“Apa kau yakin tidak ingin beristirahat? Kita sudah berputar-putar di provinsi kecil ini lumayan lama.” Andra terlihat cemas.
“Bisakah kau tidak menunjukkan sikap lemah lembut seperti itu? Kau adalah keturunan Kaum Naga. Cicit dari Tetua Evanosk dan anak laki-laki tunggal dari Pemimpin Kaum Naga saat ini!” Gina berkata risih.
“Aku bukan anak laki-laki tunggal. Ayah punya dua anak laki-laki lain dari Bibi Freya. Lagipula apa salahnya aku mencemaskan luka Kak Alvi?” Andra membalas Gina dengan intonasi tidak senang.
Gina tertawa sinis. “Dua anak laki-laki lain… yang satu menjadi pengkhianat Kaum Naga dan yang satu lagi menjadi gila setelah berhasil meruntuhkan Samsara.”
“Gina.” Alvi tampak tidak terlalu senang dengan topik pembicaraan. Alasannya cukup sederhana, karena sejak ia bebas dari Samsara, Freya Natalia Grey—istri pertama pemimpin Kaum Naga—lah yang menjaga serta merawatnya di kediaman Vaiskyler di Tanah Agra.
Konflik internal ini sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum Samsara menyerang. Pada dasarnya Kaum Naga tidak sudi menerima kehadiran Kaum lain di tanah suci mereka. Sedangkan Freya Natalia Grey adalah seorang wanita manusia biasa. Pernikahannya dengan Ares Kennrich Vaiskyler—saat itu masih berstatus cucu Tetua Kaum Naga—tentu saja sangat ditentang oleh kepala keluarga Kaum Naga yang lain.
Keturunan calon pemimpin Kaum Naga haruslah berdarah murni seekor naga. Darah kotor yang tercemar oleh bau manusia hanya akan membawa petaka. Kaum Naga memandang rendah pernikahan tersebut, termasuk Freya Natalia Grey beserta dua anak laki-lakinya.
Seperti yang dikatakan Regina Waldermar, putra sulung—yang tidak pernah disebut namanya, mengkhianati Kaum Naga dan membelot pada Samsara. Sedangkan yang bungsu berhasil menjadi pahlawan dengan meruntuhkan kejayaan Samsara. Namun setelah itu si bungsu menghilang selama beberapa tahun dan belakang ini diketahui telah menjadi orang gila di pinggir Alice Nebula.
Kandasnya pernikahan bahagia antara Freya Natalia Grey dan Ares Kennrich bermula semenjak Tetua Kaum Naga, Evanosk Vaiskyler mati terbunuh akibat serangan Samsara.
Akibatnya, Ares Kennrich Vaiskyler naik menjadi pemimpin Kaum Naga. Demi mendapatkan kembali kepercayaan Kaum Naga dan memegang kuasa penuh atas kekuatan tempur Tanah Agra, ia akhirnya menikah dengan putri sulung keluarga Waldermar. Anak hasil pernikahan Arken—panggil formal Ares Kennrich—dengan Demita Waldermar adalah Regina Waldermar serta Raphael Andra Waldermar.
“Baiklah, baiklah. Aku tahu kau berhutang budi pada ayah dan Bibi Freya. Kau bisa keluar dari neraka Samsara berkat anak bungsu mereka. Tapi apa gunanya? Toh, sekarang dia sudah menjadi orang gila yang bahkan tidak mengenal keluarga serta dirinya sendiri,” cetus Gina panjang lebar yang memang sesuai fakta.
“Tapi Raka yang kukenal tidak seperti itu. Sewaktu kecil kami sering bermain bersama. Baik Raka maupun kakak laki-lakinya….” yang bahkan namanya saja sudah Alvi lupakan. Siapa nama kakak laki-laki Raka lagi? Bukankah mereka adalah teman masa kecil? Kenapa ia bisa lupa?
Di tengah percakapan, geraman rendah bergema dari arah gang sempit di samping kiri. Sekejap saja ketiganya langsung menatap penuh selidik ke arah gang gelap tersebut.
