwa.
Pada akhirnya Dimas menyadari bahwa betapa menderitanya Monica sampai kejiwaan gadis itu terganggu.
Dimas mempertanyakan dirinya yang dulu, mengapa dia berbuat kasar dan sangat senang mengganggu Monica. Apa pemicu dirinya selalu meluapkan semua emosi yang ada di dalam dirinya pada Monica. Dan, mengapa harus Monica.
Kedua tangannya menopang box, ia berjalan menuju lapangan baseball dan matanya tidak sengaja melihat ke arah tempat duduk yang biasa di tempati oleh Monica.
Dulu mereka pernah melakukan kerja kelompok di meja itu.
Semakin di ingat-ingat maka semakin terpikirkan oleh Dimas untuk mencari tahu mengapa dia sangat membenci Monica.
Bersambung....
30Please respect copyright.PENANAsncE3B6qus