Kabut tebal terbawa hembusan angin melaju ke arah barat. Pohon-pohon menjulang tinggi bergerak dengan lambat ke kanan dan ke kiri. Beberapa daun yang sudah kering tua berjatuhan seperti ditindas oleh daun-daun muda yang segar.
Rutinitas kehidupan di dalam orphanage berjalan seperti biasa. Anak-anak malang itu melakukan aktivitasnya masing-masing.
Anak-anak yang lebih muda sudah berhamburan di luar, berlari dan bersenda gurau dengan anak malang lainnya.
Tawa dan senyum polos terukir di wajah bocah-bocah berusia 3 sampai 7 tahun. Mereka tidak perduli jika mereka adalah yatim piatu.
Sementara anak-anak yang sudah menginjak usia remaja mulai meratapi nasib nya. Mereka mulai merenung, membenci dan mengumpat kepada orang tuanya yang entah berada dimana.
Lalu orang-orang sudah menginjak dewasa mulai menerima keadaan. Melanjutkan kehidupan mereka dengan sebagai mestinya. menjadikan kemalangannya sebagai pembelajaran hidup di masa depan.
Vita Mia adalah Panti Asuhan terbesar di kota Belia. Panti Asuhan yang di minati oleh orang-orang kaya yang memiliki takdir tidak di anugerahi seorang anak. Kemalangan tidak hanya terjadi pada orang-orang miskin tetapi pada orang-orang kaya berhati lembut.
Cobaan orang miskin selalu mengenai ekonomi namun Tuhan selalu meng-anugerahi anak yang banyak, itu karena Tuhan tahu bahwa dia mampu mencarinya. Mampu mencari dengan sekuat tenaga walaupun rezekinya tidak pernah tersisa di hari yang sama.
Sementara orang-orang mampu, mereka bisa mendapatkan suatu barang yang mereka inginkan dengan mudah. Namun rasa syukurnya tidak pernah cukup. Apalagi mereka adalah orang-orang kaya yang berhati busuk.
Namun Tuhan juga menciptakan orang-orang yang kaya raya dan rendah hati.
10 Tahun yang lalu ada sepasang suami istri kaya raya berkunjung ke Vita Mia. Mereka bertamu pada jam 3 sore. Dimana anak-anak tidak punya orang tua itu sedang sibuk bermain sepulang mengikuti kegiatan berkebun.
Vita Mia seperti surga anak-anak. Ada banyak sekali anak-anak lucu di rumah kasih tersebut. Mereka memiliki wajah Aristokrat yang kental. Bagaimana bisa? Banyak sekali desas-desus mengenai Panti Asuhan Vita Mia. Orang-orang sekitar menyebarkan gossip bahwa anak-anak yang berada di Vita Mia adalah anak-anak haram dari keluarga ningrat. Itu sebabnya mereka memiliki wajah yang molek.
Gosip tersebut sudah sampai di kuping pimpinan Panti Asuhan.
Beliau tidak harus memberi klarifikasi apapun. Tidak ada gunanya. Biar kan saja orang-orang di luar menggosipkan apapun, mungkin itu adalah kesenangan bagi mereka.
Suster Velita menyambut ke datangan tamunya. Sebenarnya akhir-akhir ini Panti Asuhan sedang jarang menerima tamu. Sehingga saat sepasang suami istri tiba, seluruh suster merasa senang dan juga sedih karena akan ada anak yang dibawa pergi.
Suster Velita menganggukkan kepalanya memberi hormat pada tamunya tersebut. Begitupun sebaliknya. Sepasang suami istri itu tampak sopan.
Suaminya berbincang ringan dengan suster Velita sementara istrinya dibiarkan melihat anak-anak yang sedang bermain di dekat air mancur.
Mata cokelatnya menatap 4 bocah lelaki yang saling menyipratkan air. Satu bocah sangat cerewet dan selalu berteriak ketika diusili temannya. Satu bocah lagi tampak baik memihak anak yang menangis, bocah pahlawan itu berkata dengan nyaring.