Sepasang mata kuning bercahaya muncul di ujung gang sempit tersebut. Mata itu perlahan-lahan mendekat dan membuat Gina serta Andra bersiap-siap mencabut senjata masing-masing. Sedikit demi sedikit wujud makhluk mulai terlihat. Ukurannya tak seperti anjing pemburu Samsara atau hewan yang biasa berkeliaran bebas di kota.
Makhluk berukuran besar itu mengawasi mereka serta sesekali menggeram rendah menebar intimidasi. Sepasang mata yang sudah bisa dipastikan milik hewan sebangsa kucing besar mendekat selangkah demi selangkah.
“Tunggu….” Alvi menahan Gina dan Andra untuk tidak mencabut senjata.
Ia kemudian mengambil inisiatif untuk maju ke mulut gang lalu berlutut. Tangannya terjulur keluar seolah sedang memancing seekor anak kucing untuk keluar.
Namun yang keluar bukanlah kucing kecil lucu, melainkan seekor macan tutul salju dewasa.
Macan tutul salju itu memiliki bulu putih bersih yang sangat lebat dengan bintil-bintil hitam di sekujur tubuhnya. Ia tidak tampak seperti hewan liar atau hewan yang lepas dari kebun binatang. Sepertinya ada seseorang yang sengaja memeliharanya.
Sang macan tutul salju mendengus tangan Alvi yang terjulur cukup lama. Hewan itu terlihat ragu untuk mendekat. Berulang kali ia menggeram lalu mendengus tangan Alvi sebelum akhirnya ia menjilat kecil ujung jari Alvi.
“Lily…?” Alvi mencoba memanggil nama hewan tersebut. Di luar dugaan sang macan tutul salju itu merespon panggilan tersebut. Makhluk itu memasang ekspresi girang sambil menggosok wajahnya pada telapak tangan Alvi.
Alvi tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia sontak membalas mengusap kepala lalu menggaruk leher Lily.
“Kau tahu hewan ini?” tanya Gina penuh penasaran. Begitu pula dengan Andra.
“Kurang lebih. Aku sama sekali tidak menyangka bisa bertemu dengannya setelah sekian tahun berpisah. Kupikir dia sudah tidak ingat aku.” Alvi tersenyum lebar. Senyum yang sangat jarang ia tunjukkan bahkan kepada Gina dan Andra sekalipun.
“Aku memeliharanya sewaktu di Samsara. Karena dia sempat sakit, penjagaku terpaksa membawanya ke dokter hewan di luar. Siapa sangka hari ini Lily tiba-tiba muncul di hadapanku.”
“Sewaktu di Samsara? Apa boleh membawa masuk hewan liar?” Gina semakin tidak mengerti.
“Lalu penjagamu tidak membawanya kembali?” Andra juga bertanya.
“Tidak. Karena seminggu kemudian operasi meruntuhkan Samsara dimulai.” Alvi menjawab.
“Aneh… penjagamu mati saat operasai Samsara. Sebelum itu dia sempat membawa keluar Lily. Lalu sekarang kalian bertemu. Penjagamu seperti tahu apa yang bakal terjadi dengan Samsara, atau memang hanya kebetulan saja,” gumam Andra merasa sedikit janggal. Kejanggalan yang dibungkus dengan rapi.
Mendengar ucapan Andra, Alvi mulai merasakan kejanggalan serupa. “Lily, bisakah kau mengantarku ke orang yang selama ini merawatmu?” Alvi meminta, namun ia sendiri sebenarnya tidak begitu berharap Lily akan menurutinya. Mereka sudah berpisah sangat lama, siapa yang bisa menebak kesetiaan seekor hewan liar?
Layaknya seekor anjing kecil yang kegirangan akhirnya bisa bertemu dengan tuannya setelah sekian lama. Lily mengitari Alvi dua kali sebelum akhirnya menggigit ujung baju wanita itu untuk meminta ikut.
“Apa dia bisa dipercaya?” Gina jelas menunjukkan kecurigaan dan keraguan.
Alvi mengikuti Lily. “Aku tidak tahu. Tapi ini petunjuk pertama setelah pencarian kita selama sebulan terakhir. Orang dengan kekuatan nullified yang mampu menekan kekuatanku. Dulu yang memberikan Lily padaku juga orang dengan kekuatan seperti itu.”
