Arlen membuka matanya saat mendengar ketukan di pintu kamar, tidak beraturan. Pukul dua belas siang, itu angka yang tertera di layar ponsel Arlen setelah dia mencarinya di bawah ranjang. Ketukan tak beraturan itu kembali terdengar, ini jelas bukan papanya. Irama ketukan itu lirih, dengan kesal Arlen segera berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang mengganggu tidurnya. Hari ini kebetulan kelasnya kosong jadi membuat Arlen memilih untuk tidur seharian, dia sangat malas jika harus bertemu dengan papanya apalagi wanita dan anak kecil itu.
“Apa sih?!” sentaknya
Tubuh mungil itu tersentak dan sedikit terhuyung mundur, kepalanya mendongak menatap Arlen. Meski dia sering kali melihat tatapan benci itu, tapi entah kenapa kali ini sangat berbeda. Manik almond pada mata elang itu terlihat menggemaskan, dengan rambut berantakan serta wajah yang sedikit bengkak khas bangun tidur. Setajam atau sekesal apapun Arlen siang itu, malah terlihat lucu dan menggemaskan di mata si kecil. Dia baru tahu jika kakaknya bisa terlihat lucu dan menggemaskan seperti itu.
“Apa?!” sentakan Arlen membuyarkan lamunannya
“A-anu, pa-papa dan mama sedang pergi. Katanya Renren di minta untuk main sama kak Arlen” ujarnya sedikit gugup
“Main saja sendiri. Aku tidak peduli”
Arlen hendak menutup pintu kamarnya kembali sebelum suara mungil itu menghentikannya. Arlen menopang dagunya di meja bar dapur, menatap datar yang ada di hadapannya. Airen tengah sibuk melahap spaghetti saus daging dengan rakus, wanita sialan itu sengaja tidak menyiapkan makanan untuknya atau bagaimana?, umpat Arlen. Tanpa sadar tangannya bergerak mengambil serbet lalu melemparkannya ke arah Airen, “Makan yang benar!” ucapnya sedikit kasar. Bukannya takut atau menangis Airen malah tersenyum lebar lalu mengambil serbet itu untuk diusapkan di sekitar mulutnya. Duh, menggemaskan sekali.
“Terimakasih kak!” ucapnya senang
Keduanya kali ini berada di ruang santai, tidak lupa dengan Arlen yang masih menjaga jarak dari si kecil dengan duduk di sofa. Isi kepalanya terus memutar kata ‘abaikan’ sembari menatap televisi yang tengah menayangkan sebuah film. Lalu si kecil? Ah dia sibuk dengan mainan balok susunnya di karpet ruang santai, nampak tidak tertarik dengan film yang ditonton oleh Arlen. Karena terlalu fokus Arlen sampai tersentak saat merasakan sesuatu menyentuh ujung kakinya, saat manik almondnya melihat, sebuah balok kayu berada disana.
Begitu tatapannya mengarah pada si kecil, dirinya hanya mendengus. Menara yang menjulang tadi telah roboh sebagian karena ulah tangan si mungil. Airen nampaknya sudah tidak bisa lagi menahan kantuknya sehingga membuatnya setengah tertidur sambil duduk dan memegang balok susunnya. Pikiran dan hatinya berseberangan, manik almondnya masih tidak lepas dari sosok mungil itu hingga ketika kepala kecil itu bergerak kebawah dan hendak membentur karpet telapak tangannya dengan sigap menahannya. Yah, hatinya kali ini yang menang. Dengan pelan Arlen mengangkat tubuh kecil itu dan membaringkannya di sofa ruang santai, setelah dia mematikan televisi tentunya. Diambilnya bantal sofa sebagai bantalan lalu berjalan pergi ke salah satu kamar dan kembali dengan selimut kecil yang diyakini milik si kecil.
Arlen menekuk lututnya setelah menyelimuti si kecil, menatap wajah kecil yang entah kenapa begitu persis sekali dengan Airennya. Tidak ada satupun yang terlewat, entah tatapannya, entah senyumnya, atau apapun yang ada pada si kecil begitu sama persis dengan Airennya. Termasuk nama dan nama kecil mereka. Arlen menghentikan tangannya di udara saat sadar bahwa dia hendak mengusap kepala si kecil.