"Aku akan melindungi orang baik seperti ayahnya kak Dimas."
Lantas dua bocah pengganggu itu tertawa. Mereka tidak merasa teritimidasi, dua anak lelaki itu semakin menjadi mengambil air dari air mancur lalu menyiramkannya.
Si bocah pahlawan menarik tangan temannya untuk belari kabur. Mereka berlari mengikuti jalanan setapak sampai akhirnya berhenti mendadak karena menabrak bocah yang tubuhnya lebih tinggi dari mereka.
"Kak Reza..."
Pemandangannya harus terhenti karena suaminya memanggilnya. Suster Velita akan memberikan informasi kandidat dan profile dari masing-masing anak.
Sehingga dirinya tidak tahu bagaimana kelanjutan dari anak-anak tersebut.
Setelah selesai berdiskusi dengan pimpinan Panti Asuhan, sepasang suami istri tersebut akan kembali lagi esok.
Di perjalanan menuju parkiran matanya tertuju pada seorang anak lelaki yang di lihatnya tadi. Anak lelaki yang di panggil oleh bocah pahlawan.
Siapa Namanya? Ia lupa.
Langkah kakinya terhenti karena anak itu menatap juga ke arahnya. Mata merah indah itu membuat jantungnya berdetak. Tubuhnya merinding karena hatinya terasa nyeri merasakan ikatan yang kuat.
'Reza' Di dalam hatinya secara mendadak dia menggumamkan nama anak tersebut. Entah bagaimana bisa dia tiba-tiba saja mengingat namanya.
Suaminya yang menyadari ada ke anehan dari sang istri langsung menatap ke arah yang sama. Anak tersebut membungkukkan badannya memberi salam lalu pergi meninggalkan tangga yang selalu menjadi tempat duduknya selama mencorat-coret buku.
Perasaan aneh tersebut terbawa sampai keesokan hari nya seolah menghipnotisnya untuk mengadopsi anak tersebut. Tidak ada kriteria khusus antara dia dan suaminya untuk mengadopsi anak. Dia bermain dengan perasaannya. Dan memantapkan diri untuk menjadikan Reza sebagai anak semata wayangnya.
ooOoo
Saat itu usianya 8 tahun, Reza sering sekali membantu para suster mengangkat perabotan setelahnya anak itu baru akan bergabung dengan teman-temannya pada jam 4 sore karena sahabatnya dari luar akan tiba pada waktu tersebut.
Reza melambaikan tangannya pada Dimas.
Dimas yang baru turun dari mobil patroli polisi langsung berlari senang. Sudah dua hari bocah itu tidak berkunjung ke Panti Asuhan. Itu karena mama dan papa nya Dimas membawa dia berlibur.
Reza langsung melemparkan bola pada Dimas.
Tangan putih bersihnya meraih bola tersebut lalu berjalan disamping Reza. Kedua bocah itu berjalan menuju lapangan yang ada di sebelah gedung berdoa.
Reza senantiasa mendengarkan Dimas yang menceritakan keseruannya selama liburan bersama keluarganya kemarin.
Reza bisa melihat betapa menyenangkannya liburan tersebut bagi Dimas. Sebelum mereka bermain sepak bola. Dimas merogoh saku celananya. Ia memberikan sebuah gantungan kunci berbentuk sepeda motor.
"Papa bilang ini buat kamu karena kasian kamu gak pernah bisa pergi liburan..." Dimas langsung meletakkan gantungan kunci tersebut di telapak tangan Reza.
Bahkan saat itu Reza tidak mengulurkan tangannya tetapi Dimas sendiri yang menarik tangan Reza untuk menerima hadiahnya.
Pipinya mengembang karena tersenyum senang. Dimas sangat senang karena bisa memberikan hadiah untuk Reza.
Sementara Reza terdiam, termenung. Memikirkan apa maksudnya dengan 'kasian'.
Padahal Reza tidak iri sama sekali pada Dimas.