“Apa mungkin mereka orang yang sama?” Andra mulai menebak, karena orang dengan kekuatan nullified sangatlah langka atau bahkan nyaris tidak ada. Bahkan terakhir kali kekuatan itu muncul adalah seribu tahun yang lalu.
“Tidak mungkin orang yang sama….” Alvi menggeleng cepat. Suaranya terdengar gemetar namun penuh keyakinan. “Sewaktu Samsara runtuh, aku sendirilah yang membunuhnya… dengan pedang di tanganku….”
“Kita tidak sedang membahas orang yang sama dengan penjagamu di Samsara, kan?” Gina mulai mencampur-adukan dua sosok yang Alvi kenal di Samsara.
Alvi tidak menjawab. Ia semakin mempercepat langkahnya menyusul Lily.
Lily sang macan tutul salju membawa mereka ke sebuah gedung perkantoran. Mendadak saja sebuah ledakan terjadi dari dalam gedung tersebut. Orang-orang di sekitar gedung refleks menjerit panik. Kekacauan bertambah ketika para karyawan berhamburan keluar.
“Master Peledak….” ujar Andra ketika melihat asap hasil ledakan. Ada semacam energi yang ikut terbawa oleh asap hitam itu. Sial! Para pengejar Samsara seakan tahu ke mana mereka pergi.
Anjing-anjing pemburu mulai bermunculan dari segala arah dan mengepung mereka. Dengan sigap Lily menerkam, merobek daging seekor anjing yang berusaha mendekati Alvi.
“Biarkan Lily melayani anjing-anjing pemburu. Aku dan Andra akan mencari Master Peledak. Alvi, kau cukup mencari orang dengan pendaran aura jingga.” Gina melempar sebuah kompas pada Alvi.
“Seharusnya dia ada diantara orang-orang yang keluar.” Andra menambahkan sebelum ia dan Gina benar-benar menghilang dari balik kerumunan orang.
Alvi mulai mengarahkan kompas ke sembarang arah. Belum ada reaksi apapun dari benda di tangannya. Sementara hawa membunuh mulai dirasa dari belakang. Alvi mengambil satu langkah menghindari ke kanan dan benar! Kepulan gas berwarna ungu melintas begitu saja di depan wajahnya. Menyadari itu adalah gas beracun, Alvi sontak mundur sangat jauh sambil menutup mulut dan hidungnya.
Musuh menampakkan diri dari balik gas berwarna ungu. Sosok itu memakai gas mask yang menutup seluruh wajahnya. Tangannya memegang botol kaca berisi cairan dengan warna ungu yang lebih pekat. Tak ingin membuang waktu, sang musuh mulai berlari kencang mengitari Alvi sembari melempar botol-botol racun.
Alvi tentu saja tidak tinggal diam. Ia berusaha lari ke arah lain. Namun musuh selalu dapat memblokir jalannya. Alvi mencoba mundur ke arah lain tapi usahanya kembali sia-sia. Di saat ia sadar, gas beracun telah sepenuhnya mengepung posisinya.
Seandainya tidak terluka, mungkin Alvi bisa leluasa bergerak. Tapi untuk sekarang, ia tidak punya pilihan lain selain menggunakan api hitam untuk membakar gas beracun. Sebagai akibat, batu nullified yang selama ini menekan kekuatannya yang lain habis terpakai dengan sangat cepat.
Melihat tujuannya telah tercapai, sang musuh pun mundur.
Sedangkan Alvi akhirnya berhasil keluar dari kepungan gas beracun. Ia terbatuk beberapa kali di luar kobaran api hitam yang sedang asyik melahap gas beracun. Kakinya terhuyung dan ia pun menabrak seseorang.
Rihan tidak tahu dosa macam apa yang ia lakukan di kehidupan sebelum hingga nasibnya sekarang harus sesial ini. Ketika ia mengira keseialan hanya berlangsung satu hari saja, maka di hari kedua ini pun dewa kemalangan belum mau lepas dari dirinya.
Ledakan di kantor tempat ia bekerja yang untungnya saat itu ia sedang berada di luar menemui klien. Lalu kemudian sekarang ditabrak oleh seseorang hingga nyaris terjatuh.
