Sebuah fiksi yang dirancang oleh penulis itu sendiri. Alur yang dituangkan didalam cerita murni ide penulis. Jika ada kesamaan dalam nama, tempat hanyalah kebetulan. Dilarang keras untuk membawa perasaan terhadap kejadian yang tidak masuk akal. Selamat membaca. –M
Langkah kaki yang amat senyap berjalan di lorong rumah sakit yang juga terlihat sepi. Sepatunya terbuat dari bahan silikon karet sehingga tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu para pasien beristirahat.
Lampu-lampu lorong berwarna putih sedikit kebiruan membuat rumah sakit terlihat bersih. Beberapa hewan kecil berterbangan di sekitar lampu.
Suster itu bertemu dengan seorang perawat yang sedang memperhatikan kaca kecil yang terdapat di sebuah pintu ruangan tempat pasien menginap.
"Ada apa?" Tanyanya.
Perawat tersebut menoleh lalu kembali memandangi pasien di dalam.
Sang suster penasaran karena rekannya tidak menjawabnya sama sekali. Sehingga ia juga ikut mengintip dan terkejut ketika melihat seorang pasien perempuan tengah menatapnya dengan tajam.
Gadis itu tidak melotot sama sekali hanya saling memandang tetapi tubuh suster tersebut merinding luar biasa.
"Apa dia begitu terus?"
Perawat lelaki mengangguk. "Dia tahu kalau aku akan mengecek keadaannya setiap jam 8 malam. jadi dia selalu sudah meringkuk di pojok tembok sembari menatapku seperti itu."
"Bukankah gadis itu baru aja masuk ke rumah sakit ini?"
Perawat lelaki mengangguk lagi.
"Di berkas bilang kalo pasien terkena Blok F4 Gangguan Berkaitan dengan Stress. Kayak nya pembunuhan yang terjadi padanya adalah pemicu kejiwaannya." Jelas perawat tersebut.
Monica memandangi kedua perawat itu dengan seksama. Dia menjadi sangat takut ketika bertemu dengan orang-orang. Bahkan ia sempat menolak kedatangan Maya tempo hari.
Sejenak Monica lupa siapa Maya namun dengan cepat ia juga tersadar jika dia mengenali Maya.
Monica mengedipkan matanya beberapa kali. Ia menghembuskan napasnya setelah melihat para perawat pergi. Gadis itu beranjak naik ke atas risbang. 80 % Monica baik-baik saja. Hanya saja ia menyadari jika dirinya sekarang cenderung lupa beberapa hal dan lebih mudah ketakutan serta terkejut dengan suara dentuman.
Paginya Monica terduduk di taman sembari membaca buku yang diberikan oleh perawat.
Buku tersebut berjudul 'Arah Mata Angin'. Monica sudah berhenti membaca buku tersebut ketika ia mulai teringat dengan Reza. Gadis itu merindukan lelaki tersebut, Monica menyadari jika kesepiannya selalu terobati oleh kehadiran Reza.
Ia menoleh kebelakang, selalu berharap jika Reza mengunjunginya. Sudah 4 hari semenjak Monica berada di Julius Psychiatric. Gadis itu juga baru menyadari jika ia tidak berada di Kota Belia. Monica di rawat di rumah sakit ibu kota Mcvern.
Beberapa kali Maya menjenguk Monica mengatakan jika Reza sedang sibuk mengurus sekolahnya terlebih dahulu maka dari itu Reza belum bisa mengunjungi Monica. Dan Monica tidak pernah mengatakan apapun ketika Maya menjelaskan mengenai Reza.
Karena mentalnya sedikit terganggu, Monica bahkan tidak terlalu memikirkan Reza sebelum akhirnya ia merindukan anak tersebut.
Perlahan keadaan mentalnya sedikit membaik ketika ia sudah diberi obat oleh perawat. Bahkan dokter yang menanganinya mengatakan jika Monica hanya mangalami gangguan stress yang ringan. Beberapa hari lagi Monica bisa kembali menjalani kehidupan yang normal.
Tetapi lewat telfon Maya meminta kepada pihak Julius, untuk tidak langsung mengeluarkan Monica dari rumah sakit. Maya menginginkan Monica seratus persen benar-benar kembali pulih secara total. Dia tidak ingin jika suatu saat Monica kembali kambuh dan menjadi lebih parah karena tidak ditangani lebih dini. Sehingga, Maya meminta agar Monica ditangani terlebih dahulu. Dia tidak mau jika pihak rumah sakit terburu-buru mengeluarkan gadis tersebut.
