Jika kalian berjalan lurus terus menuju utara provinsi Yi Lu, maka kau akan menemukan sebuah kota kecil yang sangat ramai. Layaknya bintang yang bersinar terang di malam hari, Spica bersinar terang di saat kota-kota lain mulai berisirahat.
Aktivitas Spica dimulai dari pukul 8 malam hingga 5 subuh. Lampu-lampu mulai dinyalakan kelap-kelip guna menarik perhatian pengunjung. Asap bercampur aroma makanan tercium harum hingga ke sudut kota. Di sini, tersedia segala macam jenis makanan dan tempat hiburan yang tersebar hingga ke gang sempit sekali pun. Berbagai Kaum dari segala latar belakang tampak memenuhi jalanan sempit yang mustahil dilalui mobil. Mereka semua tampak berseri bahagia seakan seluruh permasalahan di siang hari bisa mereka lupakan walau hanya sejenak.
“Supaya cepat, kita berpencar saja dan kembali ke titik ini 2 jam lagi.” Alvi segera membagi tugas. Andra dan Gina mengangguk setuju.
Sejak Alvi pingsan akibat tusukan sosok berkostum kelinci, Rihan Daniel ikut menghilang bersaman dengan Samsara serta Kaum Arina. Musuh-musuhnya itu bahkan tidak menangkapnya. Padahal selama beberap bulan terakhir Samsara begitu gencar mengejar.
“Ryan, kau tidak mungkin ditangkap Samsara. Kau pasti baik-baik saja,” doa Alvi dalam hati.
Jalan yang penuh sesak membuat Alvi harus lebih teliti melihat setiap orang yang ditemui. Ia tahu kota ini kecil. Tapi ia tidak menyangka akan semerawut dan tidak beraturan antara satu kios dengan kios lain, satu tenda dengan tenda lain. Alvi bahkan sudah tidak bisa membedakan mana dinding bangunan toko dengan dinding kain dari kios tenda.
Ia belok secara sembarang dan mencari secermat mungkin. Tiba-tiba saja perhatiannya tertuju pada bangku panjang di salah satu sudut tenda. Di sana duduk dua orang yang saling berhadapan. Diantara mereka terbentang papan catur dengan hanya tersisa masing-masing 5 bidak putih dan hitam.
Satu orang terlihat serius berpikir, sementara lawannya tampak tenang dan tertawa sesekali menanggapi obrolan orang-orang yang menonton. Alvi mengenali lelaki yang sedang tertawa ceria itu.
Dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk, Alvi mendekat dalam senyap. Ia melirik pada papan catur. Meski tidak terlalu tertarik pada permainan itu, tapi setidaknya Alvi paham cara bermain. “Dia menang….” pikir Alvi dalam hati ikut gembira.
Rihan Daniel memberi senyum kemenangan seusai memakan bidak kuda lawan dan memenangkan permainan. Lawannya tidak terlihat terlalu kecewa. Pria tua yang menjadi lawan Rihan bangkit dari tempat duduknya dan orang lain yang lebih muda langsung duduk. Anak muda itu menantang Rihan.
Rihan menerima tantangan itu dengan menyusun kembali bidak-bidak catur hitam dan putih.
“Ryan….” Rihan berbalik menanggapi panggilan itu. Ia sontak terbelalak tak percaya begitu melihat Alvi telah berdiri persis di belakangnya. Senyum di wajahnya mengendur sepersekian detik sebelum mengembang kembali.
“Maaf, hari ini aku main sampai di sini saja.” Rihan berkata pada anak muda itu sambil bangkit berdiri. Kepergiannya yang begitu mendadak tidak membubarkan penonton karena orang lain dengan cepat mengisi tempat kosong itu.
“Di sini terlalu ramai, kita ke sana saja.” Rihan mengajak Alvi ke sudut Spica yang lebih tenang dengan tata letak toko dan kios yang lebih rapi.
“Kau lapar?” Pertanyaan rasanya pernah diajukan Rihan.
Alvi menggeleng cepat. “Tidak,” jawabnya secepat. Namun detik berikutnya Alvi menyesali keputusannya. Sebenarnya ia cukup lapar karena sejak kemarin malam ia belum makan apa-apa.
“Tapi aku lapar. Yuk, temani aku makan.” Rihan berbicara dengan gaya santai sambil membawa jalan menuju kios makan terdekat. Sepertinya sejak awal ia memang sudah mau ke kios itu.
“Dua mie kuah seafood. Jangan pakai udang, ganti sama ikan yang banyak saja. Terus dua es jeruk.” Rihan langsung memesan dua porsi sekaligus. “Oh ya, sama ayam… satu ekor penuh jangan dipotong,” tambahnya ketika pelayan laki-laki hendak pergi.
