Miko menatap heran pada pecahan gelas yang berserakan di lantai, dia yakin telah memegangnya dengan erat. Bahkan tangannya tidak basah maupun licin, tapi kenapa gelas itu bisa meluncur bebas dari genggamannya. “Mik, kau baik? Aku mendengar suara barang pecah” kepala Yogi menyembul dari pintu dapur. Membuatnya tersadar lalu menoleh kearah sahabatnya, “Tanganku licin” terang Miko lalu segera mengambil sapu untuk membereskan pecahan itu. Yogi hanya mengangguk lalu kembali ke meja kasirnya, tidak ingin bertanya lebih lanjut perihal gelas yang pecah itu.
Suasana kedai sore itu seperti biasanya, cukup ramai yang diisi oleh pegawai kantor yang baru saja pulang. Antrian cukup panjang karena mayoritas memesan untuk di bawa pulang. Miko sibuk dengan peralatan memasaknya, sesekali melihat catatan pesanan yang ditempel Yogi. Tapi tidak jarang pula sudut matanya terus memperhatikan ponselnya yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya berada.
Ini sudah dua jam, pikirnya
Sedikit bergegas Miko segera menyelesaikan pekerjaannya, “Gi! Yogi!” panggil Miko setelah dia membereskan pekerjaannya beberapa menit kemudian. Sebuah kepala menyembul dari pintu dapur, “Aku sedang menelponnya, tunggu” balas Yogi seakan tahu apa yang dibutuhkan sahabatnya. Pengunjung kedai sudah berkurang, hanya tersisa beberapa saja, itupun tengah dilayani oleh Yogi. Miko memutuskan untuk keluar dari dapur membantu Yogi di meja kasir, sambil menunggu jawaban.
“Ya benar, apa? Dimana?” Miko mengernyit
“Baik, sebentar lagi saya kesana”
Telepon itu terputus dan Yogi menatap Miko yang menatapnya bingung.
“Sepertinya kita harus menutup kedai sekarang” ujar Yogi
*87Please respect copyright.PENANAzvByME3Byz
*87Please respect copyright.PENANAYgHNkhoBho
*87Please respect copyright.PENANAZtahtEwMxK
*87Please respect copyright.PENANAUttE8UQhs6
Miko terus mengumpat dalam hati sambil terus melangkahkan kakinya, memutari sungai di pusat kota bukan perkara yang mudah. Setelah meminta pengertian para pengunjung kedai untuk menutup kedai lebih awal keduanya segera bergerak pergi. Setelah beberapa kali menghubungi, telepon itu akhirnya diangkat. Bukan dari sang pemilik, melainkan seorang pejalan kaki yang menemukannya di dekat sungai pusat kota. “Kau sungguh yakin Arlen masih ada di sekitar sini?” tanya Miko.
Keduanya telah kembali bertemu, setelah setengah jam mencari terpisah. “Katanya dia hanya duduk lalu meninggalkan ponselnya disini” ujar Yogi yang malah lebih kacau. Terlihat sekali raut panik dan cemasnya juga rambutnya yang tidak lagi tertata rapi, tapi rasanya kok malah lebih seperti seorang gelandangan yang tidak mencuci rambutnya bertahun-tahun. “Mik, dia tidak akan━” Yogi tidak sanggup melanjutkan ucapannya dan hal itu jelas sekali ditangkap oleh Miko. Membuatnya kesal dan segera memukul kepalanya itu, “Jaga bicaramu! Arlen itu tidak bodoh sepertimu!” sentak Miko.
“Ya kan misalnya” Yogi merenggut sambil mengelus kepalanya
“Apa tidak ada pengandaian yang lebih ke pengharapan?”
“Maaf deh” ucap Yogi merasa bersalah
“Ayo cari lagi” ujar Miko yang masih sedikit kesal
Kali ini Miko memilih mencari di luar sungai pusat kota, dia terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Hingga langkahnya terhenti saat melihat seseorang tengah terduduk di kursi halte bus yang tidak jauh darinya. Kepalanya tertunduk membuat rambut depannya menutupi hampir separuh wajahnya, sambil menghela napas lega Miko segera berjalan menghampiri. Ditepuknya pelan bahu itu yang membuat tersentak dan menoleh padanya, “Sedang apa?” tanya Miko.
Kedua manik almond Arlen mengerjap sebentar.
