“Sedang memikirkan apa, Mik?”
Segelas kopi susu dingin tersaji di depan meja kerja Miko malam itu. Jika dilihat sekilas Miko lebih seperti sibuk dengan laporan bulanan kedai mereka. Tapi jika sudah mengenalnya lebih jauh, seperti Yogi misalnya. Pasti akan jelas sekali jika Miko tengah memikirkan hal lain. Miko menatap sahabatnya sebentar sebelum mengambil gelas itu dan menyesapnya sebentar. Yogi malah dengan sembarangan duduk di sudut meja sambil memeluk nampan yang digunakannya tadi.
“Hanya perasaan tidak enak” ujar Miko
“Soal Arlen?”
Menyebalkan begitu ternyata sangat peka sekali.
“Kau tahu sendiri kan bagaimana Arlen”
“Percayakan saja padanya, kita tidak bisa melakukan apa-apa selain berada di sampingnya saat ini”
Miko mendesah pasrah, “Kau benar, kita hanya bisa percaya”
Yogi tersenyum menanggapi ucapan Miko. “Tapi Yogi,” wajahnya menatap lurus kearah Miko yang menatap dengan tatapan bertanya. Diangkatnya beberapa lembaran kertas dan ditunjukkan pada Yogi, “Ini sudah ke sepuluh kalinya kau membuat laporan secara asal” Yogi hanya meringis lalu bangkit dari duduknya, berniat untuk kabur. “Dan lagi ya!” ucapan Miko menyentaknya, begitu menoleh dan wajah penuh amarah itu terlihat jelas.
“Kau benar-benar ingin membuat kita bangkrut?! Berapa kali kubilang padamu?! Jangan sentuh dapur!!”
“Hueee!!! Maaf!!” teriak Yogi lalu berlari keluar
“Yogi!!!!”
Yogi segera kabur sebelum Miko melemparinya dengan benda apapun yang ada di dalam jangkauannya. Sial, sahabat galaknya itu lebih mirip seperti perempuan yang tengah datang bulan jika marah. Miko mendesah kesal, mau tidak mau dia harus mengulang laporan asal buatan sahabat milyunernya itu.
Aku bisa gila menghadapinya.
*84Please respect copyright.PENANAO64gx0fD5z
*84Please respect copyright.PENANAdq5t4Sg6gq
*84Please respect copyright.PENANAAbnwkDPZwE
*84Please respect copyright.PENANAzcvVqC0vMW
Arlen membuka pintu utama sore itu, “Selain berkelahi kau juga menjual dirimu di kelab malam sekarang?” sebuah suara membuat langkah Arlen terhenti. Sang papa berdiri tidak jauh dari sana sambil melipat kedua tangannya di dada. Kedua pemilik manik almond itu saling menatap satu sama lain. Arlen mendesah pelan sebelum membalikkan badannya mengarah penuh pada sang papa.
“Aku tidak pernah meminta papa mengurusiku, jadi berhenti seakan papa peduli padaku. Pedulikan saja wanita sialan dan anak sialannya itu”
“Anak kurang ajar! Jangan sebut mereka seperti itu!!” sang papa berteriak murka
“Kalau begitu jangan sebut Airenku jalang pa!” sentak Arlen
Arlen menatap tajam sang papa lalu berujar dalam nada berbisik.
“Ingat pa, aku menghormatimu karena Airen. Aku membiarkanmu tinggal disini karena Airen. Papa tahu? Jika aku menjadi dirimu, aku tidak akan pernah kembali dan menampakkan diri di depan putra-putra yang telah kubuang”
“Si jalang itu benar-benar mencuci otakmu rupanya” cibir papa
“Atau wanita sialan itu yang malah mematikan hati papa?” tantang Arlen
Sebuah tamparan yang sangat keras tepat mendarat di pipi kiri Arlen, warna merah itu tercetak begitu jelas bahkan sudut mulutnya sampai berdarah. Arlen terkekeh mencemooh lalu kembali menatap sang papa, “Lihat kan? Ucapanku benar, papa akan selalu membela wanita sialan itu” ucapan Arlen membungkam sang papa. Dia sadar apa yang telah dilakukannya pada putra bungsunya itu.
Seharusnya tidak seperti ini.