Maya mengetahui betul apa yang sudah terjadi pada Monica selama ini sehingga dia juga tahu dampak apa yang akan terjadi kepada Monica jika dia tidak ditangani dari awal. Pascatrauma yang dialami Monica cukup parah dan ia hanya sebatang kara di dunia ini.
Tawa, Amarah dan Tangisan menjadi pemandangan sehari-hari yang dinikmati oleh Monica selama berada di rumah sakit jiwa. Banyak sekali pasien yang suasana hatinya selalu berubah setiap menit, bahkan beberapa dari mereka saling bertikai dan berkelahi.
Saat seorang perawat melintasinya, Monica menarik sedikit ujung pakai perawat tersebut.
"Ada yang bisa aku bantu?" Tanyanya menghentikan langkah kaki.
Monica melepas pegangannya. "Apa tidak ada kunjungan untukku hari ini?" Tanyanya dengan ragu.
Perawat itu terdiam sejenak lalu tersenyum. "Aku akan mengeceknya untukmu." Ujarnya membuat mata sayu Monica sedikit melebar. Senang, karena perawat itu akan mengecek data kunjungan hari ini untuknya.
Sayang sekali sampai jam 3 sore waktu dimana para pasien harus kembali ke bangsal, Monica tidak mendapat kabar apapun lagi. Hingga akhirnya Monica kembali murung seperti biasa dan bertingkah seperti hari-hari sebelumnya. Ketika jam 8 malam ia kembali menatap perawat yang selalu mengintip ruangannya.
Monica ingin keluar dari rumah sakit ini, bertemu dengan Reza dan menagih janjinya jika dia akan menemani Monica menemui sang ayah yang berada di penjara.
ooOoo
Yuki memperhatikan kakaknya yang sedang berlatih fisik. Remaja lelaki itu memukul-mukul samsak dengan penuh tenaga dan semangat. Rambutnya basah terguyur keringatnya sendiri.
"Lu beneran mau jadi polisi kayak papah?" Tanya Yuki santai tapi bagi Dimas itu kurang ajar.
Bocah itu berusia 10 tahun dan sopan santunnya terhadap sang kakak tidak di pakai sama sekali. Yuki selalu berbicara dengan informal seolah mereka seumuran. Sedikitnya Dimas tidak suka dengan nada bicara Yuki tapi ia tidak bisa berbuat apapun karena papa nya sendiri tidak pernah menegur bocah tersebut.
Dimas tidak menjawab, ia masih terus meninju samsak dengan gemuruh petir yang ada di dalam kepalanya. Seperti tornado, otaknya tidak pernah berhenti berputar memikirkan banyak hal yang bahkan tidak seharusnya di khawatirkan.
Akhir-akhir ini tidurnya jauh lebih terganggu, biasanya Dimas akan terbangun sekali saja tetapi tidak dua hari kebelakang. Ia cenderung terbangun sebanyak 3 kali tanpa bermimpi dan hal tersebut mengganggu mood Dimas seharian.
Ia berpikir jika tidurnya terganggu karena dirinya tidak berolahraga dengan benar.
"Ahhh~ bosan bangeeet!" Yuki menggerutu.
Dimas membuka sarung tangan tinju bagian kanan dengan giginya setelah itu membuka bagian kiri. Dimas menstabilkan napasnya yang tidak beraturan. Menyandarkan punggungnya ke tembok sembari meluruskan kaki. Matanya memperhatikan Yuki yang sedang tidak enak diam di atas sopa bersantai.
Bocah itu berputar-putar mencari posisi yang nyaman di tempat yg terbatas itu.
"Kenapa gak main sama anak komplek?" Dimas mencoba mengalihkan perhatiannya terhadap sang adik.
"Males. Mereka semua kayak anak kecil."
Dan Dimas memberikan reaksi yang malas juga ketika Yuki tidak menyadari jika dirinya memang lah masih kecil.
Dimas meletakkan botol minumnya lalu beranjak dari ruang latihan menuju kamar mandi. Langkahnya terhenti ketika melihat sang ibu tengah mengangkat telpon. Tampaknya obrolan beliau sangat serius yang membuat Dimas penasaran.
Setelah selesai buang air kecil, Dimas menghampiri sang ibu.
Beliau mengatakan jika Handy Talky milik ayahnya hilang kontak selama 4 hari. Terhitung sejak kontak terakhir pada Jumat malam yang mengatakan jika Kenta akan berpratoli ke dekat rel kereta api. Setelah itu rekannya yang berjaga di pos tidak mendengar laporan lagi dari Kenta.