“A-ah aku hanya berjalan-jalan” jawabnya yang terlihat ragu
Miko hanya mengangguk lalu duduk di samping Arlen.
“Kau kenapa disini?”
“Ada yang menelpon Yogi, mengatakan jika pemilik ponsel itu meninggalkan ponselnya di sungai pusat kota”
“A-ah ….” Arlen mengangguk canggung
“Akan kuhubungi anak itu dulu” ujar Miko lalu mengambil ponselnya
Tidak lama seseorang datang berlari dan langsung menubruk tubuh Arlen hingga nyaris terjungkal. “Kau ini kemana saja?! Astaga! Aku sampai panik saat yang mengangkat orang asing!” racau Yogi lengkap dengan derai air matanya itu. Miko hanya memutar kedua bola matanya malas, kenapa sih dia harus bertingkah menggelikan seperti itu. Dan dengan sangat senang hati Miko bersedia memukul kepala belakang sahabat milyunernya itu.
“Mik━” Yogi segera membungkam mulutnya
Kalimat protesnya ditelannya bulat-bulat, nyalinya ciut ketika melihat tatapan tajam sahabat. Seakan menjanjikan siksaan yang lebih dari pukulan kepala belakangnya. Dengan gesit Yogi segera berlindung di balik punggung tegap Arlen, untuk menghindari serangan pukulan bagian dua. “Ayo pulang” ujar Miko jengah, dia berjalan lebih dulu meninggalkan Yogi dan Arlen disana. Lengan Arlen segera dipeluk dan ditarik kuat oleh Yogi sambil tersenyum, “Ayo!” ujarnya kembali riang.
Ketiganya telah duduk bersama di sofa ruang kerja kedai, tiga cangkir tersaji di meja dua berisi kopi susu dan satunya berisi cokelat panas. Jangan ditanya siapa yang mendapat cangkir berisi cokelat panas itu. “Ar, tolong jelaskan bagaimana bisa kau ada disana?” duh, Arlen rasanya seperti disidang saja, melihat tatapan penuh intimidasi dari sahabatnya itu. Yogi ingin sekali menyela, tapi melihat tatapan penuh ancaman dari Miko membuatnya urung.
“Maaf…” ucapan lirih itu terdengar
Miko hanya mendengus, dia sangat kecewa juga khawatir.
“Kita berteman sejak menengah pertama, Ar! Demi Tuhan selama itu, apa kau tidak berniat untuk percaya pada kami?” Arlen menunduk merasa bersalah
“Aku sungguh percaya Ar, sangat percaya saat kau datang pertama kali ke kedai dua bulan lalu setelah apa yang terjadi. Aku percaya kau telah baik-baik saja”
“Aku sungguh baik-baik saja Mik” bela Arlen
“Aku tidak bodoh Ar saat tahu kau sering ke kelab malam! Aku juga tidak bodoh melihatmu sering melamun! Aku juga tidak bodoh melihatmu sering menghindar jika berkaitan dengan kak Airen! Aku tidak bodoh untuk tidak sadar itu semua!” sentak Miko
Arlen total bungkam, dia tidak tahu jika sahabatnya mengetahui itu semua.
Miko menghela napas, “Berhentilah berjalan sendiri Ar” ucapnya pelan
Kedua pasang mata berbeda manik itu menatap satu sama lain, “Kami selalu disini untukmu, kau tidak sendirian” Miko menyelesaikan ucapannya. Dia tidak berharap Arlen akan mengerti dan mengangguk menyetujui ucapannya. Miko hanya ingin Arlen sadar, bahwa ia dan Yogi akan selalu ada bersamanya. Luka yang disimpan Arlen memang dalam dan dia butuh waktu, Miko mengerti itu.
“Nah! Sudah baikan kan?! Ayo kita jalan-jalan!”
Seruan Yogi jelas membuat Miko menoleh dengan wajah kesal, anak ini tidak mengerti situasi atau bagaimana sih. Belum sempat umpatan dan protesan itu keluar dari mulutnya, tangan Yogi sudah menarik pergelangan tangannya dan juga pergelangan tangan Arlen. Menarik keduanya keluar dari kedai menuju mobil, “Kalau bukan anak milyuner sudah ku tendang bocah ini” mau tidak mau Arlen terkekeh pelan. Yah, dua sahabatnya itu memang unik.
87Please respect copyright.PENANAoSKPDGxsLO