Alice Nebula, bisa dikatakan kota masa depan, kota megapolitan dengan beragam kesibukan dan teknologi canggih. Jalan layang yang entah berapa lapis, jalur kereta cepat dengan gerbong-gerbong kereta yang hilir mudik serta gedung-gedung pencakar langit yang terlihat sangat megah.
Dengan teknologi serta berlapis dinding pertahanan yang tersusun atas baja tebal, maka tidak heran jika kota ini dijadikan basis utama oleh Kaum daratan Beta Urora dalam menghadap Samsara beberapa tahun lalu.
Ini bukan kali pertama Rihan menginjakkan kakinya di kota yang disebut sebagai Pertahanan Terakhir Kaum Daratan. Harus diakui, tata letak kota hingga seluruh sistem yang ada, terorganisir dengan sangat baik. Siapapun pasti pernah mendambakan kehidupan di kota megah semacam ini.
Dulu sekitar dua atau tiga tahun lalu, Rihan sempat diutus menyelidiki kasus di sini. Jika bukan karena terpaksa, ia akan sangat senang jika segala macam urusan di Alice Nebula diserahkan pada rekan kerjanya. Bukannya karena Rihan membenci kehidupan kota besar, hanya saja ia tidak terlalu suka jika suatu hari nanti ia harus berpapasan dengan orang-orang yang mengenalnya di kota ini.
Sejak keluar dari Nebula Tower dan terbebas dari tiga tikus menyebalkan, waktu tanpa terasa telah berlalu satu minggu. Entah karena alasan apa, Rihan masih bertahan di salah satu sudut Alice Nebula. Tepat di salah satu café kecil bernuansa pastel.
Begitu pintu didorong, lonceng di atasnya langsung menyambut nyaring. Aroma kopi yang begitu menggoda tercium. Rihan berjalan melewati tiga meja yang disusun berjejer di dekat jendela dan memilih duduk di meja keempat dari total lima meja. Ia suka duduk di bagian yang nyaris mendekati pojok, namun tidak suka jika harus benar-benar di sudut ruangan.
Seorang barista tua menyambut ramah dari balik meja bar. “Espresso.” Rihan memesan lebih dulu sebelum ditanya oleh sang barista tua.
Kemudian ia duduk menghadap pintu café, atau dengan punggung menghadap meja kelima yang terletak di paling pojok café. Tangannya membentangkan lebar-lebar koran yang ia bawa masuk dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga orang-orang di café tidak bisa melihat wajah atau pun tubuhnya.
Kopi yang ia pesan diantar ke mejanya dan Rihan langsung meneguknya sedikit. Rasa pahit yang sangat nikmat pelan-pelan melewati tenggorokannya. Di tengah kenikmatan kopi di tangannya, pintu café kembali terbuka dan masuklah tiga orang. Semula Rihan tidak terlalu mempedulikan pengunjung itu. Namun suara mereka tidak asing di telinganya.
Rihan menurunkan koran dan melihat siapa ketiga pengunjung yang baru datang itu. Mereka duduk di meja kedua sehingga Rihan cukup leluasa melihat wajah mereka. Sedetik kemudian Rihan buru-buru mengangkat kembali koran. Semuanya serba cepat dan tidak menimbulkan kecurigaan sedikit pun.
“Awas saja kalau ketemu lagi. Aku pasti menghajarnya,” geram Regina Waldermar melayangkan protes.
Rihan tahu kepada siapa protes itu ditujukan.
“Sasha bahkan sengaja tidak mengajarkan cara mengisi batu itu. Dia ingin menahan Daniel setidaknya sampai kita semua lengkap berkumpul,” komentar Andra.
“Tapi melihat Daniel begitu cepat mengisi batu nullified ini, kurasa dia tak mungkin sekedar orang biasa, rakyat jelata atau apalah itu. Ingat dia sendiri berhasil lolos sewaktu pertarungan terjadi di pabrik gula? Dia bahkan bisa melepaskan ikatan di tangannya tanpa membuat gerakan terlalu banyak,” lanjutnya.
“Ryan pasti punya alasan. Aku yakin dia tidak seburuk itu.” Alvi tidak ingin berprasangka buruk.
“Tapi setidaknya tinggalkan pesan atau semacamnya. Padahal kau langsung ke Nebula Tower begitu mendapat izin keluar rumah sakit. Tapi dia malah bersikap egois.” Gina menggerutu.
“Apa aku segitu menyebalkan sampai-sampai semuanya seolah-olah adalah salahku?” Rihan bertanya-tanya di dalam hati tanpa berani bergerak sedikitpun.
“Setiap orang punya kesibukan masing-masing. Dia sudah menuruti keinginan kalian, kan? Jadi kalian juga harus menghormati keputusannya.” Suara lain tiba-tiba menimpal.
Kali ini Rihan tidak berusaha mengintip.