Pihak polisi mengatakan jika saat ini mereka sedang mencari keberadaan Kenta dan akan terus mengabari pihak keluarga.
Kabar tersebut membuat Dimas terdiam, ia merasakan hal buruk mengenai ayahnya yang hilang. Dimas memeluk tubuh sang ibu, mencoba menenangkan ibunya dengan ucapan-ucapan yang positif walau sebenarnya Dimas sendiri tidak bisa mengontrol pikirannya.
Dimas tahu betul bagaimana sang ayah, dia juga tahu jika ayahnya tidak memiliki hutang pada siapapun. Bahkan jika berseteru dengan seseorang hal tersebut sudah pasti sangat mudah ditangani oleh ayahnya. Lantas hal apa yang bisa memicu ayahnya hilang?
"Denand." Hatinya mengucapkan nama tersebut. Kali ini ia memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.
Denand sudah berada di penjara dan bahkan ia akan di hukum mati, lagi pula masalah penyuapan yang menyeret nama Kenta sudah selesai dan terbukti tidak benar. Bisa saja kehilangan ayahnya tidak berkaitan sama sekali dengan Denand.
Kegelisahan dan juga kecemasan yang dialami oleh Monica tidak hanya di rasakan oleh Dimas. Rezan juga mengalami kegelisahan dan kecemasannya sendiri. Mereka mengalami suasana hati yang sama namun dengan latar cerita yang berbeda.
Rezan berencana menemui Monica besok, ia sudah sangat merindukan gadis tersebut. Reza juga sudah memesan seikat bunga untuk di berikan kepada Monica.
Seharusnya Reza pergi ke ibu kota hari ini tetapi Bastian menghubunginya, mengatakan jika beberapa anggota Remora yang kemarin meninggalkan bengkel tiba-tiba saja kembali.
Reza menumpangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya sendiri. Ia senang ketika melihat beberapa anggota memilih untuk kembali namun, sangat di sayangkan salah satu teman baiknya tidak kembali yaitu Ubud.
"Ada yang mau pizza?" Tanya Reza memecah ketegangan. Sontak anak-anak tersebut mengangguk dengan penuh semangat.
Reza sudah memprediksi jika sebagian anak-anak tidak akan bisa survive. Mereka pasti akan kembali padanya karena butuh makan. Secara, dirinya selalu memberi makanan dengan cuma-cuma untuk para anggota Remora yang terlahir gelandangan.
Menghasilkan uang atau tidak, mereka tetap diperbolehkan makan oleh Reza.
Setelah memesan tujuh box pizza, Reza pergi keluar dari bengkel untuk merokok. Ia bersandar ringan di tubuh motornya, berpikir hal apa yang akan ia lakukan kelak untuk memberi anak-anak asuhnya makan. Saat ini Reza masih bisa mendapatkan uang dari papi nya. Tapi, setelah lulus Reza tidak ingin terus-terusan menerima uang dari sang papi. Walau orang tuanya tersebut sama sekali tidak keberatan.
Bahkan papi nya akan dengan senang hati menghamburkan uang untuk anak semata wayangnya tersebut.
Terlepas dari masalah keuangan, ada yang lebih mengganggu pikirannya.
Saat ini Reza masih mengkhawatirkan pihak Plvtinum, ia belum bisa memastikan jika Remora sudah dalam keadaan aman saat ini. Dirinya masih memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dilakukan oleh Simon terhadap anggotanya.
Reza menghisap rokoknya dengan kuat sampai asap yang dikeluarkan tebal dan cukup panjang mengepul di udara.
Anak itu berpikir apa mungkin sebaiknya ia menyerahkan diri kepada polisi, berterus terang mengenai keterlibatannya atas pembunuhan anggota polisi setelah itu memberitahu isi file yang ada di dalam flashdisk. Namun, Reza masih belum siap mengecewakan dan juga mematahkan hati kedua orang tua angkatnya. Bagaimana pun juga Adiatma dan Maya bukanlah sembarang orang, mereka adalah orang-orang yang cukup terpandang di kalangan pembisnis.
Ia mematikan rokoknya yang sudah menciut. Reza akan lanjut memikirkan masalahnya nanti, saat ini ia harus bersikap santai di depan anggotanya yang takut akan pergerakan Plvtinum untuk membantai Remora.
To be continue.....
27Please respect copyright.PENANALRDqHpUpVp