Alvi cukup tertegun akan porsi makan Rihan. Apa dia benar-benar sanggup menghabiskan itu semua?
“Apa yang mau kau bicarakan?” Rihan membuka percakapan. Tampaknya suasana hati Rihan sedang gembira sehingga ia tidak sedingin sebelum-sebelumnya.
Alvi meregangkan otot tegangnya. Pikirannya juga lebih rileks. “Serangan Kaum Arina waktu itu… apa yang terjadi setelah aku pingsan?”
“Ma—maksudku bagaimana kau bisa lepas dari mereka dan juga sosok berkostum kelinci itu?” Alvi meralat pertanyaannya agar lebih mudah dicerna.
“Seorang laki-laki tua yang menolong kita. Aku tidak tahu siapa dia. Dia juga tidak memperkenalkan diri. Begitu datang langsung bertarung dengan si kostum kelinci. Laki-laki tua itu bukan prajurit senior Nebula Tower?” Rihan terheran.
Alvi menggeleng tanda tidak tahu. Julius juga tidak mengatakan apa-apa.
“Laki-laki itu juga menyuruhku untuk pergi bersembunyi. Dia bilang jangan di Alice Nebula atau Yi Lu. Tapi aku tidak tahu harus ke mana,” cerita Rihan.
“Tapi apa kau baik-baik saja? Tidak terluka, kan?” tanya Alvi cemas.
Rihan mengangguk satu kali. “Aku baik-baik saja. Tapi bukankah kau dan dua bersaudara Waldermar terluka parah? Bagaimana luka mereka? Sudah sembuh? Lalu bagaimana dengan lukamu sendiri?”
Alvi sedikit tidak terbiasa dengan perubahan kepribadian Rihan yang begitu signifikan. Pribadi yang semula tidak ramah, ketus dan cenderung dingin mendadak berubah menjadi sangat cerewet. Dicecer oleh begitu banyak pertanyaan, Alvi hanya mampu menjawab singkat. “Luka kami sudah sembuh.”
Rihan diam tak merespon. Sepasang matanya menatap Alvi menunggu kelanjutan.
“Masih dalam pemulihan. Asal tidak bertarung atau melakukan gerakan kasar, lukanya akan pulih sekitar seminggu lagi.” Alvi menambahkan.
Rihan bersandar dan mengusap rahang kirinya. “Baguslah….” gumamnya.
Pada saat ini, makanan yang dipesan datang. Uap panas mengepul dari mangkuk berukuran besar dan terlihat begitu menggugah selera.
“Makanlah. Aku pesan dua. Satu untukmu.” Rihan menyodorkan satu mangkuk ke depan Alvi. “Jangan pikir aku makan dua porsi. Tidak baik untuk populasi lemak di tubuh.” Rihan berkata sambil tersenyum nakal.
“Sebenarnya banyak makanan enak di sini. Tapi kios ini yang terbaik.” Rihan melahap satu suap mie sebelum berbicara.
“Mungkin setelah ini kita bisa keliling mencari cemilan. Aku bisa merekomendasi beberapa tempat yang lumayan enak,” lanjutnya sebelum kembali melahap satu suap.
“Bukankah tidak baik untuk populasi lemak?” Alvi setengah tidak mengerti. Ucapan Rihan benar-benar saling bertolak belakang.
“Hari ini berbeda. Khusus untukmu.” Rihan tanpa sungkan melanggar aturan yang baru saja ia buat.
*****
Malam kali ini terasa begitu menyenangkan bagi Alvi. Bukan karena ia berhasil menemukan Rihan Daniel, tapi karena ia melihat banyak hal yang selama 20 tahun hidupnya ini belum pernah ia temukan. Alvi tak bisa berhenti tersenyum ketika Rihan dengan penuh semangat menariknya menuju gerobak kecil yang menjual gula-gula kapas.
“Untukmu….” Selalu ada satu yang sengaja Rihan beli untuknya.
Alvi tidak bisa menolak. Matanya mencermati struktur gula-gula kapas putih di tangannya. Ternyata hidup tidak melulu mengenai bagaimana bertahan hidup, melindungi diri dan selalu bersikap waspada. Alvi mulai mengerti seperti apa hidup tenang dan bahagia. Ia merasa hatinya jauh lebih santai dan mulai menikmati setiap momen yang tercipta secara spontan ini.
Rihan melangkah ringan menuju jembatan kecil yang memisahkan sungai yang menjadi sumber air utama kota Spica. Ada sekitar 7 jembatan serupa dan jembatan yang mereka tuju itu jauh lebih sepi karena sudah berada di bagian paling barat laut dari Spica.