Reza mengangkat kedua bahunya, memasukkan gantungan kunci berwarna cokelat tersebut ke dalam saku kemejanya. Dia harus menerima oleh-oleh yang diberikan oleh sahabatnya walau sebenarnya dia tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan oleh Dimas.
Tanpa beban dan tanpa harus memikirkan apapun. Mereka bermain sampai lupa waktu bahkan para suster mulai menarik pelan anak-anak asuhnya untuk segera pergi membersihkan diri. Sebentar lagi mereka harus melaksanakan doa berjama'ah.
Warna orange yang diberikan oleh matahari untuk langit terlihat sangat indah di mata Reza.
Dia berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Sepatunya jebol karena terlalu berusaha menang dalam sepak bola.
Reza cenderung tidak terlalu banyak berbicara. Bahkan ketika perjalanan menuju asrama, Reza hanya terkekeh melihat Saka dan Dimas yang terus-terusan bercanda.
Dia menundukkan kepalanya melihat sepatu yang digenggamnya.
'Setelah selesai berdoa aku akan pergi ke lumbung untuk meminta lem pada paman Dom.'
Anak itu bergumam sendiri di dalam hati. Dengan menggunakan lem maka sepatunya akan kembali bisa digunakan.
Anak-anak tersebut sangat lusuh dan kotor. Bau keringatnya bercampur dengan bau matahari yang menyengat. Bahkan Dimas terlihat sama seperti anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Pakaiannya yang semula bersih dan rapih kini menjadi kecokelatan karena tanah, salah satu kancing pakaiannya menghilang entah kemana.
Sebelum masuk ke dalam gedung asrama, mereka membersihkan diri terlebih dahulu dengan air kran yang berjajar di taman.
Reza menggosok kakinya yang kotor. Berbeda dengan Dimas anak itu melepaskan semua pakaianya lalu membasuh seluruh tubuhnya.
Terlihat sekali jika Dimas adalah anak 8 tahun yang polos dan tidak tahu malu sementara Reza adalah anak 8 tahun yang bersikap lebih dewasa dari teman-temannya.
Anak itu menjaga image nya sampai anak-anak lain sedikit takut dengan sikap dingin dan tegasnya Reza.
Dimas bersama Saka, saling menyipratkan air bahkan sesekali Saka membantu Dimas membersihkan diri karena tanah yang menempel terlalu tebal di tubuhnya yang putih.
Ketika selesai menyikat kakinya, Reza menoleh pada seorang anak lelaki seusianya. Anak itu berlari dengan sangat tergesa-gesa.
"Reza~...." Tercekat, anak itu menarik napasnya terlebih dahulu.
"Kamu di adopsi." Lanjutnya setelah itu menyalakan kran air dan menelan air tersebut.
Saka langsung memeluk Reza. Dia senang karena temannya akan menjadi seorang anggota keluarga. Saka sangat senang karena akhirnya yang diinginkan oleh Reza terkabulkan.
Bocah yang tadi memberi kabar juga ikut memeluk Reza. Mereka ikut senang. Tidak ada rasa iri satu sama lain. Jika ada kebahagiaan maka mereka akan berbahagia bersama dan begitupun sebaliknya.
ooOoo
Maya bertemu lagi dengan bocah berambut gondrong tersebut. Rambutnya harus di rapihkan karena dia akan mengirim anak tersebut untuk bersekolah.
Matanya jatuh pada sepatu rusak yang digenggam oleh Reza.
'Bersabarlah, ibu akan membelikan mu sepatu yang baru.'
Suaminya berjongkok menyetarakan tingginya dengan tinggi Reza.
"Saya akan menjadi papi mu mulai hari ini...." Ujarnya lembut ditambah dengan senyuman yang hangat membuat mata anak itu berkaca-kaca.
Begitupun dengan Sean dan Saka, mereka menangis senang dan juga sedih sama seperti para pengasuh di Panti.
