Airen menatap kearah pintu putih itu sendu, umurnya baru lima tahun. Tapi otak mungilnya paham jika kakaknya itu tidak pernah menyukai kehadirannya. Ini sudah lebih dari dua minggu sejak pertengkarannya dengan sang papa karena Maya yang masuk ke dalam kamar itu. Airen ingin sekali dekat dengan sang kakak, jujur pelukannya waktu itu begitu hangat dan sarat akan kerinduan. Si kecil tahu dan bisa merasakan hal itu, ia juga tahu satu hal.
Bahwa jauh di dalam mata elang bermanik almond itu terpancar luka yang begitu besar. Maya mengatakan padanya bahwa Arlen perlu waktu untuk menerimanya, jadi Airen akan memilih untuk bersabar menunggu. Tapi tentu saja usianya baru lima tahun, pemikiran sederhana itu jelas menimbulkan pertanyaan lain yang terdengar mengerikan baginya.
Bagaimana jika Arlen tidak pernah mau menyukainya?
Bagaimana jika Arlen tidak pernah mau menerimanya?
Bagaimana jika Arlen membencinya selamanya?
Bukan tanpa alasan pikiran mungilnya berpikir seperti itu, dia tentunya masih ingat perkataan Arlen soal kesalahan atas kehadirannya di rumah itu. Atau mungkin dalam konteks yang lebih besar lagi. Sebuah ide terlintas begitu saja di benak si kecil, dia segera berlari ke arah dapur dan membuka lemari pendingin. Manik almond mungilnya menjelajahi isi lemari pendingin dan tangannya bergerak mengambil beberapa makanan ringan.
Arlen mengerang, kepalanya berdenyut sakit sekali saat ketukan lirih itu terdengar. Merutuki kebodohannya karena tempo lalu pulang dalam keadaan basah kuyup, dan sekarang dia terbaring dengan suhu tubuh tinggi. Ketukan lirih itu terus terdengar membuatnya mau tidak mau bangkit untuk membuka pintu. Dia sangat tahu siapa yang berani mengetuk pintu kamar itu.
Kaki mungil Airen bergerak mundur saat mendengar suara kunci yang dibuka dan gagang pintu yang mulai terbuka. Dia bersiap menerima sentakan dari sang kakak, tapi bahkan saat pintu itu terbuka hanya ada suara benda jatuh yang terdengar. Kedua kelopak matanya yang terpejam perlahan membuka, manik almond mungil itu membulat terkejut dan berlari ke arah pintu.
“KAK ARLEN!!” teriaknya panik
Makanan ringan yang dipeluknya itu dibiarkan terhempas begitu saja ke lantai, dia berlari mendekat. Menggoyangkan tubuh Arlen yang terbaring di lantai, demi Tuhan Airen benar-benar panik melihat kondisi kakaknya itu. Bisa dilihat wajah kakaknya yang sangat pucat, bahkan keringat telah membasahi dahinya. Airen langsung menarik tangannya cepat, saat telapak tangannya menyentuh dahi Arlen.
Panas sekali?!
Di tengah kekalutan karena dirinya hanya seorang diri dirumah, terdengar dering telepon yang membuatnya bergegas mencari. Membutuhkan waktu lama untuk menemukan benda pipih persegi itu yang berada di tumpukan buku dan tas. Airen pernah diajarkan oleh Maya cara menggunakan benda itu, sambil menunggu ponsel itu berdering lagi Airen kembali mendekati sang kakak. Hanya beberapa menit dan ponsel itu kembali berdering, dengan sigap si kecil langsung menggeser tombol hijau dan mendekatkan ke telinganya.
“Kau lupa ada janji bertemu denganku hari ini atau memang sengaja menghindar, huh?” terdengar omelan dari seberang
“Ha-halo?” ucap Airen sedikit terbata
“Siapa ini?”
“I-ini Renren” jawab Airen
“Renren? Ah, itu tidak penting sekarang, Dimana Arlen?” ujar suara itu lagi
“Kak Arlen tidur, tidak bangun-bangun, badannya panas sekali, keringatnya juga banyak” adu Airen
Terdengar suara benda yang dimasukan terburu-buru, “Tunggu disana!”
Dan sambungan mati begitu saja, Airen mengerjap bingung sambil menatap benda pipih persegi yang telah mati itu. Si kecil bingung harus melakukan apa, dengan ingatan terbatasnya itu dia memilih mengambil serbet di dapur. Menaiki wastafel dengan kursi khusus dan membasahinya dengan air dingin. Airen ingat ketika dia demam Maya selalu meletakkan handuk dingin di dahinya.
“Kakak bertahan sebentar ya”
Si kecil bergumam sambil meletakkan serbet basah itu di dahi Arlen, walau agak berantakan dan terlalu basah. Tak lupa tangan mungilnya meremat tangan besar milik Arlen, entah kenapa dia ingin melakukan hal itu. Hingga menit-menit berlalu lalu suara ketukan di pintu utama membuat Airen beranjak, siapa tahu orang tuanya sudah pulang. Keduanya bilang ingin pergi ke rumah saudara, awalnya Airen ditawarkan untuk ikut. Tapi si kecil memilih untuk diam di rumah.
“Paman siapa?”
Itu ucapan yang keluar dari mulut si mungil saat melihat orang asing berdiri di depan pintu rumah. Harusnya aku yang bertanya kau siapa bocah!!, pikir orang yang dipanggil paman itu, “Yang kau jawab panggilan telepon tadi” ujarnya berusaha tersenyum ramah. Hei, dia masih memakai jas dokternya bukankah harusnya sudah jelas mengenai identitas pekerjaannya.
“Ah, iya masuk saja paman. Sepertinya paman seorang dokter” ujar Airen
Berhenti memanggilku paman!! Aku masih muda tahu!!
“Panggil kakak Krisan, aku ini teman kakakmu”
Mulut si kecil segera membentuk bulatan, lalu mengangguk paham. Dia segera bergegas menunjukkan keadaan sang kakak agar segera ditangani. Keduanya menaiki tangga dan berjalan menuju sebuah kamar dengan pintu yang terbuka. Sejenak Krisan terhenyak melihat apa yang ada di depannya, bukan. Bukan presensi Arlen yang terbaring di depan pintu dengan serbet basah di dahinya. Krisan menghela napas berat dan panjang sambil memejamkan kedua matanya, ini jauh dari perkiraannya.
“Paman sedang apa? Kak Arlen butuh bantuan”
Protesan si kecil membuat Krisan langsung bergegas mendekat dan menggendong Arlen dalam satu tarikan ke punggungnya. Membaringkannya diatas ranjang setelah mengganti bajunya lebih dulu, Krisan segera mengambil peralatannya dan melakukan tindakan. Airen hanya diam mengamati, duduk di sisi ranjang yang berada di tengah. “Nah sudah selesai” Krisan tersenyum kearah Airen yang terus mengamati apa yang dilakukannya.
“Kak Arlen akan baik-baik saja paman?”
“Panggil kakak, astaga” protes Krisan
“Aku sudah berikan obat penurun demam dan beberapa vitamin kok, jadi dia akan baik-baik saja”
Airen menghela napas lega, “Syukurlah kalau begitu”
“Kita belum berkenalan dengan benar. Aku Krisan, seorang dokter dan teman Arlen” ujar Krisan
“Aku Airen paman, biasa dipanggil Renren adik kak Arlen” ujar Airen
Detik itu juga Krisan menyadari satu hal, Loh ternyata bocah ini?!
ns 15.158.61.39da2