Rihan Daniel duduk termenung sangat lama di depan meja komputer. Sepintas ia terlihat sedang fokus memikirkan pekerjaannya. Namun nyatanya pikiran dia telah melayang entah kemana.
Mata Rihan berpindah dari layar komputer ke papan permainan baduk di samping kiri monitor. Semacam permainan strategi perang klasik antara biji hitam dan putih. Keduanya berusaha saling mengepung, saling menguasai wilayah, saling memakan lawan.
Permainan di atas papan telah berjalan setengah. Biji hitam dan putih nyaris memenuhi papan permainan. Sepintas terlihat biji hitam lebih mendominasi. Namun ketika Rihan meletakan satu biji putih ditengah wilayah kekuasaan hitam, permainan berubah total.
Biji putih itu bagaikan kambing hitam diantara gempuran pasukan hitam. Ia mengacak-acak formasi lawannya dari posisi yang tak terduga.
Rihan tersenyum sembari mengusap rahang kirinya. Arah permainan telah ia peroleh. Sedangkan dirinya sudah tidak tertarik untuk melanjutkan sampai akhir. Rihan kembali fokus kepada layar komputer dan mulai mengetik sesuatu. Sesaat ia melirik pada cangkir kosong di sampingnya. Kopi telah habis diminum.
Ketika ia keluar dari kamar kerja, Rihan sempat melihat ke pintu kamar sebelah yang tertutup rapat. Ia harus rela meminjamkan kamar tidurnya untuk ketiga tamu asing.
Rihan menarik napas panjang lalu berjalan menuju dapur. Lampu kecil di dapur dinyalakan setelah cangkir diletakan di samping bak cuci piring. Ia bersiap-siap menyeduh kopi baru ketika suara pintu kamar yang dibuka menyentak kaget dirinya.
Alvi yang baru keluar dari kamar juga ikut tersentak kaget. Ia tidak siap menyangka akan melihat seseorang. Apalagi kondisi rumah yang setengah gelap. Alvi hendak mengatakan sesuatu, ketika niatnya dipotong Rihan lebih dulu. “Duduklah. Jangan bergerak terlalu banyak. Jahitan lukamu belum kering.”
“Kau yang jahit?” Alvi bertanya dengan suara hati-hati.
Rihan tersenyum dengan posisi memunggungi Alvi. “Temanmu cukup nekad. Demi menyelamatkanmu, mereka sampai rela mendobrak masuk dan mengancamku.”
“Aku menggantikan mereka meminta maaf, dan terima kasih….” Alvi tampak sungkan.
“Duduklah.” Sekali lagi, Rihan meminta Alvi duduk. Selain takut luka jahitan terbuka lagi, Rihan juga cemas karena wajah Alvi terlihat pucat.
Akhirnya Alvi duduk mengikuti ucapan Rihan.
“Alvi Veenessa Endley….” Wanita itu memperkenalkan dirinya saat Rihan meletakkan secangkir coklat panas di atas meja di depannya.
Rihan tidak bisa langsung memproses nama yang begitu asing dan panjang. “Al…apa? Vee… Veena?” ujarnya sangat bingung.
Alvi sedikit terlonjak kaget. Ia mengangkat kepalanya menatap Rihan sangat lama. Sesuatu yang sudah sangat lama terpendam di ingatannya seolah bangkit kembali. Alvi tersenyum murung. “Mana mungkin….” pikirnya.
“Alvi Veenessa Endley.” Alvi mengulang dan kali ini dengan pelafalan yang lebih pelan dan jelas.
Mulut Rihan hanya membentuk huruf O tanpa suara. “Rihan Daniel.” Kali ini giliran ia memperkenalkan diri.
“Ryan Daniel,” gumam Alvi mengulang nama itu beberapa kali agar dirinya bisa ingat.
Dikarenakan pelafalan ‘h’ yang terdengar ringan, maka orang-orang—terutama penduduk Yi Lu—sering mengira nama Rihan adalah ‘Rian’ atau ‘Ryan’. Berbeda dengan Alvi, Rihan tidak mau repot-repot memperbaiki kesalahan pelafalan pada namanya. Toh, dirinya dan Alvi tidak ada hubungan lain selain bertemu-tanpa-disengaja dan secara-paksaan pula.
Sial, kekesalan mulai naik ketika mengingat kembali kejadian tadi. Rihan berusaha menahan gejolak emosi itu agar tidak dilampiaskan pada wanita tak berdosa di hadapannya. Memang mereka adalah teman. Tapi apa yang kedua temannya lakukan bukan atas kehendak Alvi, kan?
“Kau lapar? Aku bisa buat sesuatu untukmu.” Rihan menawarkan.
“Ti—tidak perlu. Ini sudah cukup.” Alvi buru-buru menolak. Tangan secepat kilat meraih cangkir coklat panas di depannya.
Rihan masih dengan tatapan menyelidik. Kalau diperhatikan baik-baik, Alvi tergolong cantik. Usia sedikit lebih muda dari Rihan, selisih tiga atau empat tahun. Rambutnya hitam panjang melewati pundak dan dibiarkan terurai. Biji mata hitam bulat dan sebenarnya sudah cukup membuatnya terlihat manis. Sayangnya dibalik mata itu tidak ada cahaya. Sesuatu yang gelap menutup kilau sepasang mata tersebut.
