Arlen tersentak bangun dari tidurnya, rasa panik menyergapnya saat melihat dia tidak berada di ruangannya sendiri. Masih dengan demam dan pandangan yang belum fokus Arlen memaksakan diri untuk bangkit. Menyibak selimut dan melepaskan handuk yang mengompres dahinya, sedikit terhuyung dia berjalan keluar. Berusaha menerka tempat siapa ia kali ini berada, entahlah apa dia bisa disebut bodoh atau sudah kehilangan kewarasan. Dia datang lagi ke kelab malam dalam keadaan masih belum pulih, dia masih harus menemukan bajingan itu lebih dulu. Begitu pikiran sintingnya.
Tapi saat menegak satu gelas alkohol, dunianya sudah gelap gulita. Dalam minimnya penerangan Arlen terus berjalan menuju ruang santai, maniknya menangkap sebuah ulat alaska di atas karpet berbulu itu. Anggap saja Arlen masih kehilangan kewarasannya, dengan masih sedikit terhuyung dia memilih berjalan menuju balkon yang ada di dekat ruang santai itu. Membukanya dan mendudukan dirinya disana, menatap langit malam dengan tatapan sayunya.
Bahu tegap itu tiba-tiba bergetar, suara isakan itu lolos bersamaan dengan air mata yang terus mengalir dari kedua manik almondnya. Arlen paling membenci ketika dirinya tengah sakit, dia akan selalu terlihat lemah dan sangat emosional. Dalam pikirnya jika saja waktu bisa ditukar, Arlen akan menukarnya dengan apapun. Bahkan dengan nyawanya sendiri. Karena bagaimanapun waktu berlalu, bagaimanapun hidupnya berjalan. Arlen tetap membutuhkan Airennya, Mataharinya.
“Kembalilah Ren, kumohon” gumamnya lirih
Dadanya begitu sesak, seakan tidak ada pasokan oksigen di sekitarnya. Benaknya malah sibuk mereka ulang kenangan-kenangan yang terlewatinya sejak kecil. Bagaimana tawa tulusnya melengkapi kebahagiaan keluarga kecil itu sebelum sang mama pergi. Bagaimana dia mencoba mengerti jika papa telah berubah, bahkan mungkin membencinya setelah kepergian sang mama. Bagaimana dia melihat hal yang seharusnya tidak dilihat oleh bocah berumur 5 tahun, tapi terekam begitu apik di dalam ingatannya.
Arlen meremat dadanya, masih mencoba untuk bernapas normal. Ingatannya kembali berputar kala mengetahui sang papa memilih pergi meninggalkan mereka berdua. Dan sang kakak memilih menyembunyikannya dan berbohong padanya menggunakan janji omong kosong. Arlen yang saat itu baru sekolah dasar mulai mengerti jika sang kakak mengorbankan segalanya untuk menjaganya. Bahkan mimpinya sekalipun. Sang kakak menjadi apapun yang Arlen kecil inginkan, memberikan apapun yang Arlen kecil inginkan.
Menjadi seorang papa?
Menjadi seorang mama?
Menjadi seorang kakak?
Tidak.
Sang kakak jauh lebih dari itu. Dia adalah tempat Arlen pulang, tempat Arlen mendapat cinta dan kasih yang melimpah tanpa syarat. Sang kakak adalah matahari Arlen yang selalu menemaninya setiap saat. Tempat janji-janji omong kosong agar Arlen tetap percaya bahwa akan ada pelangi setelah badai besar. Lantas bagaimana Arlen hidup jika mataharinya telah tiada sekarang.
Bukankah bulan butuh sinar matahari agar bisa ikut bersinar?
Suara napas Arlen kian memberat, karena memang kondisi tubuhnya yang belum benar-benar sehat. Dia bisa merasakan suhu tubuhnya sepertinya kembali naik, dan sekarang pandangannya memberikan ilusi bahwa mataharinya ada disana. Berdiri disana, tersenyum lembut padanya, dengan sisa-sisa tenaganya Arlen berdiri. Air matanya masih terus mengalir meski tidak sederas tadi, “Ren?” gumamnya sambil mencoba mendekat.
79Please respect copyright.PENANAy2h53EPOZ3
79Please respect copyright.PENANApzdZS45q8T
79Please respect copyright.PENANArKpHejPTOl
79Please respect copyright.PENANAq0MbVVa4zQ
79Please respect copyright.PENANARNSgdIUE9B
“GI!!”
79Please respect copyright.PENANABZml6xpO2W
79Please respect copyright.PENANAx4Tvz8v6Tb
79Please respect copyright.PENANAS4KKUKwk6e
“GI!!”