“Dibanding mengacaukan mood kalian di hari ini, kenapa kalian tidak santai sejenak sambil menikmati kopi kalian?” Julius Aditya Kane tersenyum lebar lalu melangkah ke meja ke lima. Ia duduk berhadapan punggung dengan Rihan.
Dari balik punggungnya, Rihan mendengar cekikan kecil akibat tawa yang berusaha keras ditahan.
“Kalau saja aku tidak sedang menghindari mereka, kurasa sekarang wajahmu sudah memar,” bisik Rihan geram.
“Kenapa kau masih di sini? Bukankah seminggu lalu kau begitu ingin lenyap?” Julius membalas dengan bisikan juga.
“Kalian, Alice Nebula, bisa membawaku ke sini, tapi tidak menyediakan biaya atau transpor perjalanan kembali ke Yi Lu,” ketus Rihan.
“Kalau begitu, kau bisa kembali ke Nebula Tower dan meminta biaya perjalanan kembali ke Yi Lu.” Julius hanya mengatakan hal yang biasa akan orang-orang lakukan ketika mereka lupa diberi fasilitas dari Nebula Tower, seperti biaya perjalanan, tempat tinggal dan sebagainya.
“Lalu aku harus kembali setiap hari untuk mengecek apakah biaya perjalananku sudah cair atau belum. Terima kasih, tapi tidak.” Rihan menolak mentah-mentah.
Julius menegakkan posisi duduknya. “Punya nomor yang bisa kuhubungi? Nomor lamamu tidak tersambung.” Ia akhirnya mengganti topik pembicaraan.
“Tidak ada. Terakhir aku kehilangan ponsel ketika insiden di bekas pabrik gula di Yi Lu.” Rihan berkata jujur.
“Pakai punyaku ini. Baru kubeli kemarin.” Julius menyerahkan ponsel miliknya.
Rihan terlihat ragu menerima atau tidak.
“Tidak ada alat pelacak atau penyadap suara. Baru juga kubeli kemarin malam.” Julius berusaha meyakinkan keraguan temannya.
“Kalau kujual, mungkin bisa menutupi biaya perjalanan kembali ke Yi Lu.” Rihan bergumam kagum akan ide cermelang yang tiba-tiba terlintas di pikirannya.
Julius refleks berbalik dan berkata, “Kau—”
“Mereka datang… mendekat ke sini… Apa kau tidak takut ketahuan?” Julius menggeser sedikit posisi duduknya bersiap-siap menyaksikan hal lain yang lebih menyiksa temannya dibanding umpatan kesal dari mulutnya.
Rihan melayangkan tatapan tak senang dan langsung berhamburan lari menuju toilet dengan kepala terbenam di balik koran di tangannya.
Barista tua yang sedang menyediakan kopi terlonjak kaget melihat tingkah pengunjungnya itu.
“Ada apa dengannya? Apa ada yang salah dengan kopinya?” Gina terheran.
Julius tersenyum puas. Tak lama kemudian, ponsel di sakunya bergetar dan sebuah pesan muncul di layar berukuran 5 inci itu. “Tunggu saja pembalasanku! PS: tolong bayar kopiku.”
Senyum di bibir Julius semakin lebar dan nyaris tertawa terbahak-bahak kalau saja ia tidak teringat akan kehadiran tiga orang yang tengah menghampirinya.
“Ada sesuatu yang menyenangkan? Tidak biasanya kau terlihat sesenang ini.” Andra bertanya penasaran.
Julius meletakan ponselnya di atas meja dengan posisi terlungkup. “Tidak ada yang spesial. Hanya saja belakang ini banyak hal-hal bagus dan hatiku ikut senang.”
“Ada perlu?” Julius menanyakan tujuan mereka.
“Alvi bilang dia ingin kembali ke provinsi Yi Lu mencari lelaki-egois-yang-berbaju-kepala-beruang untuk berterima kasih. Kau adalah supervisor kami. Jadi… apa kau bisa memberi kami izin?” Gina menjelaskan dengan nada pelan, sopan dan hati-hati.
Julius tak langsung mengiyakan ataupun menolak. Ia berpikir cukup lama sebelum membuka mulutnya. “Izin tidak menjadi masalah. Tapi tidak dalam waktu dekat. Aku perlu memastikan kondisi Alvi benar-benar stabil sebelum pergi jauh. Kurasa kau tidak bisa kemana-mana sekitar seminggu sampai dua minggu ke depan.”
“Baiklah.” Alvi tak berkomentar banyak. Sejujurnya ia tidak berharap bisa mendapat izin dengan mudah apalagi setelah semua kejadian di Yi Lu.
Melihat ketiganya kembali ke meja masing-masing, Julius kembali meraih ponsel dan mulai mengetik pesan. Kepada siapa? Tentu saja kepada teman lamanya itu.
ns 15.158.61.45da2