Reza adalah anak yang baik, anak yang senang membantu dan anak yang tidak pernah mengeluhkan apapun. Maka dari itu banyak anak kecil yang bergantung padanya. Bergantung pada bocah berusia 8 tahun.
Tidak ada yang pernah melihat Reza menangis. Ini pertama kalinya bagi mereka melihat kakak asuhnya menangis. Reza memeluk Adiatma. Tubuh kecilnya melebur di dalam dekapan pria dewasa tersebut.
Suasana haru menyelimuti Vita Mia. Kabar Reza yang di adopsi menyebar luas ke seluruh anak panti, mereka semua senang luar biasa.
Pada hari yang sama Reza meninggalkan Vita Mia. Ia berpamitan pada suster dan juga teman-teman dekatnya. Tidak lupa berpamitan pada paman Dom, ia juga berjanji tidak akan pernah melupakan beliau. Jika ada waktu ia akan meminta izin pada ibu dan ayah angkatnya untuk berkunjung ke orphanage.
Sebuah mobil polisi terparkir di depan gerbang menjulang tinggi. Tidak lama Dimas datang menghampirinya dengan pakaiannya yang kotor namun wajah dan seluruh tubuhnya sudah bersih.
Kenta tidak masalah dengan itu lagi pula Dimas adalah anak-anak.
Hanya saja Kenta tidak mengerti dengan raut wajah Dimas yang cemberut. Anak itu terus menundukkan kepalanya selama perjalanan menuju rumah.
"Ada apa? Apa kamu dimarahi lagi sama paman Dom?" Tanya Kenta mencolek dagu bocah tersebut.
Dimas menggelengkan kepalanya.
"Terus ada apa?"
Dimas mengangkat kepalanya lalu menatap Kenta dengan mata yang berkaca-kaca. Tangisnya pecah sebelum mengatakan kata-kata.
Sembari terisak Dimas mengatakan. "Reza punya ayah sama ibu sekarang." Ucapnya lirih seolah tidak suka dengan hal tersebut.
Dimas berpikir bahwa Reza tidak akan bertemu dan berteman dengannya lagi. Apalagi setelah melihat gantungan kunci yang diberi olehnya tergelatak di atas jalanan setapak seolah dilempar, dibuang begitu saja. Isaknya semakin kencang, Dimas mengadu, mengatakan jika hadiahnya dibuang.
Lantas Kenta sedikit marah, dia mangatakan pada Dimas bahwa sudah lebih baik jika tidak berteman dengan anak tidak tahu terima kasih seperti Reza.
"Seharusnya anak itu bersyukur karena kamu masih ingat dengannya saat sedang liburan."
Dimas tidak mengatakan apapun. Bocah itu semakin tenggelam dalam kesedihan tidak percaya jika Reza membuang gantungan kunci darinya.
Kesedihan Dimas tersalurkan pada keadaan Reza saat ini.
Ia duduk dengan canggung di dalam sebuah mobil mewah. Anak itu duduk dengan tegak. Tegang.
"Besok pagi kita pergi beli sepatu baru, ya?"
Reza mengangguk kaku. Maya tersenyum melihat anak tersebut masih sangat malu-malu padanya. Perlahan tangannya mengusap rambut Reza.
"Kamu harus menganggap saya dan beliau sebagai orang tua. Tidak ada orang tua angkat. Kita adalah murni keluarga asli." Jelasnya dengan nada suara yang lembut.
Membuat Reza merasa sangat di sayang karena nada bicaranya yang enak di dengar.
Reza berharap semua yang terjadi hari ini sama sekali bukan bunga tidur. Dia berjanji pada Tuhan akan menjadi anak yang baik.
Sembari memperhatikan lalu lalang jalanan. Reza teringat dengan hadiah yang diberikan Dimas.
Anak itu merogoh saku jaketnya namun tidak ada. Panik, Reza langsung merogoh semua saku yang ada di pakaianya namun tidak menemukan apapun.
'Hilang.'
Bersambung ....
87Please respect copyright.PENANAELt7QTNgpP