“Akan kubuatkan sesuatu. Kebetulan aku juga lapar.” Rihan sengaja menambahkan alasan di belakang agar Alvi tidak menolak. Cara semacam ini selalu sukses.
“Aku bisa bantu.” Alvi ikut berdiri dan Rihan langsung memberinya tatapan menolak. “Aku terluka di perut, bukan tangan atau kaki.” Di luar dugaan, Alvi cukup keras kepala.
“Baiklah.” Rihan mengizinkan Alvi membantu.
Keduanya pun berdiri berdampingan sambil mempersiapkan bahan untuk membuat sandwitch. Salah satu makanan praktis tanpa banyak persiapan namun cukup mengenyangkan.
“Maaf atas kekacauan di panggung tadi siang. Anjing-anjing itu tidak sampai menggigitmu, kan?” Alvi kembali meminta maaf.
“Eh?” Rihan tidak begitu mengerti.
“Serangan anjing liar atau anjing pemburu… mereka sebenarnya mengejar kami. Dari Olprone, Pelabuhan Bargescrow, Rami hingga ke sini.” Alvi mulai bercerita.
“Kalian dikejar? Siapa yang mengutus anjing-anjing itu?” Rihan berusaha memahami.
“Samsara.” Suara Alvi terdengar penuh benci.
“Kau yakin? Bukankah Samsara sudah runtuh?” Rihan bertanya sambil mulai memecahkan telur di atas penggorengan.
“Meski keruntuhan Samsara sudah hampir 5 tahun, namun Lady serta sisa-sisa pengikut Samsara masih belum sepenuhnya hancur. Mereka terpencar dan mulai membentuk kekuatan baru. Sama seperti Alice Nebula yang memburu sisa-sisa pengikut Samsara. Samsara juga memburu mantan tahanan yang dulu pernah mereka pakai sebagai subjek penelitian.”
“Anjing-anjing itu milik Samsara… Mereka menginginkan aku,” ujar Alvi.
“Lalu kenapa kalian berlari ke sini? Alice Nebula lebih aman dibanding Yi Lu,” komentar Rihan.
“Sebenarnya kami sedang mencari seseorang….” Entah kenapa Alvi tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tiba-tiba larut dalam pikirannya sendiri.
“Maaf. Aku terlalu banyak bercerita. Tidak biasanya aku bicara banyak seperti ini. Tapi entah kenapa aku tiba-tiba merasa sangat ingin menceritakan padamu.” Alvi menyadari malam itu ia tak seperti dirinya yang biasa.
“Tidak apa-apa. Justru tidak baik memendam terlalu lama di dalam hati.” Rihan tersenyum lebar.
Alvi membalas dengan senyum tipis. Ia meraih coklat panas yang ikut dibawa ke dapur. “Dulu ada seseorang yang selalu menyediakan coklat panas seperti ini untukku. Terutama setiap aku terbangun oleh mimpi buruk di tengah malam. Tapi orang itu sudah mati. Dia adalah bawahan Samsara dan aku sangat membencinya. Sewaktu Samsara runtuh, dia ikut mati di tanganku sendiri. Aku seharusnya senang. Tapi setelah menusuknya… entah kenapa hatiku malah menjerit penuh sesal.”
“Penjagamu?” Rihan menebak.
Tak sulit menebak, karena sudah banyak cerita beredar dari para tahanan yang menjadi subjek penelitian di Samsara. Seusai menjalankan rangkaian penelitian, pada malam hari setiap mereka akan dikurung dalam satu ruangan di mana ruangan itu terdapat hanya satu orang penjara. Satu orang subjek penelitian serta seorang penjaga yang mengawasi mereka.
Alvi mengangguk pelan.
“Kebebasan. Bukankah itu yang kalian harapkan sebagai mantan subjek penelitian Samsara? Kau sudah mendapatkan, jadi tidak perlu menyesali apa yang sudah kau perbuat demi menggapainya. Tidak ada pencapaian tanpa pengorbanan. Kenyataan memang sekejam itu.”
“Kau benar. Mungkin aku yang terlalu sensitif.” Alvi mengakhiri percakapan. Sementara Rihan telah selesai memotong sandwitch menjadi dua segitiga.
Alvi mulai menikmati sandwitch di tangannya. Sementara Rihan tampak sibuk dengan ponsel.
“Aku harus kembali. Ada kerjaan yang harus kukejar hari ini.” Rihan meminta izin untuk kembali ke kamar kerjanya. Alvi mengangguk mengiyakan.
“Bagianku habiskan saja. Aku tadi sengaja cari alasan biar kau mau makan. Selamat istirahat.” Rihan tersenyum jahil sebelum beranjak ke kamar kerja.
“Ryan.” Alvi tiba-tiba menahan.
“Ya?” Rihan kembali menoleh.
“Tadi siang aku mendengarmu bermain seruling. Melodi-mu sangat indah.” Alvi terang-terangan memuji keahlian Rihan.
Senyum di wajah Rihan semakin lebar. “Sebagai rasa terima kasih, mungkin di lain waktu, aku bisa memainkannya khusus untukmu seorang.”
ns 15.158.61.45da2