“Papa boleh menghinaku semaumu, papa boleh mencaci maki atau mengumpatiku. Aku tidak masalah” suara Arlen mengecil,
“Tapi bisakah papa berhenti memanggil Airenku sebagai jalang? Papa tidak tahu apa-apa. Papa benar-benar tidak tahu apa-apa. Jadi berhenti memanggilnya jalang seakan dia pantas disebut seperti itu”
Ucapan itu sarat akan rasa sakit, bahkan jika bisa dijelaskan mungkin Arlen sudah menangis meraung dihadapan papanya. Tatapan terluka dan duka itu di manik almond miliknya sudah cukup untuk dilihat oleh sang papa. Sayangnya saat sang papa hendak kembali berbicara Arlen memilih berbalik dan berjalan menaiki tangga. Suara pintu yang ditutup sedikit kasar terdengar tidak lama kemudian. Beberapa menit berlalu sampai sebuah suara pintu utama kembali terbuka dan sapaan riang itu terdengar.
“Kami pulang! Papa!” seru Airen riang
“Bagaimana bermain di tamannya? Menyenangkan?”
Sang papa segera membawa si kecil kepelukan saat dia berlari kearahnya, “Menyenangkan pa! Renren dapat banyak teman tadi!” celotehnya. Maya menghampiri keduanya sambil tersenyum lembut, sang papa membalas senyumnya lalu mengajak si kecil untuk mengobrol lebih banyak. Seakan kejadian perdebatan dengan putra bungsunya tadi tidak pernah terjadi.
*84Please respect copyright.PENANAu4cSRBBOr0
*84Please respect copyright.PENANAj2sWTTOGn8
*84Please respect copyright.PENANAD6KiUNaxzH
*84Please respect copyright.PENANANX280n9FqY
“Satu cokelat dingin untuk sahabat terbaikku! Aduh!”
Yogi merenggut sedih sambil mengusap kepala belakangnya, menatap kesal kearah Miko yang tadi memukulnya penuh sayang dengan nampan. Walaupun tidak keras tetap saja sakit, nampan itu dari kayu dan tebal ngomong-ngomong. “Berhenti bersikap menjijikan seperti itu” ujar Miko lalu menatap kearah Arlen yang mengambil minuman pesanannya. Memasukkan sedotan dan meminumnya, “Tidak kuliah? Tumben kemari” ujar Miko. Arlen hanya mengangkat kedua bahunya santai.
“Kelasku kosong, aku ke kampus hanya mengumpulkan tugas” ujarnya
Miko dan Yogi saling melirik satu sama lain sebelum Yogi memutuskan untuk menarik Arlen ke salah satu meja untuk duduk, kebetulan kedai tidak terlalu ramai di siang menjelang sore itu. Tapi Arlen segera meminta dua sahabatnya untuk kembali bekerja, dia hanya akan duduk diam disana tanpa ingin mengganggu. Yogi segera menepuk bahu Miko yang terlihat enggan meninggalkan Arlen sendirian disana. Tatapan Yogi seakan mengatakan bahwa Arlen akan baik-baik saja. Keduanya akhirnya bangkit berdiri dan berjalan menuju meja kasir juga dapur.
“Aku akan mengawasinya dari meja kasir, Mik” ujar Yogi
Miko menghela napas pasrah. Hanya Yogi yang bisa diandalkan saat ini.
“Tatapannya sedikit berbeda dari beberapa pekan lalu, Gi. Tidak sama lagi seperti biasanya” gumam Miko
“Aku tahu, tapi seperti yang kukatakan waktu itu. Kita hanya bisa berada di sampingnya sampai dia ingin buka suara” ujar Yogi
“Aku ke dapur”
Miko memilih tidak ingin menyetujui sepenuhnya lagi ucapan Yogi, intuisinya seakan berkata jika dia harus memaksa Arlen untuk berbicara jujur padanya. Ada perasaan tidak enak dan rasa khawatir saat melihat mata elang bermanik almond itu. Baik Miko dan Yogi paham sekali, hidup sahabat mereka tak lagi sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Seakan takdirlah yang menghancurkan semua asa yang dibangun dalam pondasi janji.84Please respect copyright.PENANAp0sK3oTai2