79Please respect copyright.PENANAXLQV9lqs8v
79Please respect copyright.PENANAgQFpQzionw
79Please respect copyright.PENANA78ieZHnt7v
“Ayhem… nanti dulu sayang”
79Please respect copyright.PENANAaCGt3hIQOy
79Please respect copyright.PENANAXTNPP9KIWr
79Please respect copyright.PENANAO6EH2oJacY
“Astaga bocah ini!”
“YOGI!!”
“Ssstt, diam sayang”
“YOGI!!!” sebuah tendangan keras telak mengenai perutnya
“HAH?! APA? APA? KAU MAU MELAHIRKAN?!!”
Yogi mengerjap kaget, melupakan perutnya yang sempat terkena tendangan itu. Maniknya langsung bertemu tatapan tajam penuh aura gelap Miko yang melipat kedua tangannya di depan dada. Sambil terkekeh tanpa dosa Yogi segera melepaskan diri dari gulungan selimutnya. Iya, ulat alaska yang dilihat Arlen tadi adalah Yogi yang bergulung dengan selimutnya itu.
“Siapa yang kau bilang mau melahirkan hah?!” sentak Miko
“Eeee i-itu, a-anu … anjing, ya anjing sepupuku mau melahirkan”
Yogi bodoh, dia itu kan takut pada anjing bisanya beralasan seperti itu.
“Lupakan! Kita harus ke rumah sakit!” ujar Miko masih setengah kesal
“Ha? Ada apa? Kau sungguhan akan melahirkan?! ADUH!!”
Sepertinya kesadaran Yogi belum terkumpul semuanya, makanya ucapannya melantur begitu. Dan dengan senang hati Miko memukul kepalanya dengan kekuatan ekstra, ini pukul 4 pagi ngomong-ngomong dan dia harus menghadapi Yogi dan segala keanehannya. “Ren… Airen…” gumaman lirih itu membuat keduanya menoleh dan Miko segera mendekat pada Arlen yang terbaring di sana.
“Demamnya semakin tinggi”
“Kenapa Arlen disana?” tanya Yogi bingung
“Jangan bertanya! Siapkan mobil! Kita ke rumah sakit!” bentak Miko
Tanpa dikomando dua kali Yogi segera bergerak, mencuci wajahnya lalu menyambar tiga buah jaket tebal dan tidak lupa kunci mobil. Miko juga bergerak mengekorinya meski sedikit kesulitan membawa Arlen di punggungnya. Sepasang sahabat itu bergerak begitu cepat bahkan Yogi menginjak pedal gas dengan segera setelah Miko masuk dan menutup pintu mobil. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota yang cukup sepi di pagi hari itu.
Suara brankar rumah sakit yang didorong oleh suster dan dokter jaga menjadi atensi beberapa orang yang ada di ruang gawat darurat. Miko menghembuskan napas panjang seiring tubuhnya yang merosot ke lantai, membuat Yogi terkejut. “Kau baik Mik? tanya Yogi yang mulai mencemaskan sahabat galaknya itu, Miko terdiam sejenak. Maniknya masih terus menatap dokter dan suster yang tengah menangani Arlen disana.
“Mik?” panggil Yogi khawatir
“Gi” balas Miko sedikit lirih, tapi masih bisa terdengar
“Iya?”
“Aku hampir melihat sahabatku bunuh diri”
Kembali ke beberapa saat lalu, Miko yang kebetulan terbangun karena tertidur di meja belajar berpikir untuk melihat keadaan Arlen. Tapi saat mendapati kamar Yogi itu kosong, dia segera berjalan mencarinya. Langkahnya terhenti saat melihat tirai pintu balkon terbuka, membuatnya memilih mendekat berpikir jika Yogi lupa menutup tirai. Tapi pemandangan lain membuatnya nyaris terkena serangan jantung. Arlen berdiri di sana, dekat sekali dengan pembatas balkon dan ingat bukan jika kamar sewa mereka berada di lantai 7.
Tanpa berpikir apapun Miko segera berlari menuju Arlen dan segera menariknya menjauh dari balkon. Membuat keduanya jatuh ke atas karpet berbulu milik Yogi. Dengan erat Miko memeluk Arlen yang berada dibawahnya, memberontak untuk melepaskannya dan terus memanggil nama mataharinya. Mengatakan bahwa mataharinya ada disana, datang untuk menjemputnya. Miko tahu jika Arlen tengah berdelusi karena suhu tubuhnya yang begitu tinggi. Dan ketika Arlen mulai kehilangan kesadarannya kesempatan itu digunakan Miko untuk membangunkan sahabat milyunernya itu.79Please respect copyright.PENANAsRQ07geSFl