Rihan mengeluarkan ayam yang dibeli dari kios mie seafood. Ia bersiul nyaring satu kali lalu melempar ayam tersebut ke ujung jembatan. Sontak saja seekor makhluk bertubuh besar melompat keluar dan melahap makanan itu.
Lily sang macan tutul salju menyantap rakus ayam tersebut tanpa mempedulikan sekelilingnya.
“Aku pernah bilang akan memainkan satu lagu khusus untukmu. Entah kapan kita akan bertemu lagi. Jadi lebih baik aku tepati janji itu sekarang.” Rihan tidak memperhatikan ekspresi terkejut bercampur gembira di wajah Alvi.
Ia mengeluarkan seruling dizi berwarna hitam dengan garis-garis kuning lalu duduk di pinggir jembatan. Dengan punggung menghadap ke Alvi, Rihan mulai meniup nada pertama.
Tempo lamban nan merdu mulai mengaluni suasana jembatan di malam hari. Nada berpindah secara runtun dalam satu harmoni. Alvi belum pernah mendengar melodi seindah dan sesejuk ini. Banyak hal yang ingin ia sampaikan, banyak pertanyaan yang hendak ia tanyakan. Tapi semua itu mendadak lenyap terbawa oleh lantunan melodi.
Alvi tak bisa melepaskan pandangannya dari Rihan. Lelaki itu sungguh ajaib. Dia adalah orang pertama yang menunjukkan berbagai macam hal menarik. Dia jugalah yang menyadarkan Alvi akan arti hidup sesungguhnya.
“Samsara merengut segalanya dariku. Keluargaku, rumahku dan juga Kaum-ku,” ucap Alvi setelah Rihan selesai memainkan seruling.
“Selain paman, bibi, Gina, Andra dan Julius, aku tidak punya orang dekat lain. Dunia luar benar-benar terasa asing bagiku. Aku takut keluar, takut berinteraksi, takut jikalau mereka adalah Samsara.” Alvi mulai bercerita.
“Tapi di sini, aku seperti seorang yang ‘normal’. Aku merasa sangat bebas dan rileks. Tidak ada ketakutan atau kecemasan akan Kaum Arina maupun Samsara.” Alvi sungguh menghargai satu malam ini.
Untuk pertama kalinya Rihan melihat senyum lepas di bibir seorang Alvi Veenessa Endley. Lumayan manis, pikirnya saat itu.
Alvi menarik napas panjang seraya menatap jauh ke ujung sungai. “Aku pernah mengatakannya satu kali sewaktu di Alice Nebula. Tapi kali aku ingin lebih jujur padamu dan juga pada diriku sendiri.”
“Ryan, aku ingin berteman denganmu...,” lanjutnya tanpa berani melihat wajah Rihan.
Mata Rihan melebar. Ia tampak sangat terkejut sampai-sampai tak mampu merespon. Hanya jempol tangannya saja yang bergerak naik-turun di permukaan seruling.
“Kalau kita masih ada kesempatan bertemu, pada saat itu aku akan memberimu jawaban,” ujar Rihan terdengar murung.
Alvi mengangguk paham. “Kau pasti dalam bahaya jika terus menerus dekat denganku. Samsara menginginkanku dan mereka tanpa ragu membunuh siapa saja. Gina dan Andra bisa melindungi diri sendiri. Tapi kau berbeda. Aku tidak ingin kau terluka.”
“Setelah pertemuan hari ini, larilah sejauh mungkin dari tempat ini, dari Yi Lu maupun Alice Nebula. Mereka pasti sudah mulai mengendus jejakmu.” Ada nada pasrah dibalik ucapan Alvi.
Ia kembali menarik satu napas panjang. “Jujur saja aku mulai benci diriku, benci kenapa kondisiku tidak seperti layaknya wanita normal. Tapi aku menghormati keputusanmu. Aku ingin melindungi kebebasanmu,” ujarnya cukup menyentak Rihan.
Lagi, Rihan tidak tahu harus membalas apa. Rasa pahit semakin memenuhi ruang di hatinya.
“Ngomong-ngomong apa kau yang merawat Lily selama ini?” Alvi mengalihkan topik sekaligus mengganti suasana yang tiba-tiba menjadi murung. Kali ini ia punya cukup keberanian untuk kembali menatap lelaki itu.
“Ya, seseorang memintaku merawatnya,” jawab Rihan dengan suara serak. “Awalnya cukup ngeri tapi ternyata dia makhluk yang manis,” pujinya.
ns 15.158.61.16da2