“Aku memikirkan apa sih!” gumamnya lalu beranjak pergi menuju kamarnya
93Please respect copyright.PENANA1wOTUfDBW2
93Please respect copyright.PENANAFMEiGWkV6K
93Please respect copyright.PENANAubCTIfIPMq
93Please respect copyright.PENANA6ZRH5il2OG
93Please respect copyright.PENANADkPcuRiu2Q
93Please respect copyright.PENANAWHpIq2p8nX
Arlen kembali terbangun dengan tiba-tiba saat mendengar tangisan histeris, kesadarannya bahkan belum terkumpul seluruhnya. Tapi pintu kamarnya terbuka begitu saja, ah sepertinya Arlen lupa menguncinya tadi. Dan sesosok anak kecil berlari kearahnya dan langsung melompat keatas ranjang guna menubruknya. Terdengar jelas sekali isakannya, belum sempat Arlen berujar si kecil sudah berkata lebih dulu.
“Ren-Renren kira kakak pergi!! huhuhu Renren takut sekali!!” adunya
Arlen terdiam sebentar, pikiran dan hatinya berkecamuk. Saling berebut kesadaran Arlen, pikirannya mengatakan jika anak kecil itu telah lancang memasuki kamarnya. Tapi hatinya berkata itu bukan kesalahan siapa-siapa, sadar atau tidak kedua tangannya malah memeluk tubuh mungil itu. Kedua tangan kecil yang memeluk erat lehernya dan membasahi salah satu bahunya itu sedikit tersentak. Berpikir jika Arlen akan menariknya kasar.
Dengan lembut salah satu tangannya mengelus pelan punggung kecil itu, berharap bisa menenangkan dan meredakan isakannya. Arlen sendiri tampak nyaman menenggelamkan wajahnya di bahu kecil Airen, aroma khas bayi itu menggelitik hidungnya. Entah berapa lama keduanya berada dalam keadaan saling berpelukan seperti itu, bahkan isakan si kecil sudah tidak lagi terdengar dan sudah nampak tenang. Airen dengan pelan melepaskan pelukan di leher Arlen, sedikit takut melihat wajah kakaknya yang tidak pernah ramah padanya.
“U-um, ma-maaf Ren-Renren lancang masuk” ujarnya
Si kecil nampak gugup saat Arlen hanya menatapnya datar dan terlihat tidak berniat untuk membalas ucapanya. Keduanya saling berhadapan dan menatap satu sama lain, “U-uhm, Ren-Renren ke-keluar ya kak” ujarnya lalu berusaha berbalik pergi sebelum kakaknya itu mengamuk padanya. Dia masih ingat sekali ucapan Arlen yang tidak menginginkan kehadirannya itu disini. Baru saja akan turun, lengan mungilnya sudah di tarik kembali dan badannya di peluk begitu erat.
“Kali ini aja, diam dan jangan bersuara”
Si kecil tahu jika suara sang kakak terdengar bergetar, tapi dia memilih menurut. Tangan mungilnya memilih sibuk mengusap kepala kakaknya lembut, kesempatan seperti ini tidak ingin di lewatkannya begitu saja. Arlen memejamkan kedua matanya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher si kecil yang seharusnya di bencinya itu. Ternyata walau masih kecil pelukan Airen sungguh hangat, seperti pelukan Airennya ketika Arlen mengalami mimpi buruk. Atau ketika dia tengah merindukan mama dan papa, usapan pada kepalanya begitu lembut. Seakan Airennya lah yang tengah ia peluk saat ini.
“Kakak nggak sendiri, ada Renren”
Ucapan sederhana itu total memporak-porandakan pikiran dan hati Arlen. Membawanya terbang jauh ke dalam masa bertahun-tahun yang lalu. Tahun-tahun awal hidup rumah keduanya yang nyaris roboh dan hancur, tahun-tahun dimana keduanya hanya memiliki satu sama lain. Bahkan mereka nyaris tidak memiliki apa-apa jika si sulung tidak segera bertindak dan mengambil pilihan berat.
Arlen yang kala itu baru saja menginjak kelas satu sekolah dasar masih belum cukup mengerti keadaan mereka. Sesekali dia menangis merindukan kedua orang tuanya dan berakhir tertidur di pangkuan kakaknya. Pelukan hangat dan usapan lembut di punggung dan kepalanya selalu berhasil membuatnya tenang. Sesekali tubuh kakaknya bergerak seakan tengah menimangnya, dalam setengah sadarnya sebelum terlelap Arlen kecil mendengar bisikan pelan penuh janji itu.
“Kakak akan selalu disini, Len. Kamu tidak sendiri”
ns 15.158.61.20da2