“Hey!” Rihan nyaris memaki orang yang menabraknya ketika ia mengenali wanita yang jatuh berlutut itu.
“Kau, Al… Al….” Sial di saat seperti ini ia malah lupa nama tamu asing kemarin malam.
“Veena. Ya, Veena. Kau tidak apa-apa?” Rihan sembarang menyebut nama seraya berusaha membantu Alvi berdiri.
Sentuhan itu sontak membangkitan ketakutan lain dalam diri Alvi. Dengan emosi tak terkontrol, Alvi lantas menepis tangan Rihan lalu mendorong kuat lelaki itu hingga benar-benar terjungkal ke belakang.
“Jangan sentuh aku! Pergi! Jangan mendekat!!!” teriak Alvi histeris bercampur ketakutan.
Rihan sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Ia mencemaskan wanita itu, tapi balasan yang ia dapatkan adalah dorongan serta luapan kemarahan. Dengan kesal, Rihan kembali mendekati Alvi dan menyambar kasar pergelangan tangan wanita itu.
“Apa aku salah mencemaskanmu? Kalau tidak suka, kau cukup bilang! Tidak perlu sampai mendorongku!” luap Rihan tetap kukuh mencengkeram pergelangan tangan meski Alvi terus meronta.
“Lepaskan… kumohon… kau bisa mati….” Hal mengejutkan terlontar dari mulut Alvi.
Rihan menatap lengan Alvi. Terlihat becak coklat dari balik kulit pergelangan tangan Alvi. Bercak serupa juga muncul di beberapa bagian lain seperti wajah, leher dan juga tangan yang satu lagi.
Dengan ekspresi setengah ngeri setengah bingung, Rihan akhirnya melepaskan genggamannya. Sayang segalanya sudah terlambat. Bercak coklat itu bagaikan virus yang langsung berpindah hanya dengan sentuhan kecil. Kulit telapak tangan Rihan juga mulai muncul bercak coklat serupa.
Alvi mundur perlahan-lahan sembari melempar tatapan tak percaya.
Bersamaan dengan itu Gina dan Andra berlari sekencang mungkin menghampiri mereka sambil berharap semuanya masih bisa mereka kendalikan. Tapi begitu mereka melihat bercak coklat yang mulai menyebar di tangan Rihan, rasa iba bercampur bersalah pun merasuki tiap urat wajah mereka.
Andra berinisiatif menghampiri Rihan. “Sobat, aku turut berduka cita. Waktu sudah tidak lama. 24 jam dari sekarang. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan selagi bisa.” Andra berkata dengan suara berat.
“Ap—Apa ini…?” Rihan masih tidak mengerti. Apakah kesialan selama 2 hari terakhir adalah pertanda bahwa hidupnya akan segera berakhir?
“Kekuatan korosif. Siapa pun makhluk hidup yang menyentuh Alvi, entah itu sentuhan ringan atau senggolan kecil, akan terkena pembusukan. Semula ada batu nullified yang menahan kekuatannya itu, tapi sepertinya kekuatan batu itu sudah terpakai habis dan Alvi gagal menemukan orang yang bisa mengisi kembali kekuatan batu itu.” Andra menjelaskan. “Kami benar-benar minta maaf, sobat.”
Rihan menurunkan tangannya dan mulai tertawa kecil. Bukan menertawakan hidupnya yang mendadak menjadi sangat pendek, melainkan putaran roda nasib yang seolah membawanya kembali ke titik awal.
Gina memungut kompas yang terjatuh di dekat Alvi. Pantulan kaca kompas telah berubah warna dari yang semula bening menjadi jingga pudar. “Andra, kurasa kita sudah menemukan orangnya,” ujarnya sambil menunjukkan kompas di tangannya.
Rihan mengepal erat tangannya yang terkena kutukan dan keajaiban pun terjadi. Perlahan-lahan kulit tangan mulai berubah normal dan angin sejuk mendadak bertiup entah dari mana. Gas beracun yang menyebar di udara sekitar gedung perkantoran lenyap dengan sendirinya. Begitu pula dengan kontaminasi udara akan asap kebakaran.
“Kau—” Andra bahkan kehilangan kata-katanya.
ns 15.158.61.8da2